30 Maret 2010

» Home » Kompas » Bencana Air, Kekalahan Cara Pandang Ekologis

Bencana Air, Kekalahan Cara Pandang Ekologis

Andai naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace, menyaksikan kehancuran ekosistem Daerah Aliran Sungai Citarum, mungkin dia akan meratap pilu.
Hampir satu setengah abad yang lalu (1869), Wallace dalam bukunya, The Malay Archipelago, begitu memuji Pulau Jawa. Begitu kagumnya kepada pulau ini, ia menulis ”Secara keseluruhan, ditilik dari sudut mana pun, Jawa boleh jadi pulau tropis yang paling indah dan menawan di dunia. ..Seluruh permukaannya secara menakjubkan dihiasi oleh pemandangan gunung dan hutan. Hujan yang melimpah dan suhu tropis yang hangat membuat gunung-gunung itu diselimuti oleh tetumbuhan nan lebat, tak jarang hingga ke puncak-puncaknya, hutan dan perkebunan menutup lereng-lereng yang lebih landai”.


Hutan rakyat seluas 718.269,5 hektar, hampir 80 persen luasan DAS Citarum, sepanjang 268 kilometer yang melintasi delapan kabupaten/kota rusak parah karena ekspansi lahan pertanian (tanaman semusim), galian pasir, dan pemukiman penduduk (Kompas, 26/3/2010). Akibatnya, ketika hujan mengguyur deras, Sungai Citarum meluap dan merendam kawasan hilir, termasuk rumah penduduk dan hampir seribu hektar sawah di Kabupaten Karawang. Potensi kerugian bisa mencapai puluhan triliun rupiah jika kegagalan pembangkit listrik dan perikanan ikut diperhitungkan. Padahal, DAS ini hanya satu dari 116 (80 persen) DAS di Pulau Jawa yang kritis (Kompas, 29/3/2010).
Semua pihak seolah baru terjaga ketika bencana tiba, dan mulai melantunkan nada-nada penyesalan mengapa tidak mencegah kerusakan kawasan hulu sejak dini. Penyesalan yang datang terlambat itu sama sekali bukan karena absennya pengetahuan tentang daur air. Pelajaran tentang siklus hidrologi telah diberikan sejak tahun-tahun awal sekolah dasar. Namun, kita rupanya gagal menghubungkan pengetahuan tentang daur air dengan perilaku kita terhadap air.
Kegagalan mengubah kognisi tentang air jadi tindakan yang tepat, bisa jadi akibat terbatasnya pengetahuan itu sendiri. Jangan- jangan yang diperlukan adalah ”melek” air (water literacy) yang lebih tinggi. Seseorang yang melek air diandaikan dapat membuat keputusan dan tindakan yang mengarah pada keberlanjutan sumber daya air.
Cara pandang ekologis
Manusia cenderung selalu bersikap ambigu terhadap alam. Alam dipandang sebagai ”sang pemberi” sekaligus ”musuh”. Manusia bukannya tak mengerti bahwa perusakan ekosfir secara terus-menerus akan mengakibatkan planet Bumi tidak layak huni, tetapi mereka memilih merusak atau setidaknya membiarkan perusakan terus terjadi. Jawabnya terletak pada keinginan manusia untuk terus memacu kemajuan ekonomi.
Keinginan untuk terus memaksa alam demi kemajuan ekonomi adalah buah dari cara pandang (worldview) dominan, yaitu cara pandang modernisme. Cara pandang ini tercermin kuat pada dua paradigma turunan, yakni paradigma ekonomi dan paradigma keilmuan. Dua prinsip utama cara pandang modernisme dan paradigma turunan adalah pertama, semua manfaat, kesejahteraan, dan kemakmuran yang nyata adalah buatan manusia sebagai produk ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri melalui pembangunan ekonomi.
Kedua, untuk memaksimalkan kesejahteraan dan kemakmuran, kita harus memaksimalkan pembangunan atau kemajuan ekonomi. Yang dilupakan adalah daya dukung ekosfir. Tanpa dukungan lingkungan hidup tidak ada satu manusia pun yang dapat bertahan hidup. Terlalu sedikit bukti yang dapat mendukung bahwa manusia dapat terus ada tanpa hubungan yang mutualistik dengan alam. Dengan kata lain, manusia sebenarnya sedang melakukan ”bunuh diri ekologis” dengan bertingkah tak ramah terhadap alam. Kegagalan mengakomodasi ekologi dalam konstruksi etika modern akan menginisiasi katastrofi global yang maha dahsyat.
Tidak ada pilihan lain bagi umat manusia selain harus mengubah haluan kehidupannya. Dalam relasinya dengan air, manusia masih terjebak dalam fase kritis , sulit keluar dari paradigma lama. Banyak pemikir (a.l. Capra, 1982, 1996, 2002; Goldsmith, 1998, Cairns, 2002; Bordeau, 2004) yang menumpukan harapan pada cara pandang ekologis sebagai pijakan untuk keluar dari kebuntuan krisis lingkungan. Pandangan ekologis dianggap sebagai paradigma baru untuk memecahkan persoalan-persoalan dalam masyarakat (Capra, 1982; Goldsmith, 1998).
Sebenarnya, kesadaran akan perlunya pergeseran paradigma dari mekanistik ke sistem, dari reduksionis keholistik sudah tak perlu diperdebatkan lagi. Namun, sayangnya, pergeseran paradigma ini belum mewujud dalam kehidupan nyata, termasuk dalam pengelolaan sumber daya air. Pengelolaan sumber daya air masih terjebak dalam pola Cartesian. Di Indonesia, masih sangat sulit, untuk tidak mengatakan mustahil, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya air secara terpadu. Wewenang pengelolaan sumber daya air dikapling-kapling menurut masing-masing lembaga yang menanganinya.
Sumber daya air tidak dikelola dalam suatu kesatuan siklus hidrologi, melainkan di-”mutilasi” menjadi beberapa bagian. Pengelolaan sumber daya air masih sangat kurang memerhatikan relasi intim antara air, ekosistem, dan manusia. Hal ini dapat terjadi karena paradigma dominan dalam pengelolaan sumber daya air adalah pendekatan manajemen dan ekonomi. Dominasi epistemologi yang ekonomistik cenderung menafikan kenyataan bahwa air adalah entitas ekologis, bukan sekadar benda ekonomi.
Budi Widianarko Guru Besar Toksikologi Lingkungan, Unika Soegijapranata

Opini Kompas 31 Maret 2010