Ketika kontroversi pembangunan gedung baru dengan fasilitas spa dan kolam renang belum usai, DPR kembali dikecam publik karena masih melestarikan tradisi studi banding.
Biaya pelesir alias ”studi banding” pun melonjak hingga tujuh kali lipat. Mengapa DPR tak kunjung berubah? Ketika kinerja wakil rakyat masih buruk dan mengecewakan, prestasi minim, serta kehadiran dalam rapat sangat rendah; tuntutan perbaikan fasilitas kerja, insentif, dan pendapatan terus bertambah setiap tahun. Tatkala berbagai skandal suap, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan anggota DPR kian sering terungkap, tuntutan akses haram atas dana APBN—dibungkus sebagai ”dana aspirasi” ataupun ”rumah aspirasi”—meningkat dari waktu ke waktu.
Seperti periode-periode sebelumnya, kritik terhadap DPR ibarat ”masuk kuping kanan keluar kuping kiri”. Kritik dan protes publik sering disimplikasi sekadar sebagai suara aktivis LSM, pengamat politik, dan pekerja media. Mereka tak pernah mencoba mendengar dan berpikir jernih bahwa kekecewaan ini pada dasarnya suara mayoritas rakyat yang tak terdengar. Protes dan kritik publik semestinya dipandang sebagai refleksi kekecewaan bangsa terhadap para wakilnya.
Tanpa rasa malu
Keberadaan DPR sebagai wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu yang bebas dan demokratis bagaimana pun anugerah bagi negeri ini. Perjuangan bangsa kita mewujudkan apa yang disebut HOS Tjokroaminoto sebagai ”parlemen sejati” telah berlangsung sejak awal abad ke-20. Dalam bentuk paling awal, bangsa kita mengenal Volksraad (1918-1942) di tingkat nasional dan dewan-dewan kota di daerah yang hampir seluruh anggotanya diangkat pemerintah kolonial.
Setelah mengalami periode Komite Nasional Indonesia Pusat pada awal kemerdekaan hingga DPR tukang stempel penguasa di era Orde Baru, kini semestinya saat bagi rakyat bersukacita karena memiliki wakil yang dipilih langsung di parlemen. Alih-alih berjuang konsisten memperbaiki nasib rakyat, legislator justru sibuk menuntut perbaikan fasilitas, insentif, dan pendapatan bagi diri sendiri. Ini dilakukan tanpa rasa malu.
Sungguh menyedihkan memiliki DPR yang hanya bisa menuntut hak tanpa menimbang secara jernih dan adil kewajiban serta tanggung jawab. Ketua DPR Marzuki Alie dari Partai Demokrat membandingkan fasilitas kerja mereka yang belum ”sehebat” fasilitas menteri dan bahkan presiden untuk membenarkan pembangunan gedung baru. Pimpinan DPR lain mengemukakan argumen ”sudah dianggarkan” di APBN untuk menjustifikasi studi banding yang esensinya hanya ”pelesir” yang menghabiskan anggaran negara.
Berbelanja di mal
Setiap pemilu kita memilih wakil yang duduk di DPR dan DPRD. Namun, tak berarti mandat dan kepercayaan rakyat bisa disalahgunakan begitu saja. Para wakil rakyat semestinya belajar dari kecaman, protes, dan kritik bertubi-tubi atas kualitas kinerja yang rendah dan begitu tingginya harapan rakyat atas mereka.
Di luar fungsi legislasi, kontrol, dan anggaran, fungsi utama parlemen adalah mewakili dan memperjuangkan kepentingan pemilih. Aneka persoalan krusial bangsa, seperti pengangguran, kemiskinan, dan infrastruktur buruk semestinya jadi prioritas ketimbang sekadar pelesir dan menambah fasilitas kenyamanan kerja yang belum tentu berbanding lurus dengan kinerja.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan studi banding jika dilakukan dalam arti sebenarnya. Juga, wajar tuntutan perbaikan fasilitas dan sistem pendukung peningkatan kinerja, termasuk tenaga ahli, gedung, ruang memadai, serta fasilitas kantor yang layak dan nyaman. Sebagai wakil yang memperoleh mandat rakyat, mereka berhak.
Namun, belum ada bukti nyata kualitas UU lebih baik setelah DPR studi banding. Fakta yang tampak oleh publik justru sejumlah anggota DPR tertangkap basah berbelanja di mal ketika studi banding di negara tujuan beberapa tahun lalu. Tuntutan atas gedung baru juga jelas berlebihan ketika fasilitas yang ada belum dimanfaatkan maksimal. Ruang-ruang sidang acapkali kosong lantaran sebagian besar anggota mangkir dari sidang. Lobi-lobi informal di hotel berbintang lebih ”ramai” ketimbang sidang-sidang formal Dewan.
Wajar muncul protes dan reaksi keras publik atas kegiatan pelesir. Dalam era revolusi teknologi komunikasi dan informasi, studi banding sebenarnya bisa dilakukan melalui internet. Referensi apa pun tersedia tanpa harus mengeluarkan anggaran miliaran rupiah. Buat apa fasilitas komputer yang telah tersedia bagi setiap anggota DPR?
Benar-benar mengecewakan jika legislator masih mengaku mewakili kita, padahal sekadar memenuhi syahwat diri sendiri. Sungguh menyedihkan memiliki para wakil yang hanya mau benar sendiri, tak tahu malu, serta mata hatinya tertutup kekuasaan. Lebih menyedihkan lagi jika pimpinan dan anggota DPR semakin kebal dan antikritik, karena itu berarti ”tirani parlementer” tengah tumbuh subur di Senayan.
Syamsuddin Haris Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
Opini KOmpas 21 September 2010
20 September 2010
DPR Menuju Tirani Parlementer?
Thank You!