30 Maret 2010

» Home » Kompas » Gerhana di Atas Century

Gerhana di Atas Century

Upaya penyelesaian skandal Bank Century sampai ke akar-akarnya sepertinya akan menjadi utopia. Jamak diketahui, begitu opsi C berhasil meraih dukungan mayoritas di DPR, ”mesin-mesin Istana” bergerak seperti kilat ke segala penjuru mata angin untuk ”mengendalikan” arah penyelesaian skandal Bank Century.
Melihat perkembangan satu bulan terakhir, pergerakan mesin-mesin Istana itu sangat terbantu dengan rangkaian peristiwa yang terjadi. Sebut saja, misalnya, keberhasilan polisi mengungkapkan jaringan terorisme. Masih terkait dengan institusi polisi, muncul pula kontroversi yang terkait dengan pengakuan Susno Duadji soal makelar kasus di tubuh Polri. Pengakuan Susno tidak hanya membuat buncah tubuh kepolisian, tetapi bergetar jauh sampai ke Direktorat Jenderal Pajak. Ibarat magnet, pengakuan Susno mampu mencuri perhatian publik dari desakan untuk menyelesaikan secara tuntas skandal Century.
Melihat perkembangan yang ada, amat mungkin pengakuan Susno dan skandal mafia pajak akan dikapitalisasi secara optimal oleh mesin-mesin Istana untuk mengalihkan penyelesaian skandal Century. Kalau itu terjadi, peristiwa yang muncul belakangan bisa jadi semacam gerhana total dalam upaya menyelesaikan skandal Century hingga ke akar.

 

Proses hukum
Publik tidak perlu berspekulasi bahwa rangkaian peristiwa yang muncul setelah DPR memilih opsi C merupakan sesuatu yang by design. Yang pasti, sejak awal pembentukan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century, kalangan Istana sudah melakukan perlawanan terbuka. Karena itu, tidak aneh jika pidato Presiden di Istana Merdeka, Kamis (4/3), sebagian secara diametral berbeda dengan hasil Rapat Paripurna DPR. Salah satunya, penegasan yang menyatakan kebijakan penyelamatan Century adalah pilihan tepat.
Banyak kalangan menilai pidato yang membenarkan kebijakan penyelamatan Century itu ”isyarat” kepada penegak hukum untuk berpikir ulang menindaklanjuti rekomendasi DPR. Kalau proses hukum diteruskan, jangan menyentuh nama-nama dalam rekomendasi DPR. Setidaknya, proses hukum jangan sampai menyentuh Boediono dan Sri Mulyani Indrawati. Pemaknaan seperti itu muncul dari isi pidato yang menyatakan: Boediono dan Sri Mulyani sebagai dua putra bangsa yang tidak sedikit pun meninggalkan catatan buruk terkait dengan kompetensi, kredibilitas, dan integritas pribadinya.
Bisa jadi, misalnya, proses hukum di KPK tidak kelihatan ada kemajuan karena muncul ketidakberanian melawan logika yang dibangun dalam pidato Yudhoyono. Jangankan untuk menindaklanjuti proses hukum, beberapa waktu lalu tersiar kabar ada perpecahan di kalangan internal KPK untuk menindaklanjuti proses hukum sesuai dengan rekomendasi DPR. Bahkan, bisa jadi, kondisi internal KPK jauh lebih parah dari yang diketahui publik dengan mundurnya dua direktur KPK (Kompas, 26/3).
Masalah dasar yang mungkin tidak disadari KPK, mengabaikan rekomendasi DPR sama saja dapat memperburuk hubungan KPK dengan DPR. Dalam konteks ini, publik tidak dapat mempersalahkan pendapat sejumlah kalangan DPR yang mengancam mengurangi anggaran KPK jika lembaga tersebut tidak menindaklanjuti rekomendasi DPR. Bisa saja ancaman tersebut dapat jadi salah satu cara bagi sejumlah kalangan di DPR (pendukung opsi C) untuk memastikan rekomendasi DPR dilaksanakan KPK. Cara tersebut bisa semakin mendapatkan pembenaran jika DPR mengendus bahwa pidato Yudhoyono memengaruhi KPK.
Menyatakan pendapat
Dalam tulisan ”Koalisi (Bukan) Periuk Nasi” (Kompas, 25/2) dikemukakan, pilihan pada jalur hukum dapat dikatakan sebagai politik ”jalan tengah” untuk tidak masuk wilayah pemakzulan. Namun, ketika proses hukum tidak berjalan, pendukung opsi C dapat saja melangkah ke pilihan pemakzulan, yaitu memulai konsolidasi untuk menggunakan hak menyatakan pendapat.
Terkait itu, Pasal 77 Ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 menyatakan, hak menyatakan pendapat dapat digunakan jika presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Bagaimanapun, pilihan ke arah ini potensial mengancam posisi presiden.
Jalan untuk menyatakan pendapat akan berjalan mulus jika tiga persyaratan berikut dapat dilakukan. Pertama, memastikan ada di antara pendukung opsi C yang memulai mengumpulkan dukungan awal. Pasal 184 Ayat (1) UU No 27/2009 mempersyaratkan, hak menyatakan pendapat diusulkan paling sedikit 25 anggota DPR. Melacak komposisi pendukung opsi C, jumlah 25 orang tak akan menjadi hambatan. Terkait materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya tindakan seperti dimaksud dalam Pasal 77 Ayat (4) huruf c, pendukung opsi C dapat menggunakan hasil yang diperoleh selama Pansus bekerja.
Kedua, pendukung opsi C harus mampu menjaga soliditas. Godaan menjadi bagian dari pemerintah (koalisi) harus dimaknai sebagai cara untuk mematikan opsi C dan melumpuhkan hasil rekomendasi DPR. Bagaimanapun, mayoritas publik berharap kekuatan politik di DPR tak menggadaikan hak-kak konstitusional yang diberikan UUD 1945 hanya untuk mencicipi manisnya anggur kekuasaan. Jika pendukung opsi C mampu bertahan menjaga soliditas, tak tertutup kemungkinan sebagian kekuatan politik yang memilih opsi A akan pindah mendukung opsi C.
Ketiga, sembari membangun dan menjaga kedua persyaratan, sebagian partai politik pendukung opsi C segera mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) Pasal 184 Ayat (4) UU No 27/2009 yang menyatakan, usul hak menyatakan pendapat menjadi pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari Rapat Paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit tiga perempat dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit tiga perempat dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Menilik persyaratan kehadiran, usul hak menyatakan pendapat akan kandas jika semua anggota DPR dari Partai Demokrat tidak menghadiri Rapat Paripurna DPR. Namun, pengujian syarat tak hanya disebabkan oleh jumlah anggota DPR yang berasal dari Partai Demokrat lebih dari 25 persen, tetapi syarat itu jelas membunuh makna hakiki kehadiran pasal pemakzulan. Bahkan, syarat kehadiran itu jauh lebih berat dari syarat untuk mengubah UUD 1945 yang hanya menghendaki minimal kehadiran dua pertiga anggota MPR.
Banyak kalangan percaya, jika pendukung opsi C bergerak dengan serius dan menggalang kekuatan ke arah menyatakan pendapat, semua rekomendasi DPR akan segera dilaksanakan. Artinya, peristiwa-peristiwa besar yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir tidak akan mampu menghentikan gerak langkah menindaklanjuti semua rekomendasi DPR. Dengan demikian, gerhana (yang mungkin saja by design) tidak akan berlangsung lama menyelimuti penyelesaian skandal Bank Century.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Opini Kompas 31 Maret 2010