27 Agustus 2010

» Home » Kompas » Antisipasi Krisis Pangan

Antisipasi Krisis Pangan

FRANCISCUS WELIRANG
Awal puasa lalu, seorang pengamat politik bertanya, ”Apakah gagal panen gandum di Rusia saat ini dapat mengganggu ketahanan pangan nasional kita?”
Dengan hati-hati penulis menjawab, implikasi langsung tentu saja tidak ada. Kenaikan harga beras kita sekarang, misalnya, tidak ada kaitan langsung dengan penurunan produksi gandum di Rusia, Kazakhstan, Ukraina, dan penurunan luas tanam di Kanada akibat hujan, serta wilayah Australia bagian barat yang sampai saat ini belum mendapatkan hujan, mengakibatkan harga gandum melonjak sekitar 40 persen dalam sebulan terakhir, yaitu dari 175 dollar AS per metrik ton menjadi 250-260 dollar AS.


Kenaikan harga beras di Indonesia saat ini lebih disebabkan sebagian gagal panen dan momentum puasa. Akan tetapi, jika rentang siklus sebab akibat diperluas, memang masih terbuka ruang untuk perdebatan.
Efek domino
Dalam konteks ini, rasanya sulit mengelak adanya implikasi tak langsung penurunan produksi dan kenaikan harga gandum tersebut. Ini berkaitan dengan dampak psikologis dan efek domino pada ketahanan pangan kita.
Penurunan produksi dan kenaikan harga gandum dunia secara psikologis mendorong naiknya harga pangan lain. Jagung dan kedelai adalah sebagian komoditas yang langsung terdampak. Kedua bahan pangan itu menjadi substitusi untuk pakan ternak. Akibatnya, harga jagung dan kedelai ikut naik mengikuti pesatnya permintaan. Di sini, efek domino tingkat pertama dari penurunan produksi dan kenaikan harga gandum mulai terasa. Setidaknya, harga daging, ayam, dan telur pasti langsung terseret naik.
Bagi Indonesia, keadaan tersebut menjadi terasa berat apabila produksi jagung nasional meleset dari target. Saat ini saja kita sudah mengimpor 500.000 ton jagung. Tidak tertutup kemungkinan, jumlah ini akan meningkat menjadi 800.000 ton apabila panen jagung semester kedua tahun ini gagal.
Selain itu, penurunan produksi gandum secara psikologis juga memengaruhi perilaku negara- negara pengimpor terigu. Turki, misalnya, akhirnya membatalkan pengapalan sekitar 60 persen impor Indonesia. Kondisi demikian tentu saja bisa mengganggu kebutuhan terigu nasional. Bisa dipastikan, harga makanan berbasis terigu pada saatnya juga akan merangsek naik.
Mencermati perkembangan tersebut, perasaan terkepung oleh kenaikan harga pangan sulit dihindarkan. Terlebih lagi, produksi beras nasional tahun ini juga lebih memungkinkan turun karena hujan besar tanpa henti selama sembilan bulan sehingga waktu tanam hilang dan pupuk terkikis. Karena itu, bisa terjadi, pada catur wulan keempat tahun 2010 dan catur wulan pertama tahun 2011, kita terpaksa harus impor beras. Selain itu, harga gula juga diperkirakan akan naik karena rendemen tebu turun akibat musim yang terlalu basah sepanjang tahun ini.
Tindakan mendesak
Tumpang tindihnya masalah pangan sebagai akibat perubahan cuaca yang ekstrem, jika tidak diantisipasi sejak dini, akan menghantam ketahanan pangan nasional. Krisis pangan bisa saja terjadi meski sampai hari ini, menurut Bulog, stok beras nasional masih aman sampai awal 2011. Pengadaan beras tahun ini 1,8 juta ton. Angka itu memang lebih rendah dibandingkan 2009 yang mencapai 3,8 juta ton.
Penurunan pengadaan beras memang harus diwaspadai. Idealnya, meskipun kualitas beras turun, Bulog tetap melakukan pembelian beras dari petani, seperti ketika produktivitas dan kualitas padi sedang baik. Ini langkah preventif untuk mengamankan stok beras nasional ketika cuaca sering berubah ekstrem dan tak terduga seperti sekarang. Dengan konsideran seperti itu, kualitas beras sejatinya menjadi nomor dua.
Saat ini tidak ada pilihan lain bagi semua komponen bangsa, terutama pemerintah, kecuali mempersiapkan langkah-langkah pengamanan untuk menjamin ketahanan pangan nasional. Langkah awal guna mengantisipasi krisis pangan adalah pengumpulan data secara komprehensif menyangkut posisi stok pangan, terutama beras, yang ada di gudang Bulog. Selain itu juga kepastian luas tanaman padi, tingkat penjualan benih dan pupuk, serta data panen per areal saat ini.
Harus jujur diakui, kelengkapan data sering kali diabaikan. Kita cenderung taken for granted memercayai data lama sebagai rujukan, padahal cuaca sudah berubah ekstrem. Tanpa melakukan pembaruan pendekatan, peluang terjadinya kesalahan proyeksi defisit beras selalu terbuka di masa depan. Selain itu, ancangan untuk melakukan impor juga akan terlambat.
Dengan basis data yang kokoh tersebut, hal mendesak secara spesifik adalah melakukan gerakan olah tanah segera setelah panen dan larangan terhadap pembakaran ladang pascapanen harus ditegakkan. Ini dilakukan untuk menyelamatkan unsur hara agar tidak cepat habis dan hama tidak berkembang.
Selanjutnya, seperti dinyatakan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, penyuluh pertanian yang jarang turun ke lapangan harus ditindak tegas.
Tanpa beberapa langkah antisipatif tersebut, upaya kita untuk menjaga ketahanan pangan nasional di tengah perubahan iklim yang ekstrem lebih bersifat utopis daripada realistis.
FRANCISCUS WELIRANG Pelaku Usaha dan Pengamat Bidang Pangan
Opini KOmpas 27 Agustus 2010