Kondisi kesehatan Kapolri tampak sudah menjadi isu politik. Hal ini didorong oleh persepsi mengenai masalah-masalah yang ditangani Kapolri yang bersifat strategis. Kondisi ini sebetulnya tidak perlu terjadi jika secara institusional telah dipersiapkan oleh bangsa Indonesia bukan semata-mata oleh pihak-pihak dalam tubuh Polri dan terutama dipersiapkan oleh para pengambil kebijakan di tingkat nasional sebagai stakeholder Polri. Penyiapan secara institusional inilah––dalam kacamata ilmu administrasi–– yang disebut sebagai reformasi (reform). Namun, proses reformasi ini masih dipengaruhi oleh berbagai aspek yang melingkupinya (ekologi reformasi).
Variasi Ekologis
Tentu begitu banyak faktor ekologi dalam reformasi Polri. Sejak lama ada jargon mudah untuk mengenali lingkungan sebuah organ negara, yakni ekonomi-politik-sosial dan budaya. Sebagai instrumen negara, dalam ilmu administrasi diyakini adanya dominasi faktor politik dan budaya. Institusi Polri pun sangat dipengaruhi oleh dua faktor ini. Faktor politik reformasi Polri utamanya dipengaruhi hubungan-hubungan kekuasaan yang terjalin antara Polri dengan Presiden, institusi militer, DPR, partai politik, institusi penegak hukum, birokrasi pemerintah lainnya, institusi kepolisian internasional, serta standar-standar internasional bidang kepolisian, kejahatan, HAM, dan hukum.
Faktor budaya jelas menjadi elemen berharga dalam membaca gerak langkah perilaku Polri dan elemen-elemennya menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya. Pemahaman terhadap tupoksi, shared value elemen Polri, sejarah Polri, visi elemen-elemen Polri sangat menentukan budaya Polri. Budaya ini pun dipengaruhi oleh budaya luar Polri, yakni budaya bangsa Indonesia. Reformasi itu adalah upaya perbaikan keadaan sekarang sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Harus dicatat reformasi adalah suatu proses tanpa akhir (never ending process).
Berkaitan dengan penegakan hukum dan HAM, masalah kriminalitas, perlindungan dan pelayanan keamanan nasional yang menjadi area tupoksi Polri, kita tahu bahwa kondisi Indonesia masih memprihatinkan. Ini yang harus menjadi ujung sasaran reformasi Polri. Penegakan hukum masih diwarnai oleh diskriminasi. Maraknya pelanggaran HAM juga menjadi catatan tersendiri, kriminalitas jangan ditanyakan angkanya, soal keamanan bahkan kini dikejutkan oleh penggunaan senjata api yang makin marak.
Pilihan Reformasi
Perbaikan terhadap soal-soal di atas adalah tanggung jawab semua elemen bangsa. Namun, kita telah memiliki institusi formal yang diharapkan bekerja secara profesional menanganinya. Polri dapat melakukan reformasi dengan memilih dan memadukan beragam cara. Ada dua pendekatan besar.
Pertama, kultural. Kedua, struktural. Reformasi kultural dilakukan dengan menyiapkan secara komprehensif nilai-nilai Polri yang menjunjung tinggi kualitas, profesionalitas, nondiskriminatif, cepat, dan akurat (intelligent). Tampak mudah jika hanya formalism. Justru ini membutuhkan pendekatan radikal. Mulai dari atasan hingga bawahan harus memahami nilai-nilai ini sehingga harus ada shared value. Pendidikan Polri harus dirombak, jangan terlalu dominan militeristis. Mulai dengan dialog meskipun untuk pendidikan para prajurit dengan pangkat terendah.
Pendidikan jenjang Akpol dan pasca-Akpol perlu dibedakan dalam hal isi dialognya dengan tujuan yang bervariasi. Artinya perlu revisi kurikulum. Secara struktural dapat dikelola hal-hal yang terkait baik di dalam institusi Polri sendiri maupun hubungan keluar dengan berbagai lembaga negara. Polri ditandai oleh kepemimpinan yang monolitis di tangan Kapolri. Dewan Kepolisian yang dibentuk pun di bawah Kapolri. Para staf ahli yang ada di Polri pun bahkan untuk Kapolri. Pengambilan keputusan politik di tubuh Polri praktis di tangan Kapolri. Ini yang menimbulkan kekisruhan persepsi karena semuanya Kapolri.
Memang salah satu teori kekuasaan bahkan berpendapat kepolisian adalah bidang kekuasaan tersendiri. Namun sesungguhnya Polri dapat ditempatkan di bawah eksekutif. Polri diletakkan dalam sebuah mekanisme pengambilan keputusan yang mengandalkan eksekutif yang plural di tubuhnya. Secara teoretis, eksekutif plural lebih memudahkan terjadinya reformasi ketimbang eksekutif yang tunggal. Secara struktural juga dikelola mengenai manajemen Polri yang terdiri atas manajemen sumber daya manusia, peralatan, keuangan, dan lain-lain.
Hubungan-hubungan kekuasaan internal juga dikelola dalam soal reformasi struktural ini. Reformasi ini yang sering kali mudah dibaca oleh banyak pihak karena bisa pragmatis dan hasilnya dirasakan dapat lebih cepat ketimbang reformasi kultural. Persoalan gaji para anggota Polri sudah lama dibicarakan, persoalan hubungan kewenangan antarjenjang kepolisian juga menjadi area reformasi ini. Bahkan hubungan ini bisa terpengaruhi oleh bentuk negara Indonesia. Karena negara kesatuan dan Polri adalah birokrasi nasional, maka sudah pasti hubungannya adalah sebatas atasan bawahan.
Persoalannya adalah seberapa jauh diskresi yang bisa dikembangkan oleh polda atau polres. Ini area yang selama ini “hanya orang Polri” saja yang tahu. Cara pandang reformasi juga bisa dilakukan apakah bersifat programatis, prosedural atau teknis. Bisa juga dengan cara lain berupa shock therapy atau komprehensif. Ali Farashmand (2005) menuliskan bahwa reformasi bisa dilakukan dengan cara institusional, bottom-up, dan atau top down. Pendekatan-pendekatan tersebut bisa dilakukan sebagai pilihan atau sebagai campuran.
Grand Design Reformasi
Syarat reformasi Polri juga ditentukan oleh adanya (1) grand designyang mencakup: arah, timing, dan ukuran capaian; (2) strategi yang digunakan; (3) sumber daya yang dibutuhkan; dan (4) aktor-aktor yang berperan. Grand design reformasi berupa deliberate plan change, suatu cetak biru perencanaan yang diumumkan ke publik apa yang akan dilakukan Polri. Siapa pun Kapolrinya harus mewujudkannya. Grand design ini diputuskan oleh pemegang pengambilan putusan di tubuh Polri.
Jadi jikapun ada grand design, saat ini yang paling menentukan adalah Kapolri sendiri. Lain lagi jika kelembagaan Polri yang dikembangkan oleh pengambil keputusan pada level suprapolitik bangsa Indonesia menempatkan suatu board di atas Kapolri dan Kapolri adalah eksekutifnya, maka grand design tersebut otomatis ditentukan oleh board tersebut dan bukan Kapolri. Saat ini Kapolri adalah pemegang keputusan politik Polri dan pelaksananya sekaligus. Itulah akibatnya saat Kapolri sakit, semua mudah memandang secara politis. Dengan demikian juga UU mengenai Polri adalah jalan utama dan pertama reformasi Polri.
Dari segi waktu grand design bisa dikembangkan dengan teknik memilah atas based line, middle line, dan final line yang mengandung indikator capaian. Menurut saya, dalam grand design ini dibutuhkan reformasi tata kelola Polri karena Polri yang ada saat ini adalah Polri yang kurang terbuka. Jadi arah yang dituju bukan saja sasaran substansial semata, tetapi arah prosedural yang menyangkut tata kelola dan manajemen Polri perlu juga diubah. Agar efektif, reformasi juga harus mendapat dukungan politik dan dukungan administratif.
Oleh karena itu harus diumumkan grand design tersebut ke publik. Yang pasti reformasi adalah jalan tak berujung, karenanya jangan mudah putus harapan. Kita ukur, evaluasi, dan koreksi, feed-back dan aksi. Begitu terus-menerus, pasti ada hasilnya.(*)
Prof Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP UI dan Dewan Pakar IAPA
Opini Okezone 27 Agustus 2010
27 Agustus 2010
Ekologi Reformasi Polri
Thank You!