30 Maret 2010

» Home » Lampung Post » Vote Gatter’ dan Pembodohan Pemilih

Vote Gatter’ dan Pembodohan Pemilih

Muhammad Ali Badary
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Unila, anggota Pusat Kajian Hukum dan HAM Lampung (Paham Lampung)
Demokrasi di Indonesia dimulai dari momentumnya di tahun 1999 kini telah berumur lebih dari sepuluh tahun. Perhitungan waktu haruslah disejajarkan dengan perhitungan hasil karena suatu proses tentunya mengarah pada suatu tujuan yang hendak dicapai. Pertanyaannya adalah apakah demokrasi yang kita lalui dengan berbagai mekanismenya telah berjalan dengan benar.
Bila kita cermati secara perlahan dari setiap pesta demokrasi yang notabenenya merupakan wahana utama di mana rakyat diberikan porsi terbesar untuk menentukan arah perkembangan negara, yaitu pemilu baik nasional maupun pilkada, maka kita akan temukan suatu fenomena yang dikenal dengan istilah vote getter.
Istilah vote getter mencuat dan menjadi semarak pascajatuhnya rezim Orde Baru. Berubahnya mekanisme pemilu di mana kebebasan diberikan kepada masyarakat untuk memilih siapa yang pantas mewakili mereka ataupun memimpin mereka, adalah penyebab utama fenomena ini muncul di tengah-tengah proses demokrasi yang kita lalui ini.


Munculnya fenomena vote getter tidaklah lepas dari peran partai politik yang mencalonkan calon yang memiliki ketenaran yang luar biasa di mata masyarakat. Tujuan utama mengapa partai politik melakukan hal yang demikian adalah demi kemenangan dan kekuasaan yang diperoleh melalui pemilu. Karena ukuran kemenangan dalam pemilu tidak lagi diukur dari kualitas tapi lebih mengarah pada kuantitas.
Apakah lazim fenomena vote getter berada dalam proses demokrasi. Ini merupakan pertanyaan besar yang harus dijawab oleh partai politik, yang merupakan aktor utama penyebab munculnya fenomena vote gatter.
Sejatinya segala bentuk sistem politik, termasuk demokrasi tidaklah diciptakan dengan tujuan yang bersifat formal tapi selalu memiliki tujuan yang bersifat substansial. Tujuan formal demokrasi terletak pada tataran tersedianya mekanisme-mekanisme demokrasi dalam penyelenggaraan negara semisal pemilu, tapi lantas tujuan formal itu akan nyaris tanpa makna tanpa tujuan substansial dari adanya mekanisme demokrasi itu sendiri, yaitu para pemimpin dan wakil rakyat yang kapabel dan akuntabel.
Mencuatnya nama-nama artis papan atas negeri ini kerena politik, baik sebagai wakil rakyat maupun pemimpin dalam setiap penyelenggaran pemilu dan pilkada, adalah merupakan suatu fenomena yang perlu dicermati. Mungkinkah mereka hanya dijadikan alat untuk memperoleh kekuasaan oleh partai-partai politik.
Memandang sebelah mata terhadap para artis tenar bangsa Indonesia adalah suatu perbuatan yang amat salah. Karena dalam demokrasi setiap orang harus memiliki kesempatann yang sama masuk dalam pemerintahan. Tapi adalah sangat jelas partai politik sebagai pengemban utama pelaksanaan demokrasi yang baik memiliki peran utama untuk menyortir para calon pemimpin dan wakil rakyat yang tidak hanya memiliki ketenaran dan karisma tapi juga moralitas, komitmen, dan kapabilitas yang mumpuni agar mampu berkontribusi besar dalam merubah masyarakat Indonesia yang sedang berada dalam pencarian jati diri ini.
Masyarakat Indonesia yang belum mencapai taraf kelas menengah secara keseluruhan tampaknya sangat mudah untuk menyukseskan program vote getter yang dilakukan pihak-pihak tertentu tersebut. Dalam kejadian semacam ini, masyarakat awam hanya dijadikan pelengkap dari suatu pesta demokrasi agar terlihat menarik tanpa harus tau apa yang akan dicapai dari proses itu dan siapa yang akan melaksanakan tujuan itu. Padahal, rakyat dalam sistem demokrasi seharusnya bukanlah dijadikan pelengkap demokrasi, melainkan harus menjadi bagian utama dan bahkan tujuan utama dari adanya demokrasi tersebut.
Jika persepsi partai-partai politik hanya mengukur demokrasi lewat kuantitas, sebenarnya pemilu dalam demokrasi Indonesia telah kehilangan makna sesungguhnya. Sebab, sejatinya kemenangan diukur lewat kualitas yang mampu menjamin tercapainya tujuan tertentu tidak sekadar kekuasaan semata.
Vote getter adalah suatu bentuk pembodohan pemilih karena rakyat hanya dijadikan objek penderita. Tak ada aspek pendidikan ataupun hasil yang jelas dari fenomena tersebut kecuali keuntungan pihak-pihak tertentu. Sungguh ironis masyarakat Indonesia yang sedang terpuruk ini masih harus dipermainkan oleh oknum-oknum yang tidak pernah merasa bahwa mereka adalah bagian dari bangsa ini.
Opini Lampung Post 31 Maret 2010