Oleh H. Deding Ishak
Langkah Komisaris Jenderal Susno Duadji yang berani memaparkan indikasi makelar kasus di petinggi Polri cukup menggegerkan sekaligus menenggelamkan Polri dari citra baik keberhasilan membongkar aksi terorisme. Dalam satu frame, tindakan Susno seolah mau membuka ”aib” Polri, sehingga ia ”terancam” sanksi pelanggaran kode etik anggota Polri. Namun, dalam frame lain, perilaku Susno merupakan angin segar bagi kebangkitan kembali reformasi Polri yang selama ini menjadi agenda terdepan Kapolri dan jajarannya, dan menjadi momentum untuk ”membersihkan” Polri dalam rangka melaksanakan agenda reformasi Polri secara konsisten.
Harus diakui, prestasi Polri tidak sedikit. Ribuan kasus kriminal sudah diselesaikan. Kasus teroris pada tahun-tahun terakhir, termasuk puncaknya tahun 2010, dapat diselesaikan dengan baik yang secara objektif tentu patut diapresiasi. Namun, setumpuk prestasi tersebut belum juga memuaskan harapan rakyat. Isu tak sedap tentang perilaku negatif oknum anggota Polri masih membumbui setiap langkah reformasi Polri.
Realitas itu merupakan bukti bahwa reformasi Polri menuju performans yang positif merupakan harga mati. Citra Polri di atas segala-galanya; segala daya upaya dan kinerja Polri saat ini fokus pada pencapaian sosok Polri yang simpatik.
Setidaknya, terdapat dua agenda reformasi Polri guna memperbaiki citra di mata masyarakat, yakni reformasi struktural dan reformasi kultural.
Secara struktural, Polri sudah melakukan langkah-langkah yang konkret guna memperbaiki citranya. Tampaknya, para petinggi Polri sangat menyadari, terdapat sekitar 2.500 jenis pekerjaan Polri yang berhadapan langsung dengan pelayanan terhadap masyarakat. Sebagian besar dari pekerjaan tersebut banyak bertumpu pada ujung tombak anggota Polri yang bernaung dari institusi terendah setingkat polsek/polsekta. Oleh karena itu, langkah ”membubarkan” polwil dan menyebarkan perwira-perwira yang andal untuk memberikan penguatan di tingkat polsek merupakan kebijakan yang tepat dan strategis.
Hal itu tentu dengan pemikiran, polsek adalah etalase bagi Polri. Anggota Polri yang berada di polseklah yang selama ini banyak berhubungan langsung dengan masyarakat. Bahkan, bukan hal yang tidak mungkin, semangat otonomi guna lebih mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat, sejumlah kewenangan yang selama ini dikelola polres/polresta, polwiltabes, bahkan setingkat polda, dapat didelegasikan kepada polsek, misalnya, pengurusan SKCK, SIM, dan pengurusan surat-surat lainnya. Jika hal itu dilakukan, tentu diperlukan penguatan kapasitas di tingkat polsek/polsekta, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas anggota Polri.
Reformasi kultural pun sebenarnya sebagian sudah dilakukan Polri, terutama jajaran kepolisian di tingkat lokal. Beberapa waktu lalu, di Jawa Barat pernah dikenal polingga (polisi lingkungan warga), polisi yang agamis, polisi yang humanis, polisi wisata, polisi sahabat anak, transparansi dalam rekrutmen anggota, dan reformasi lainnya yang menunjukkan upaya serius Polri untuk mengubah kultur lebih dekat dengan masyarakat. Termasuk juga upaya petinggi Polri akhir-akhir ini yang mencoba ”mendekati” sejumlah LSM yang peduli terhadap penegakan hukum dan HAM, seperti Kontras dan yang lainnya.
Berbicara dimensi kultural, berarti juga menyangkut semua aspek kehidupan Polri, baik aspek eksternal maupun internal. Mulai dari Kapolri hingga kapolsek, baik itu perwira tertinggi sampai dengan anggota Polri di lapangan, termasuk mengangkut aspek-aspek lainnya yang dalam konteks fenomenologi, memberikan makna dan citra terhadap kinerja Polri. Bahkan, hal itu menyangkut aspek pikiran, sikap, dan perilaku anggota Polri di semua lini dan semua aspek. Ke depan, anggota Polri harus semakin cerdas, baik cerdas intelektual, cerdas emosional, cerdas spiritual, maupun cerdas moral dengan mengikis habis perilaku oknum anggota Polri dari isu makelar kasus, pungli, dan tindakan negatif lainnya.
Dalam konteks reformasi Polri, tindakan Susno Duadji seharusnya dipandang sebagai bagian dari upaya ikut mendorong penguatan reformasi kultural Polri. Pandangan-pandangan yang menganggap Susno ”balas dendam”; Susno menabuh genderang perang; dan hal lainnya yang dapat melahirkan opini publik ”Susno versus Polri” harus dikikis habis. Tindakan Susno merupakan geliat pribadi baik Polri dalam kerangka evaluasi diri.
Oleh karena itu, Kapolri harus menjawabnya dengan jelas (clear), terang benderang, dan tidak bersayap. Jika memang di tubuh Polri masih terdapat petinggi yang bertindak sebagai makelar kasus, Kapolri harus mengakuinya, membeberkannya, dan menindak pelaku setegas-tegasnya. Sebaliknya, kalau memang jajaran Polri bersih, makelar kasus tak terbukti, Kapolri pun harus menjelaskan sejujurnya. Kejujuran adalah bagian yang paling berharga dalam upaya reformasi internal Polri karena kejujuran akan menguatkan rasa kepercayaan dan kecintaan rakyat terhadap Polri. Sebaliknya, kebohongan akan semakin membenamkan Polri pada kubangan kebencian rakyat. Kendati saat ini berhasil menenteramkan rakyat, tetapi esok lusa kebohongan itu pasti akan terungkap.***
Penulis, anggota Komisi III DPR RI, Deputy Bidang Polkam FPG.
Opini Pikiran Rakyat 31 Maret 2010
30 Maret 2010
» Home »
Pikiran Rakyat » Susno Duadji dan Kejujuran Polri
Susno Duadji dan Kejujuran Polri
Thank You!