20 September 2010

» Home » Lampung Post » Janji Kampanye dalam Ingatan Sosial

Janji Kampanye dalam Ingatan Sosial

Y. Wibowo
Editor Penerbit BE Press, Bandar Lampung
Proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) dan masa pemilihan telah usai. Tetapi dengan masa-masa kampanye yang telah lewat dalam proses pilkada, di mana setiap pasangan calon kepala daerah dalam meramu berbagai program pemenangan dan janji kampanye apakah tunai begitu saja? Tentu tidak demikian dengan pasangan Herman H.N. dan Tobroni Harun yang kemarin (Rabu, [15-09]) dilantik secara resmi sebagai wali kota dan wakil wali kota Bandar Lampung periode 2010—2015.


Menyadari Kota Bandar Lampung memiliki persoalan paling kompleks dibanding kabupaten/kota lain di Provinsi Lampung, dapat dibayangkan kerumitan yang tersemat di bahu Pak Wali yang baru. Jika ditilik janji Herman H.N. dan Tobroni Harun pada masa kampanye, yaitu program pengembangan kota sebagai pusat jasa dan perdagangan berbasis ekonomi kerakyatan, meningkatkan daya dukung infrastruktur, dan meningkatkan mutu pendidikan. Sementara itu, dalam pelayanan publik yang lain, akan mewujudkan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan sosial, meningkatkan kualitas pengelolaan hidup yang berkelanjutan, serta meningkatkan pelayanan publik dengan kinerja birokrasi yang bersih. Semua itu tentu terekam dalam ingatan masyarakat yang akhirnya menjadi ingatan kolektif atau ingatan sosial.
Setiap janji yang disampaikan saat kampanye pasti akan ditunggu dan ditagih masyarakat, demikian pernyataan Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. usai melantik pasangan tersebut dalam rapat paripurna istimewa DPRD Bandar Lampung (Lampung Post, [16-09]). Menengarai bahwa setiap janji adalah utang, pernyataan tersebut tentu bukan tanpa pertimbangan. Artinya, secara tidak langsung Sjachroedin sebagai gubernur tetap menyalakan ingatan sosial. Artinya, beliau turut bersama-sama masyarakat Bandar Lampung membangun proyek pemerintahan yang bersih dan tidak hendak mengulangi kekeliruan masa lalu seperti yang kerap terjadi; janji tinggal janji, hal ini menyadari bahwa ingatan sosial masyarakat tak bisa dikontrol atau dihapus begitu saja.
Janji dalam Ingatan Sosial
Ingatan sosial bukan kartu mati, karena banyak contoh seorang pemimpin terjungkal manakala tidak menepati janji. Akan tetapi ingatan sosial bukan pula untuk balas dendam, secara arif ingatan sosial sebagai upaya klarifikasi hukum (normatif?) dan sejarah untuk mencari keadilan. Dengan demikian, sejarah masyarakat yang kalah karena (bila nanti) diingkari, dapat menggugat. Tentu proses hukum (normatif) itu nantinya bisa digunakan secara efektif untuk merangsang solidaritas dalam menagih janji kepemimpinan masyarakat Bandar Lampung.
Akan tetapi seperti selama ini pula, ingatan sosial masyarakat pun dapat dikontrol dan diarahkan untuk mengaburkan, bahkan melupakan harapan-harapan pada saat pemilihan. Banyak ruang kosong dalam ingatan sosial yang dapat dibentuk menjadi sisi gelap untuk melupakan harapan. Dulu, orang berharap pemimpin yang terpilih akan menciptakan pemerintahan yang bersih, baik dari unsur KKN, bahkan lekat dan dikenal sangat populis. Akan tetapi seiring dialektika kepemimpinan yang berjalan, berbagai isu dan wacana dapat dibangun untuk menjauh dari harapan-harapan, baik dengan dalih maupun dengan perbenturan kebijakan dan hukum formal yang akhirnya dapat mengaburkan ingatan sosial.
Upaya mengaburkan ingatan social, menurut P. Ricoeur, 2000, itu ada tiga bentuk. Pertama, pemaknaan sejarah versi penguasa saat itu akan tetap dominan. Artinya, bisa saja penguasa mengabaikan janji dan masyarakat menderita karena harapannya tak terwujud. Kedua, kesaksian masyarakat dengan menagih janji dan harapan pemimpinnya tidak bisa dikonfrontasikan dengan penguasa. Maka tiadanya konfrontasi ini akan melemahkan posisi tawar (bargaining position) masyarakat. Ketiga, tiadanya pengakuan hukum, dalam hal ini terhadap masyarakat yang menagih janji dan harapan saat kampanye tidak diakui keabsahannya secara hukum. Masyarakat justru mengalami viktimisasi kedua dan penguasa menikmati impunity (tiada sanksi hukum),-dan ketiga hal itu memendam bahaya akan berulangnya skenario kekerasan sosial.
Ingatan sosial akhirnya lenyap seiring perjalanan kekuasaan penguasa baru. Ingatan sosial berburai dalam ingatan-ingatan individual yang secara kolektif tidak lagi memiliki kekuatan solidaritas utuh. Ingatan individual pada akhirnya hanya berlaku sebagai kekuatan kolektif, terutama bila dimiliki orang-orang dengan posisi penting, yang kemudian dapat meninggalkan inskripsi sosial. Inskripsi sosial inilah yang kemudian membentuk ingatan sosial, karena itu ingatan sosial bukan sekadar sejarah. Ia adalah ingatan yang menagih agar (janji dan harapan) diselesaikan secara adil (P. Ricoeur, 2000: 609). Pada posisi ini, ingatan sosial mempertanyakan impunity karena bila janji tidak ditepati, ingatan sosial akan menohok rasa keadilan.
Proyek Solidaritas
Suatu masyarakat dapat menempa solidaritasnya dengan mengarahkan ingatan sosialnya atas kemenangan atau keberhasilannya. Solidaritas bisa dibentuk juga dalam upaya memberi silih kolektif atas utang janji terhadap sebagian dari masyarakatnya. Dan dalam komitmen untuk tidak melupakan dan tidak mengulangi ingkar janji yang dilakukan pada masa lalu. Silih kolektif dan komitmen adalah bentuk tanggung jawab dan kesetiaan atas solidaritas dalam kebersamaan. Kesetiaan kepada diri sendiri dan orang lain terjalin kemampuan menepati janji. Kemampuan tepat janji adalah identitas yang stabil karena meski terjadi perubahan, tetap bisa diandalkan.
Maka, menjaga spirit solidaritas dalam masyarakat sampai pada adanya pengakuan atas janji saat kampanye Herman H.N. dan Tobroni Harun. Pengakuan ini membuka jalan rekonsiliasi bila nantinya janji-janji dalam masa kampanye tak sepenuhnya terpenuhi, karena dalam masyarakat terdapat pula toleransi dan permaafan. Namun, bukan penguasa yang berhak mengampuni atau melakukan permaafan atas ingkar janji, melainkan masyarakat yang telah diingkari itu yang memiliki hak memaafkan. Jadi, proses solidaritas berfungsi membangun perasaan kesinambungan dengan masa lalu untuk memperluas ingatan sosial. Proses solidaritas menunjukkan masyarakat dapat melakukan sesuatu, mereka juga tidak diam dalam beragam bentuk pengingkaran yang melukai perasaannya. Tujuan semua itu hakikatnya guna menerjemahkan political-will pemimpin dalam dalam hal ini Herman H.N. dan Tobroni Harun nantinya saat membangun hubungan masa lalu agar tercipta solidaritas antara generasi.
Dengan demikian, proses solidaritas yang luas membantu mengukir identitas suatu masyarakat, terutama masyarakat lima tahun ke depan dalam kepemimpinan Herman H.N. dan Tobroni Harun.
Opini Lampung Post 21 September 2010