27 Agustus 2010

» Home » Lampung Post » Puasa Tidak Menyakiti Rakyat

Puasa Tidak Menyakiti Rakyat

Nur Islam
Dosen Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan, alumnus Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Dengan sangat terang benderang, Allah swt. mensyariatkan puasa Ramadan agar manusia beriman dan menjadi makhluk paling mulia yang bertakwa kepada-Nya. Puasa Ramadan yang diwajibkan terhadap umat Islam sejak 15 tahun masa kerasulan Muhammad saw. itu merupakan salah satu strategi bentuk pembinaan peningkatan kualitas hidup orang-orang pilihan-Nya.


Melalui "strategi agung" pembinaan tersebut, diharapkan muncul sifat-sifat dan perilaku positif bagi mereka yang melaksanakannya. Memang berat training yang berlangsung satu bulan penuh ini. Untuk lolos ujian yang sebenarnya perlu perjuangan atau jihad. Tanpa jihad yang baik dan benar dalam puasa, sulit rasanya menggapai "keberhasilan puasa" yang dilaluinya dari detik ke detik, menit demi menit, dan akhirnya sampai ke waktu azan magrib.
Jihad terbesar dalam berpuasa, antara lain adalah mengendalikan dan melawan hawa nafsu yang ada pada diri kita. Hawa nafsu cenderung destruktif, membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Keserakahan kekuasaan mendapatkan sumber daya alam dengan merusak lingkungan, menggaji karyawan tidak sesuai dengan kebutuhan yang "wajar", membiarkan dan meliarkan harga-harga sembako merajarela di pasar modern atau tradisional, bahkan warung-warung kecil.
Hawa nafsu yang juga perlu diperangi dan dikendalikan adalah melawan amarah. Marah pada dasarnya merupakan simbol "perlawanan" setan terhadap Allah swt. Marah yang tidak terkendali esensinya sangat membahayakan pribadi, bangsa, dan negara. Perbuatan atau kebijakan yang diputuskan dengan penuh amarah; biasanya lebih banyak membawa mudarat daripada kebaikannya.
Puasa yang secara lahiriah ditunjukkan dengan tidak makan, tidak minum, tidak melakukan seks haram dan tindakan lainnya yang dapat menggugurkan wajibnya puasa dan dilakukan sesuai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk pelaksanaannya (juklak dan juknis), digaransi mampu melawan sekaligus mengendalikan hawa nafsu tersebut. Dengan demikian, dijamin pula melahirkan pribadi-pribadi mulia, antara lain ditandai dengan semakin meningkatnya solidaritas, empati yang ikhlas terhadap sesama manusia dan lingkungannya.
Jika output (hasil) puasa kita tidak sesuai dengan harapan ideal, patut dipertanyakan proses berpuasa Ramadan kita: apakah sudah sesuai dengan juklak dan juknis serta persoalan nonteknis lainnya. Apakah kita hanya berpura-pura puasa. Bila telah sesuai juklak dan juknis juga sudah pada tingkat menyentuh persoalan yang esensial dari puasanya tidak diragukan lagi membentuk peibadi yang agung.
Tidak ada orang puasa tidak lapar dan haus, semua orang pasti mengalaminya. Dengan merasakan lapar dan haus, diharapkan mampu meningkatkan sensitivitas spiritual yang melakukannya, antara lain naluri empati terhadap sesama manusia, terlebih lagi terhadap mereka yang hidupnya terpinggirkan baik akibat kekejaman perilaku politik maupun kemiskinan, baik kemiskinan spiritual maupun kemiskinan secara ekonomi—permanen maupun tidak permanen.
Sensitivitas spiritual yang dilahirkan puasa seseorang dapat dilihat dari pernyataan lisan maupun keputusan tertulis hingga kebijakan yang mempunyai dampak luas terhadap masyarakat. Peenyataan sikap terhadap kenaikan harga sembako sebagai hal yang wajar, bagi sebagian masyarakat, terutama wong cilik adalah ucapan yang dapat menyakiti dan melukai rakyat. Apalagi ucapan tersebut berasal dari ”Jakarta” dan langsung diamini oleh penguasa di daerah.
Mereka yang sedang diberi amanah untuk memimpin negeri ini semestinya merasa risau terhadap kenaikan harga sembako yang kian meroket terutama menjelang puasa Ramadan dan Idulfitri (Lebaran). Apalagi tren kenaikan harga sembako sudah dapat diprediksi sebelumnya karena itu merupakan ”ritual” ekonomi negeri yang penduduknya masih banyak di bawah garis kemiskinan. Operasi pasar bukan solusi sangat mendasar tetapi lebih cenderung pragmatis, politis, dan tidak dapat memberikan penyelesaian yang kuat dan mendasar.
Kebijakan yang tidak bijak lainnya dan dapat menyakiti rakyat lainnya adalah mengurangi subsidi pupuk terhadap petani. Mengurangi subsidi diprediksi akan menambah terpuruknya petani kita (Lampung Post, [23-8]). Semestinya petani diberi bantuan yang wajar tidak harus mengurangi subsidi. Mengapa memberi bantuan langsung tunai (BLT) bisa dilakukan kok malah mengurangi subsidi. Apakah BLT hanya pantas diberikan menjelang pemilihan umum (pemilu). Organisasi yang peduli terhadap nasib petani harus dapat menunjukkan keberpihakannya terhadap petani yang umumnya wong cilik, bukan sekadar protes, setelah itu diam, termasuk wakil rakyat di kursi parlemen.
Dengan berpuasa, semestinya dapat merasakan dan mencarikan solusi terbaiknya jalan raya yang semakin parah, dari kampung-kampung hingga kota. Jalan rusak menambah kesengsaraan dan ketidaknyamanan rakyat. Banyak korban yang diakibatkan kerusakan jalan dari yang terguling hingga mereka mereka yang tewas di kubangan jalan raya itu. Kerusakan jalan bukan hanya di Lampung namun dirasakan di sejumlah daerah di Republik Indonesia yang baru saja merayakan hari ulang tahunnya ke-65 tahun.
Satu hal dari sekian banyak persoalan yang dapat menyakiti sekaligus melukai rakyat adalah penegakan keadilan, korupsi serta pornografi dan pornoaksi. Telah lama rakyat menyaksikan dan mengalami bagaimana rasa keadilan di negeri ini. Keadilan belum sepenuhnya milik warga negara, tetapi masih dirasakan serta dikuasai oleh sejumlah segelintir orang saja.
Banyak hikmah dalam puasa Ramadan yang perlu kita gali terus dan jadikan energi positif dalam membangun negeri. Kehadiran puasa Ramadan hendaklah mampu merubah paradigma keberpihakan kita terhadap nasib anak bangsa dan memberlakukan sumber daya alamnya. "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (Q.S. Al A’raf: 96).

Opini Lampung Post, 27 Agustus 2010