20 September 2010

» Home » Okezone » Figur Jaksa Agung dan Nurani Membangun Negeri

Figur Jaksa Agung dan Nurani Membangun Negeri

Kejaksaan Agung dan sebagian besar aparatnya belum reformis. Semangat kolusi terus dijaga untuk melindungi kolega bermasalah. Ketidakpastian hukum di negara ini pun sedikit banyak disebabkan perilaku tak terpuji para jaksa.

Berdasarkan kecenderungan itulah saya ikut sumbang saran kepada Presiden agar memilih figur baru jaksa agung dari luar institusi kejaksaan. Bukan sekadar orang luar, tapi ahli hukum sekaligus manajer yang tahu bagaimana mereformasi kejaksaan kita, dan sanggup menanggung apa pun risiko dari reformasi internal itu. Reformasi internal kejaksaan harus dikomandani seorang ahli dari luar yang bersih dan tegas. Bersih agar jaksa agung baru tidak bisa diancam atau ditakut-takuti anak buahnya.

Berani dan tegas agar jaksa agung baru itu tak mudah tergoda dan digoda uang haram dari mafia hukum. Figur jaksa agung baru pun harus punya visi-misi tentang pembangunan negara berdasarkan hukum dan keadilan. Juga visi-misi tentang peran hukum dalam pembangunan ekonomi negara. Kita butuh jaksa agung yang tahu arti hukum dan kepastian hukum sebagai push factor progres pembangunan negara.

Saya berani mengatakan bahwa sangat sulit mendapatkan figur jaksa agung baru seperti itu dari dalam institusi kejaksaan kita. Itulah yang sebabnya saya konsisten menyarankan presiden memilih figur dari luar. Buat saya, kejaksaan agung dan sebagian besar aparatnya, saat ini, sudah terperangkap dalam budaya kolusi saling melindungi dan memberi toleransi terhadap oknum-oknum bermasalah.

Dengan penuh kesadaran, Model kolusi seperti itu terus dijaga karena menguntungkan semuanya. Konsekuensinya, sebagian besar jaksa kita sulit keluar dari perangkap kolusi itu .Tetapi akibatnya, reformasi internal tersumbat, nyaris tidak jalan. Kalau sudah begitu, tidak masuk akal untuk memercayakan reformasi internal kepada orang dalam kejaksaan. Menurut saya, waktu yang diberikan kepada para jaksa kita untuk berubah menjadi penegak hukum yang reformis sudah lebih dari cukup. Mereka menyia-siakan alokasi waktu itu dan karenanya mereka gagal.

Toleransi Kegagalan

Bukti-bukti kegagalan itu pun rasanya sudah lebih dari cukup. Dari kasus Artalyta Suryani, kemudian peran para jaksa dalam kasus Cicak versus Buaya dan kasus Anggodo Widjaja, hingga kasus pembebasan tersangka penggelapan pajak Gayus Tambunan. Penyelesaian internal atau proses hukum terhadap oknum-oknum jaksa bermasalah— utamanya pada level eselon atas—sama sekali tidak memperlihatkan perilaku institusi kejaksaan yang reformis.

Mereka diberi toleransi dan dimaafkan tanpa sanksi hukum. Nantinya, jika Komisaris Polisi Arafat Enanie, tersangka lain dalam kasus Gayus Tambunan, benar-benar melakukan aksi buka-bukaan tentang peran para oknum jaksa membebaskan Gayus, kita akan mendapat gambaran tambahan yang lebih gamblang tentang bagaimana oknum jaksa justru memainkan lakon mafia hukum.

Kita pun hanya bisa ternganga karena oknum jaksa yang diduga sebagai anggota mafia hukum itu mendapat ‘maaf dan toleransi’ internal. Toleransi negara dan rakyat terhadap kegagalan para jaksa sudah amat berlebih. Tetapi, toleransi berlebih itu justru berakibat buruk bagi negara karena Indonesia sampai hari ini tetap menyandang status sebagai negara dengan kepastian hukum yang amat buruk. Ekses dari ketidakpastian hukum itu amat luar biasa, yakni merusak sendi-sendi ketahanan ekonomi nasional.

Kendati kaya sumber alam, Indonesia masih menjadi negara yang tidak disukai investor asing dan lokal akibat tidak adanya kepastian hukum itu. Dengan demikian, alasan menampilkan figur jaksa agung baru dari luar untuk mengelola reformasi internal sudah terpenuhi. Toleransinya sudah cukup dan Kita jangan lagi membuang-buang waktu dengan retorika dan silat lidah. Menggunakan hak prerogatifnya, Presiden bisa mengajukan figur baru calon jaksa agung.

Saya berharap Presiden mempertimbangkan masukan-masukan dari semua pihak, termasuk urgensi menunjuk orang luar sebagai pimpinan baru kejaksaan agung kita. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan presiden adalah laporan terbaru Dana Moneter Internasional (IMF), yang dipublikasikan pekan lalu. Dalam laporan terbarunya itu, IMF merefleksikan keprihatinan investor mancanegara terhadap kepastian hukum di Indonesia.

Masyarakat dan komunitas pengusaha lokal pun sepakat dengan laporan IMF itu. Sudah selayaknya Presiden menjadikan laporan terbaru IMF itu sebagai acuan untuk memilih figur baru Jaksa Agung dan Kapolri. Kami di DPR pun menggarisbawahi laporan IMF itu, dan akan menjadikannya acuan dalam fit and proper test calon ketua baru KPK, calon Kapolri baru dan calon jaksa agung baru.

Peduli Pembangunan


Ketika kita sedang sibuk mencari dan memilih pucuk pimpinan tiga institusi penegak hukum, kebetulan IMF, Jumat (17/9/2010) pekan lalu, seperti ikut urun rembug. Entah kebetulan atau memang disengaja, buat saya, laporan terbaru IMF itu “nyambung” dengan aspirasi rakyat Indonesia yang sedang menunggu-nunggu figur baru Ketua KPK, figur baru Kapolri, dan figur baru Jaksa Agung.

Soalnya, IMF menggarisbawahi dua masalah yang sangat strategis, yakni isu korupsi yang makin merajalela serta kepastian hukum di negara kita. Menurut IMF, jika Indonesia ingin membangun dan memperkuat kinerja perekonomiannya, pemerintah harus memprioritaskan pemberantasan korupsi. Para investor asing, hingga saat ini, masih sangat berhati-hati jika ingin menanamkan modalnya di Indonesia.

Para pemilik modal dari mancanegara itu masih terus menunggu sampai pemerintah Indonesia serius memerangi korupsi. Selain isu korupsi, IMF juga memberi catatan tentang supremasi hukum di Indonesia. IMF secara tidak langsung mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak berlama-lama membiarkan investor asing diselimuti kekhawatiran mengenai kepastian hukum dan transparansi.

Kalau kekhawatiran itu tidak direspons sebagaimana mestinya, pertumbuhan investasi di Indonesia akan terhambat. Walaupun laporan IMF itu sama sekali tidak baru di telinga kita, namun saya melihat pernyataan IMF itu sebagai penegasan ulang. Selain menyegarkan ingatan kita, momentumnya sangat tepat. IMF menyegarkan ingatan kita bahwa pembangunan ekonomi tidak bisa berjalan sendiri, dan penegakan hukum untuk membangun kepastian pun tak boleh jalan sendiri.

Keduanya mutlak saling melengkapi. Ekonomi Indonesia dewasa ini memang tidak lagi berada dalam tekanan krisis. Tetapi, kinerja perekonomian negara belum ideal. Sebab, belum mampu menyediakan lapangan kerja dalam jumlah yang banyak. Belum mampu mengatasi masalah kemiskinan yang menyelimuti hampir separuh jumlah penduduk. Benar bahwa perekonomian kita mampu mencatat pertumbuhan positif ketika banyak negara gagal mencatat pertumbuhan akibat krisis.

Tetapi, kualitas pertumbuhan ekonomi kita terbilang buruk. Pertumbuhan ekonomi kita hanya tercermin pada membaiknya kinerja sektor finansial, sementara kondisi sektor riil dalam negeri amat memprihatinkan. Kondisi sektor riil seperti itulah yang menyebabkan pertumbuhan tinggi ekonomi Indonesia tak mampu merespons masalah pengangguran dan kemiskinan. Mengacu pada laporan IMF tadi, saatnya kita bersama-sama menggugah nurani penegak hukum kita untuk peduli pada pembangunan ekonomi.

KPK, Polri dan Kejaksaan Agung tak boleh asyik sendiri dengan dunianya. Tiga institusi itu harus mengambil posisi sebagai bagian tak terpisah dari pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. KPK, Polri dan Kejagung harus paham bahwa kontribusi mereka sangat menentukan masa depan bangsa. Apakah masa depan Indonesia bisa kompetitif atau semakin terpuruk sangat ditentukan oleh nurani aparat penegak hukum kita. Kinerja tiga institusi penegak hukum kita masih mengecewakan.

Bukan hanya menurut laporan IMF itu, tetapi juga menurut sebagian besar rakyat Indonesia. Satu-satunya opsi yang sudah disepakati untuk memaksimalkan kinerja lembaga penegak hukum kita adalah reformasi internal, khususnya di tubuh Polri dan Kejagung. Sejak awal, baik Polri maupun Kejagung sudah komit untuk melaksanakan reformasi internal. Sayang, reformasi itu hanya ditandai oleh pembaruan kelembagaan, belum sampai pada pembaruan sikap mental aparat.

Pembaruan sikap mental aparat pun hanya menjadi slogan, karena dalam praktiknya sikap mental penegak hukum kita justru semakin tidak terpuji. Persepsi ini setidaknya tercermin pada sejumlah kasus kriminal yang melibatkan para penegak hukum. Mudah-mudahan,Presiden dan kita semua tidak menyia-siakan momentum pemilihan Ketua KPK, Kapolri dan jaksa agung saat ini untuk mulai berupaya mewujudkan kepastian hukum di Indonesia.(*)

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/Ketua Kadin Indonesia

Opini Okezone 20 September 2010