Tulisan Hami Mudjadid Irsyad (HM) dengan judul Zakat berantas kemiskinan yang dimuat SOLOPOS, Jumat (20/8) memberikan pesan utama bahwa kemiskinan adalah salah satu problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan sebagai solusinya adalah dengan memberdayakan zakat.
Kesimpulannya di samping dengan membentuk pemerintahan yang bersih, bebas korupsi, penyaluran infak serta sedekah zakat menjadi makin relevan.
Tulisan tersebut menarik untuk ditanggapi mengingat pertama, persoalan kemiskinan memang menjadi persoalan yang pelik bukan saja dalam skala nasional akan tetapi menjadi gejala global. Sayang tulisan tersebut tidak mengungkapkan definisi kemiskinan, sebab terjadinya kemiskinan dan realitas kemiskinan.
Kedua, kesimpulan bahwa zakat seolah menjadi obat mujarab bagi problem kemiskinan adalah argumen yang menyederhanakan masalah yang dibangun dengan logika maslahat atas pertimbangan fakta kemiskinan itu sendiri.
Ketiga, implikasinya, zakat kehilangan ruhnya sebagai ibadah. Alasannya, pengelolaan (tasaruf) zakat seperti ini sebenarnya tidak dibangun sedikit pun berdasarkan nash syariat, baik Alquran, sunah, ijmak sahabat, maupun qiyas. Dalam hal ini, Imam as-Syafi’i, sebagaimana dikutip Ibn Qudamah, ketika mengkritik para pengguna istihsan, menyatakan, ”Siapa saja yang menggunakan logika istihsan (untuk menarik hukum), berarti dia telah membuat syariat.” Dengan kata lain, orang yang menggunakan logika maslahat ini pada dasarnya telah membuat syariat sendiri.
Kemiskinan
Miskin (poor) dalam sistem kapitalisme maupun sosialisme, ukurannya berbeda-beda. Bank Dunia, misalnya, mematok ukuran kemiskinan US$2 per hari per kepala. Dalam pandangan Islam, kemiskinan (al-maskanah) atau kefakiran (al-faqr) indikasinya sama, jika kebutuhan dasar setiap individu (sandang, papan dan pangan) tidak terpenuhi; termasuk kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan keamanan; sekalipun yang terakhir ini merupakan tanggung jawab negara.
Fakir menurut pengertian syariat adalah orang yang membutuhkan dan keadaannya lemah, yang tidak bisa dimintai apa-apa.
Dengan definisi di atas maka jelas ukuran seseorang dianggap miskin. Lalu seberapa besar sesungguhnya jumlah angka kemiskinan di Indonesia? Berdasarkan hasil sensus BPS tahun 2010 ini, dari jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta, yang masuk kategori miskin sekitar 13% atau sekitar 30 juta lebih. Itu pun jika menggunakan standar yang tidak manusiawi, yakni kemiskinan diukur dengan pendapatan per orang US$1/hari (Rp 7.000-9.000).
Kalau menggunakan standar Bank Dunia (US$2/hari) tentu kita akan menemukan angka lebih dari 100 juta penduduk miskin di Indonesia.
Persoalan kemiskinan umat Islam atau rakyat sebuah negara adalah problem yang tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang diterapkan di negara tersebut. Penyebabnya adalah kapitalisme atau sosialisme. Kapitalisme—dengan konsep trickle and down effect (penumpukan dan efek pemerataan ke bawah)—hanya bisa menumpuk kekayaan, tetapi tidak bisa menjamin kekayaan tersebut didistribusikan secara merata.
Apalagi kapitalisme berpijak pada akidah sekularisme yang jauh dari agama, yang menyebabkan para pelaku ekonominya menjadi buas dan serakah, tanpa rasa takut sedikit pun akan hisab Allah di akhirat. Sebaliknya, sosialisme—dengan konsep equality (pemerataan)—memang berhasil melakukan pemerataan, tetapi gagal meningkatkan produktivitas ekonomi, yang mengakibatkan tidak adanya barang yang didistribusikan di tengah masyarakat. Walhasil, dua-duanya gagal menyelesaikan kemiskinan. Justru sebaliknya, keduanya merupakan sistem yang menjadi pangkal kemiskinan itu sendiri.
Untuk kasus Indonesia, secara faktual memang tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan yang diambil bercorak kapitalistik liberal. Buktinya adalah kebijakan yang dilakukan, di antaranya pemerintah mulai melepaskan diri dari tanggung jawabnya.
Berkembangnya ekonomi nonreal dan macetnya ekonomi real, mata uang yang bergantung pada dolar, lahirnya UU SDA sangat liberal. Demikian pula UU Migas, UU Minerba, UU Kelistrikan, UU Pendidikan, UU Kesehatan dan UU lainnya. Sebagian besar UU itu bukan saja tak berpihak kepada rakyat, malah banyak yang menzalimi rakyat.
Jika demikian gambarannya, lalu benarkah zakat bisa memberantas kemiskinan? Menurut data Baznas, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 19 triliun per tahun, Namun realisasi penghimpunan zakat baru mencapai Rp 900 miliar pada tahun 2008. Ini artinya penghimpunan dana zakat secara nasional baru sekitar 2% dari potensinya. Jumlah ini jelas tidak memadai dibanding dengan uang ”lenyap” pada kasus skandal Century senilai Rp 6,7 triliun atau skandal BLBI yang menguap Rp 700 triliun.
Lalu bagaimana kita mendudukkan syariat zakat agar bernilai ibadah dan mendapat keridaan Allah SWT? Zakat adalah ibadah yang bersifat tawqifi (given) dari Allah SWT. Zakat kadang-kadang disebut sedekah, demikian pula sebaliknya. Menurut bahasa, zakat berarti pertambahan (an-nama’), bisa juga berarti pembersihan atau penyucian (tathhir). Menurut syariat, zakat adalah hak yang telah ditentukan, yang diwajibkan atas harta dan individu tertentu.
Dalam ibadah tidak ada ‘illat (alasan hukum); misalnya, mengapa zakat fitrah itu—menurut sebagian mazhab—hanya boleh dibayar dengan jenis makanan tertentu dan tidak boleh digantikan dengan yang lain.
Mengapa zakat mal hanya diwajibkan atas harta tertentu, seperti hewan ternak, yaitu unta, lembu dan kambing atau tanaman seperti sya’ir (gandum), khinthah, tamr (kurma kering), dan zabib (anggur yang dikeringkan); mata uang, yaitu emas dan perak, harta perniagaan; mengapa zakat fitrah harus ditunaikan setiap tahun di bulan Ramadan? Mengapa zakat mal selain tanaman dikeluarkan setiap setahun sekali, sedangkan tanaman setiap panen, ketika masing-masing telah mencapai nisab? Semua ini tawqifiyyah (otoritas penuh) yang menjadi hak Allah, tidak disertai ‘illat (alasan hukum) dan ma‘lul (efek hukum).
Karena itu, persoalan zakat adalah persoalan yang sepenuhnya harus dikembalikan kepada Allah, yang berarti harus merujuk pada dalil syariat atau harus manshus (dinyatakan di dalam nash).
Memang benar bahwa zakat memiliki implikasi sosial. Akan tetapi, zakat adalah persoalan ibadah sedangkan kemiskinan disebabkan oleh sistem ekonomi yang fasad (rusak). Keduanya dua hal yang berbeda.
Solusi kemiskinan
Secara konkret, Islam telah memberikan langkah-langkah yang harus ditempuh supaya problem kemiskinan bisa diselesaikan secara komprehensif, di antaranya; pengaturan dan pengelolaan kepemilikan, distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat secara adil dan berakhlak, jaminan kebutuhan pokok dan kebutuhan vital kolektif oleh negara, mata uang yang disandarkan pada emas dan peningkatan kualitas SDM oleh negara, serta sanksi keras terhadap pelaku pembocoran kas negara (koruptor).
Di sinilah kecemerlangan Islam dalam menuntaskan problem kemiskinan. Artinya, Islam tidak memandang bahwa kemiskinan merupakan urusan individu semata, tetapi melibatkan negara dan sistemnya.
Jadi, penuntasan kemiskinan tidak dapat dipecahkan hanya semata-mata dengan dana zakat, meskipun dengan cara memproduktifkannya, misalnya melalui investasi dan usaha. Belum lagi jika investasi dan usaha tersebut justru merugi, yang tentu malah akan menambah beban kemiskinan. Ini tentu akan lebih menzalimi para mustahik zakat. Wallahualam. - Oleh : Utsman Zahid
Opini Solo Pos, 27 Agustus 2010
27 Agustus 2010
Mengembalikan ”ruh” zakat
Thank You!