Kongres Sepak Bola Nasional resmi dibuka oleh Presiden Susilo Bambang  Yudhoyono. Meski hanya dua hari, acara ini diharapkan berpengaruh besar  terhadap masa depan persepakbolaan Indonesia. Wacana revolusi alias  perombakan total kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia  (PSSI) santer didengungkan.
Sejatinya, semangat yang diusung  bukanlah menjungkalkan rezim Nurdin Halid di PSSI. Agenda yang jauh  lebih penting adalah membenahi ketidakberesan yang selama ini terjadi di  ajang persepakbolaan nasional. Hanya saja, Nurdin Halid seolah tutup  mata tutup telinga atas derasnya kritik yang ditujukan kepada PSSI.
Berbagai  alibi dan alasan selalu dikemukakannya. Pada beberapa kali kesempatan  diskusi ia bersikeras tidak ada yang salah dengan sepak bola nasional.  Bahkan, ia pun terkesan tidak takut dengan KSN yang merupakan gagasan  SBY. Sejak beberapa waktu lalu, politisi asal Partai Golkar ini juga  telah merapatkan barisan dengan pengurus PSSI Provinsi dari seluruh  Nusantara.
Nurdin seharusnya legawa meletakkan jabatan tanpa  perlu didesak. Ia akan meninggalkan kantor PSSI di Senayan secara  terhormat. Jasanya yang juga tidak sedikit pun akan tetap terkenang.
Mengenang  Soeratin
Awal berdirinya PSSI tidak bisa dilepaskan dari  perjuangan nasionalisme Indonesia. Pasalnya, organisasi ini lahir lebih  dulu dari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. PSSI saat itu  kepanjangannya adalah Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia,  didirikan pada 19 April 1930 di Yogyakarta.
Jasa Ir Soeratin  Sosrosoegondo sangatlah besar. Bersama sejumlah tokoh lain, Soeratin  menggagas lahirnya sebuah perserikatan sebagai alat perlawanan terhadap  NIVB (Nederlansch Indische Voetbal Bond). Saat itu, NIVB merupakan  organisasi tertinggi sepak bola di Hindia Belanda. Corak kolonialisme  sangat kental dalam pengorganisasian sepak bola yang dilakukan NIVB,  bahkan sangat diskriminatif.
Beberapa bulan sebelum kongres  pembentukan PSSI, terjadi satu peristiwa yang sangat menusuk perasaan  bangsa pribumi. NIVB melarang adanya acara tersebut, dan menyebut  inlander terhadap panitia voetbalwedstrijden Yogyakarta 1930.
Bagi  bangsa Indonesia, 'inlander' adalah sebutan yang menyakitkan. Pada  hakikatnya, ke-inlander-an adalah persoalan harga diri dan martabat  manusia (R Dahlan Ranuwihardjo, St 1978).
Walhasil, dengan  berdirinya PSSI, kaum pribumi memiliki wadah berekspresi dalam bidang  olahraga yang sejajar dengan bangsa lainnya di Nusantara. Terpantik  dengan semangat ini dan diskriminasi yang dilakukan NIVB, Susuhunan Paku  Buwono X mendirikan Stadion Sriwedari di wilayah kekuasaannya,  Surakarta.
Hanya dalam waktu delapan bulan, di bawah komando R Ng  Tjondrodiprojo, stadion yang menghabiskan biaya 30 ribu gulden pun  selesai dibangun. Stadion berbentuk oval itu dilengkapi trek atletik,  sistem drainase yang baik, dan lampu sorot yang membuatnya bisa  digunakan setiap saat. Sriwedari menjadi lapangan sepak bola terbaik di  zamannya.
Persinggungan dengan politik
Sejak  berdirinya PSSI, permasalahan sepak bola semakin meluas. Para politisi  menyadari betul fenomena ini. Mereka pun tak segan memanfaatkan sepak  bola sebagai saluran perjuangan paham nasionalisme. Pemerintah kolonial  sangat khawatir dengan perkembangan ini. Setiap pertandingan besar tak  ubahnya sebuah rapat umum yang mau merongrong kekuasaan mereka.
Dalam  satu kesempatan, tepatnya pada 1932 saat berlangsungnya kejuaraan PSSI  ke-II di lapangan Laan Triveli, Jakarta, sejumlah pemimpin pergerakan  tampak hadir di kerumunan penonton. Bung Karno yang baru keluar dari  penjara Sukamiskin mendapat kehormatan melakukan kick off tanda  pertandingan dimulai.
Berbagai cara dilakukan Belanda untuk  mengerdilkan PSSI. Salah satunya dengan mengintervensi Sizten en  Lausada, perusahaan swasta tempat Soeratin bekerja untuk memecat Ketua  Umum PSSI itu. Dengan besar hati, Soeratin rela dikeluarkan tak  terhormat demi perjuangan.
Pemerintah juga menggunakan alasan  politis untuk menjegal PSSI. Tim yang sudah siap diberangkatkan ke Paris  untuk mengikuti Piala Dunia 1938 dilarang pergi, dan digantikan oleh  tim NIVU. Keberadaan Husni Thamrin dan Ki Hajar Dewantoro di dalam  kontingen dijadikan alasan. Atas berbagai ulah yang dilakukan Belanda,  Soeratin mengambil tindakan tegas. Pada 1938, ia memutuskan secara  sepihak General Agreement dengan kubu NIVU.
Setelah lebih dari  enam dekade dan di era kemerdekaan ini, PSSI kini juga sedang dalam  prahara. Mafia wasit, kerusuhan suporter, nirprestasi tim nasional, dan  berbagai persoalan lainnya menjadi potret buram PSSI. Soeratin dikenang  karena keberhasilanya membawa PSSI mengarungi badai. Bahkan, ia sampai  rela kehilangan jabatannya sebagai eselon tinggi di Sizten en Lausada.
Bagaimana  dengan Nurdin? Mampukah ia mengobati borok di tubuh organisasinya? Jika  KSN diibaratkan sebagai dokter yang akan mendiagnosis dan mencari obat  dari penyakit tersebut, apakah Nurdin mau menjalankan amanat KSN?
Opini Republika 31 Maret 2010
30 Maret 2010
Seandainya Nurdin seperti Soeratin
Thank You!