Diplomasi dalam banyak hal adalah sebuah instrumen politik, sebuah cara untuk mencapai kepentingan nasional. Namun, dalam kasus dinas kelautan dan perikanan (DKP) ini, kita tak dapat mengenali dengan jelas kepentingan apa sesungguhnya yang demikian mendesak untuk diselamatkan sehingga di tengah persoalan humiliasi dan provokasi kedaulatan yang serius seperti ini kita tak juga muncul dengan ketegasan dalam berdiplomasi.
Mereka yang setuju berpendapat bahwa kecenderungan untuk bersikap emosional dan konfrontatif harus dikesampingkan. Mereka berpandangan, Indonesia dan Malaysia sama-sama saling membutuhkan, tidak selayaknya kedua negara bertikai dalam persoalan sepele ini.
Kita bisa menerima peringatan untuk tidak emosional serta asal-konfrontatif ini, tetapi cara banyak pihak keluar dari kemungkinan emosional dan asal-konfrontatif itu dengan cara menyerah dalam argumentasi lawan dan berkompromi terhadap humiliasi menunjukkan ketidakkreatifan dalam memahami diplomasi.
Dalam literatur klasik strategi, lawan dari perang bukan hanya penyerahan diri dan humiliasi, melainkan dalam banyak persengketaan kita dengan Malaysia beberapa tahun terakhir, pilihan yang lebih sering kita ambil berputar-putar sebatas ini.
Dari persoalan klaim Ambalat, tari pendet, hingga pemulangan TKI, pesan masyarakat sesungguhnya jelas: mereka menghendaki postur diplomasi yang lebih gagah dan berani. Namun, dalam banyak kasus, yang terjadi diplomasi kita tidak banyak mencapai kemajuan berarti.
Alih-alih menjadi ujung tombak pencapaian kepentingan nasional di luar negeri, diplomasi kita justru berfungsi sebaliknya: menjadi juru bicara argumentasi luar negeri terhadap beberapa persoalan yang menggusarkan negeri. Jika tidak menyerah pada argumentasi negara lawan, sikap ini hanya berujung pada upaya memoderasi persoalan humiliasi yang menimbulkan kegusaran di dalam negeri.
Dalam kasus DKP, kecenderungan ini terulang lagi. Dalam banyak kesempatan, alih-alih menunjukkan sikap empati dan ketegasan yang serupa dengan diharapkan masyarakatnya, Menteri Marty Natalegawa dalam berbagai keterangan publiknya justru lebih banyak mengungkapkan soal garis perbatasan yang belum jelas, yang selain menjustifikasi sikapnya yang tidak tegas pada dasarnya juga membenarkan sikap Malaysia untuk melakukan hal yang sama.
Padahal, kita tahu bahwa alasan garis perbatasan yang belum jelas adalah posisi atau argumentasi Malaysia dalam kasus ini. Posisi atau argumentasi Indonesia seharusnya adalah segala hal yang tidak saja membenarkan sikap tegas dan protes keras kita atas provokasi keterlaluan ini, tetapi juga mendekonstruksi klaim atau alasan Malaysia dalam kasus ini.
Barangkali memang benar bahwa keberlakuan klaim Malaysia ini dalam beberapa hal mungkin menyulitkan maksimalisasi posisi diplomatik kita dalam kasus ini. Namun, di situlah diplomasi menemukan seni dan tautannya secara politik. Di tengah persoalan perbatasan yang belum tuntas, tugas utama diplomasi adalah mencari celah bagi pemenuhan ekspektasi publik yang tinggi, bukannya berusaha memoderasi ekspektasi itu dengan lebih banyak menghadirkan argumentasi pihak lawan dalam kasus ini.
Kemampuan diplomasi untuk tampil sebagai seni berpolitik yang cerdas dan lihai serta senantiasa bertaut dengan ekspektasi publik di dalam negeri inilah yang dewasa ini amat langka dijumpai. Bagi negeri yang telah berkali-kali mengalami humiliasi, diplomasi perlu lebih banyak tampil dengan wajah ketegasan hati, bukan curahan hati (curhat) atas kesulitan yang dihadapi.
Dengan kecenderungan mentalitas curhat dan melow belakangan ini, kita perlu melihat persoalan ini dalam kacamata yang lebih besar, yakni pemerintahan periode ini cenderung mengembangkan sebuah diplomasi tanpa politik.
Kelembekan kita dalam kasus DKP ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan konsekuensi kebijakan luar negeri thousand friends, zero enemy pemerintahan ini. Demi kebijakan zeroing enemy itu pula, bilamana perlu, tuntutan publik serta legislator bukan lagi persoalan penting, terutama jika aspirasinya berisiko untuk menciptakan musuh-musuh baru. Dalam kaca pandang kepentingan kaum kosmopolitan, ini tentu ideal, tetapi dalam kaca pandang diplomasi, sebagai instrumen kepentingan nasional, kebijakan ini memberikan banyak keterbatasan.
Sebagai instrumen kepentingan nasional, diplomasi tidak saja terikat oleh aspirasi politik domestik, tetapi juga perlu dikembangkan secara penuh siasat. Di- plomasi tidak seharusnya melarikan diri bila panggilan nasional menghendaki bersikap tegas atas segenap upaya provokasi.
Kasus DKP ini membukakan mata kepada kita, tidak saja kelembekan yang memprihatinkan dalam kinerja diplomasi kita, tetapi juga kecenderungan umum desain kebijakan luar negeri thousand friends, zero enemy pemerintah ini dalam mengembangkan sebuah ”diplomasi tanpa politik” yang tidak kondusif bagi ekspektasi publik terkait postur diplomasi yang lebih bermartabat dan bergigi.
Opini Kompas 27 Agustus 2010