Oleh Ismatillah A. Nu'ad (peminat Historiografi Indonesia Modern)
Poverty is the mother of crime-Marcus Aurelius
Maraknya aksi perampokan atau penggarongan yang dilakukan sekelompok penjahat bersenjata akhir-akhir ini sangat merisaukan rasa keamanan di masyarakat. Ditengarai, aksi kriminalitas itu dominan terjadi karena menjelang Lebaran, di mana transaksi keuangan tengah bergulir kencang. Ini tentunya menuntut peran kepolisian atau aparat keamanan negara agar bisa mencegah terjadinya angka kriminalitas ke depan hingga musim mudik Lebaran nanti berakhir dan bahkan semestinya hingga kapan pun.
Kepolisian hendaknya lebih intensif menjaga lokasi-lokasi di mana masyarakat sekarang ini banyak melakukan transaksi keuangan, seperti bank, ATM, toko emas, pasar, pusat perbelanjaan, dan seterusnya. Karena bukan tidak mungkin, selain kelompok penjahat bersenjata yang kemarin ini berhasil menggasak Bank CIMB Niaga dan toko emas, kemungkinan masih banyak sekawanan kelompok penjahat lain yang akan melakukan aksi kriminalitas menjelang hingga akhir mudik Lebaran nanti.
Adapun pertanyaan mengapa angka kejahatan masih sangat tinggi? Faktor-faktor klasik umumnya masih menjadi patokan, seperti kemiskinan, pengangguran, peningkatan jumlah penduduk, persaingan hidup semakin keras, dan penghambaan terhadap materi. Selain itu, boleh jadi para penjahat merasa tingkat keamanan juga masih minim dilakukan oleh kepolisian sehingga mereka berani melakukan aksinya dan juga hukum yang bisa dibilang tidak pasti. Hukum tidak memenuhi asas keadilan membuat orang mencari caranya sendiri untuk memuaskan rasa keadilannya meskipun cara-cara itu bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku.
Bagaimanapun, kejahatan merupakan tindakan antisosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkannya, negara harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat. Menurut M.A. Elliot (1986), kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modern atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum yang kemudian dapat dijatuhi hukuman penjara, hukuman mati, dan hukuman denda karena perbuatan yang telah menyebabkan kerugian pada orang lain.
Kejahatan atau kriminalitas bahkan bisa dikategorikan sebagai teror atau terorisme. Ia tak hanya dinisbatkan pada gerakan keagamaan tertentu. Seperti terjadi di belahan Amerika Latin pada sekitar dekade 80-an, di mana pada masa itu banyak sekali mafia kejahatan yang melakukan aksi kriminalitas, entah perampokan, peredaran narkoba, dan pembunuhan. Saat itu, karena peredaran narkoba, misalnya, memiliki modus operandi secara transnasional yang diselundupkan hingga ke AS, pemerintah AS menganggap harus melakukan perang terhadap narkoba dan jenis kejahatan lainnya.
Pemerintah AS akhirnya memainkan politik terorisme di sejumlah negara Amerika Latin, seperti Nikaragua, Kuba, Meksiko, dan lainnya. Hanya berbeda bentuk subjeknya, jika di Amerika Latin subjek terorisme dikaitkan dengan isu-isu kriminalitas dan pemberontakan, subjek terorisme di negara-negara berbasis Islam dikaitkan dengan isu-isu militansi keagamaan dan fundamentalisme Islam.
Upaya-upaya penanggulangan kejahatan dan kriminalitas dapat ditempuh dengan tiga hal. Pertama, penerapan hukum pidana yang ketat (criminal law application). Tiap warga negara yang terlibat kejahatan, tak boleh tidak harus dihukum sesuai perbuatannya. Kedua, pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), tapi negara menyediakan tempat-tempat rehabilitasi bagi setiap pelaku kejahatan dan negara harus membuat kebijakan-kebijakan yang pro-kesejahteraan untuk masyarakat. Ketiga, memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media). (G. Peter Hoefnagels, An inversion of the concept of crime, 1973)
Dari tiga itu, penanggulangan kejahatan dapat disimpulkan pada dua cara, yaitu perpaduan antara sarana penal dan nonpenal. Sarana penal adalah pemberlakuan hukum secara tegas. Sementara itu, nonpenal adalah sarana nonhukum, yang dapat berupa kebijakan ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan, teknologi, dan lain-lain.
Upaya itu dilakukan karena hukum saja tidak akan mampu menjadi satu-satunya sarana dalam upaya penanggulangan kejahatan yang begitu kompleks yang terjadi di masyarakat. Hukum bukan satu-satunya faktor yang menghilangkan akar terjadinya kejahatan. Begitu juga adanya sanksi pidana hanyalah berusaha mengatasi gejala atau akibat dari penyakit dan bukan sebagai obat untuk mengatasi sebab-sebab terjadinya penyakit.
Adapun batas-batas kemampuan hukum sebagai sarana kebijakan penanggulangan kejahatan adalah karena hukum hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks.
Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama dari kebijakan kriminalitas. Pernyataan yang sering diungkapkan dalam kongres-kongres PBB mengenai the prevention of crime and the treatment of offenders, yaitu, pertama, pencegahan kejahatan dan peradilan janganlah dilihat sebagai problem yang terisolasi dan ditangani dengan metode yang simplistik, tapi seharusnya dilihat sebagai masalah yang lebih kompleks dan harus ditangani dengan kebijakan yang menyeluruh. Kedua, pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan itu sendiri.
Kejahatan merupakan produk dari masyarakat sehingga apabila kesadaran hukum telah tumbuh dimasyarakat, kemudian ditambah dengan adanya upaya strategis melalui kolaborasi antara sarana penal dan nonpenal, dengan sendiri tingkat kriminalitas akan turun sehingga tujuan akhir politik kriminal, yaitu upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) akan dapat terwujud.
Opini Republika 26 Agustus 2010
27 Agustus 2010
Kejahatan Menjelang Lebaran
Thank You!