27 Agustus 2010

» Home » Media Indonesia » Meninjau kembali Model Evaluasi Kabinet

Meninjau kembali Model Evaluasi Kabinet

Kasus ledakan gas elipiji 3 kg terus menimbulkan korban di sejumlah daerah di Indonesia. Matinya listrik di Bandara Udara Soekarno-Hatta, beberapa minggu lalu, menjadi tragedi dalam dunia transportasi dan pariwisata yang terburuk selama beberapa tahun di negeri ini. Fenomena kekerasan dan bentrok dengan latar belakang etnik, agama, dan kelompok juga masih marak di lingkungan urban dan perkotaan. Tidak hanya itu, penyisiran sepihak yang dilakukan FPI juga kian meresahkan masyarakat.


Ditambah lagi dengan fenomena pemberantasan terorisme yang tak pernah berakhir juga kian memancing kecurigaan dari sejumlah kalangan. Belum lagi jika hal itu ditambah dengan kecenderungan melonjaknya harga-harga sembako yang kian mencekik. Semuanya pada akhirnya berujung pada kualitas kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dalam pemerintahan SBY-Boediono.

Sebenarya bukan hal yang mengherankan jika hasil evaluasi kinerja KIB II yang dilakukan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalilan Pembangunan (UKP4) memberikan rapor merah kepada sejumlah menteri. Jika ditambah dengan fenomena nasional terakhir, jumlah rapor merah itu mestinya layak untuk dialamatkan ke sejumlah menteri dan pejabat setingkat menteri.

Evaluasi kinerja kabinet sebenarnya merupakan langkah maju dalam tradisi komunikasi politik di negeri ini. Sejak semula, Presiden Yudhoyono tampaknya menerapkan model manajemen komunikasi politik terkait dengan kinerja masing-masing yang tidak hanya berbasis pada pertimbangan politik semata, tetapi juga mengedepankan sejumlah indikator yang terukur.

Performances based

Model evaluasi jenis itulah tampaknya yang pernah dijalankan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalilan Pembangunan (UKP4). Dalam hal ini Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalilan Pembangunan (UKP4) hanya mengevaluasi pelaksanaan subrencana aksi yang telah disampaikan setiap kementerian. Dalam hal ini, UKP4 tidak melakukan evaluasi kinerja menteri atau kementerian. Namun, yang dilakukan itu adalah untuk melihat seberapa jauh sub-subrencana aksi dilaksanakan.

Model itu dilakukan UKP4 bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dengan menjabarkan 70 program, 155 rencana aksi, dan 369 subrencana aksi. Hasil yang diharapkan adalah 119 kebijakan, 77 proyek fisik, dan 182 proyek nonfisik dengan penanggung jawab 45 kementerian/lembaga.

Model evaluasi seperti ini pada akhirnya menimbulkan sejumlah kontroversi. Ujung kontroversi di sini terkait dengan empat kriteria penilaian: sangat memuaskan, memuaskan, kurang memuaskan, dan sangat mengecewakan. Hal yang paling sensitif adalah ketika kinerja sebuah kementerian mendapatkan kriteria sangat mengecewakan. Kriteria 'mengecewakan' di sini berarti bahwa capaian kurang dari 50% dari sasaran.

Indikator pencapaian di sini juga menjadi sumber perdebatan terkait dengan indikator seperti serapan anggaran ataukah berdasarkan pelaksanaan di lapangan. Indikator ini juga menyimpan aspek objektif dan subjektif.

Berbasis kepuasan publik

Idealnya, selain dengan mengacu ke model performance based, evaluasi KIB II ini juga mestinya mengacu ke tingkat kepuasan publik. Model pertama jelas memiliki kelamahan mendasar, yaitu bias sudut pandang birokrasi. Model pertama juga memiliki sejumlah kelemahan terkait dengan penentuan indikator kualitatif dan kuantitatif berdasarkan paradigma pembangunan yang dianut tiap sektor. Bukan tidak mungkin, di dalamnya juga mengandung benturan sudut pandang antarsektor yang hingga saat ini masih mengidap sindrom ego sektoral.

Berbeda dengan yang pertama, model kedua didasarkan atas indikator data objektif yang bersumber dari pendapat publik. Instrumen untuk menjalankan model itu adalah dengan menggunakan metode survei terhadap publik dan stakeholder serta user tiap program, aktivitas, dan subaktivitas rencana aksi. Indikator kepuasan publik di sini dapat dikembangkan dari tiap jenis program, aktivitas dan subaktivitas rencana aksi yang dijalankan 48 kementerian/lembaga negara.

Evaluasi dengan model itu jelas lebih objektif dan tidak bias subjektif sudut pandang birokrasi. Kendatipun penggunaan evaluasi dengan model ini juga tetap memiliki kelemahan. Kelemahan pertama terkait dengan tingkat pemahaman dan intensitas publik, tiap stakeholder dan user terhadap 70 program, 155 rencana aksi, dan 369 subrencana aksi. Kelemahan kedua, terkait dengan unsur subjektivitas (opini dan persepsi) tiap stakeholder dan user terhadap 70 program, 155 rencana aksi, dan 369 subrencana aksi.

Hingga saat ini, model evaluasi jenis ini tampak cenderung diabaikan UKP4. Padahal, model itu juga sangat penting untuk melihat respons publik, stakeholder dan user bagi keseluruhan kinerja kementerian dan lembaga negara. Data hasil evaluasi dengan model itu juga akan sangat berguna bagi Presiden sebagai cermin objektif, sejauh mana tingkat keberhasilan tiap kementerian/lembaga negara dalam menjalankan fungsi masing-masing di mata publik.

Perlu evaluasi komprehensif

UKP4 sebagai lembaga strategis mestinya harus mengembangkan model evaluasi yang jauh lebih komprehensif. Hal yang dapat dilakukan misalnya dengan menjalankan model evaluasi kombinasi antara model performances based dan public satisfaction based. Model pertama untuk melihat kinerja tiap kementerian dan lembaga negara dari sudut pandang pemerintahan terkait dengan perencanaan hingga pelaksanaan di lapangan. Model kedua untuk melihat respons publik atas kinerja tiap kementerian/lembaga negara.

Kombinasi penggunaan kedua model tersebut juga penting untuk mengatasi bias subjektif yang cenderung sensitif dengan dinamika politik elite. Hal itu terutama terkait dengan kinerja posisi dan menteri/kepala lembaga negara yang berasal dari partai-partai koalisi.

Penggunaan dua model evaluasi tersebut penting karena bisa jadi, jika mengacu ke performance based, sebuah kementerian/lembaga negara bisa jadi 'sangat mengecewakan'. Namun, di mata publik bisa jadi sangat memuaskan, dan juga sebaliknya. Model performance based jelas akan dengan mudah dicurigai dan kadangkala kurang/sulit dimengerti dari kacamata politik. Hal itu jelas berbeda dengan model kepuasan publik yang lebih mudah dimengerti dari kacamata publik.

Adalah ironis jika evaluasi kabinet tidak menyertakan publik sebagai pemberi mandat. Presiden dan para kabinet mestinya bekerja dan mempertanggungjawabkan mandat yang diperolehnya dari publik. Mengapa ledakan tabung gas elpiji 3 kg terus saja terjadi, mengapa harga sembako terus saja tak terkendali, mengapa terorisme seperti tak dapat dilenyapkan, mengapa kasus Century tak mampu diungkap secara transparan, dan seterusnya. Jelas, publik berhak tahu dan berhak memberikan evaluasi kepada para menteri atas atas kinerja. Tanpa itu, rasanya akan sulit berharap demokrasi mampu memberikan harapan bagi peningkatan kesejahteraan publik.

Oleh Ahmad Nyarwi
Staf Pengajar Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM
OPini MEdia Indonesia 26 Agustus 2010