30 Maret 2010

» Home » Media Indonesia » Mafia Hukum Meluluhlantakkan Sistem Peradilan Pidana

Mafia Hukum Meluluhlantakkan Sistem Peradilan Pidana

Pernyataan Komjen Susno Duadji kepada media yang dilanjutkan dengan laporan kepada Satgas Mafia Hukum tentang adanya makelar kasus dalam penanganan perkara Gayus harus dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting. Bukan saja untuk membersihkan institusi polisi dari praktik makelar kasus, melainkan juga untuk keseluruhan sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan penjara). Bahkan, kali ini juga untuk reformasi di tubuh Direktorat Pajak (termasuk Pengadilan Pajak). Substansi yang disampaikan Susno lebih berharga ketimbang mencari motif mengapa Susno menyampaikan temuannya itu, apalagi kalau sekadar mencari kesalahan Susno agar dia tidak lagi berbicara kepada media. Praktik mafia hukum yang terjadi selalu ditandai dengan munculnya perantara yang menghubungkan kepentingan penjahat dengan petugas hukum untuk tujuan keuntungan para penjahat tersebut. Dari situlah muncul penyuapan kepada polisi, kejaksaan, hakim bahkan bila sudah dipenjara, makelar kasus akan menyuap lembaga pemasyarakatan (LP). Keadaan itulah yang menjadikan potret penegakan hukum di Indonesia sangat buram yang diduga sudah berlangsung lama, bak penyakit yang endemik dan sulit diobati.



Kejanggalan

Demikian juga dalam kasus dugaan adanya mafia hukum pada proses perkara Gayus yang disampaikan Susno. Dari fakta yang muncul dan berkembang melalui media, nampaknya apa yang disampaikan Susno bukan hal yang mengada-ada, meski mungkin tidak seluruhnya benar. Namun, tidak bisa dimungkiri banyak kejanggalan dalam penangan perkara tersebut, misalnya tentang mengapa pemblokiran atas rekening Gayus yang dicurigai menerima transfer dari hasil kejahatan sebesar Rp25 miliar (yang belakangan menurut PPATK berjumlah Rp28 miliar), kemudian dibuka setelah Susno dicopot sebagai Kabareskrim, dan yang tetap dinyatakan terindikasi kejahatan hanya Rp395 juta. Bermula dari sanalah muncul dugaan ada praktik mafia hukum, karena bagaimana polisi bisa menjelaskan bahwa Rp24,6 miliar tidak ada masalah dan kemudian blokir dibuka, sedangkan sudah sangat jelas dan sangat sulit untuk dipahami bahwa pegawai gol III tersebut mendapat transfer sebesar itu. Semestinya blokir itu tetap dilanjutkan sampai ke pengadilan, dan biarkan pengadilan yang memutuskan tentang transfer tersebut. Selain itu, ada yang aneh mengapa tidak ada pasal tentang penyuapan yang lebih logis karena mungkin terkait dengan pengelakan pajak untuk kepentingan wajib pajak. Karena berkaitan dengan pegawai negeri yang menerima suap, dikenai pasal korupsi, dan tentu saja berkaitan dengan sangkaan pencucian uang karena memang awalnya laporan berkaitan dengan transaksi mencurigakan yang diperoleh dari PPATK. Dari sangkaan yang berlapis itu, semakin aneh kalau polisi membuka blokir. Seharusnya biarkan saja bergulir ke pengadilan dan di sanalah terdakwa yang membuktikan bahwa sumber dana yang sangat mencurigakan itu diperoleh dari mana. Sangkaan penggelapan malah agak janggal, uang siapa yang digelapkan? Kalau uang pajak, mengapa institusi pajak tidak bereaksi? Tentu dalam hal ini kita akan mempertanyakan fungsi pengawasan internal pajak, jangan-jangan praktik ini sudah lama terjadi dan aman-aman saja. Seharusnya polisi mendalami dari mana sumber uang yang masuk ke rekening Gayus, kemudian ditelusuri untuk keperluan apa atau terkait dengan wajib pajak siapa yang mentransfer (menyuap) dalam upaya melakukan kejahatan pengelakan pajak (tax evasion).

Polisi menyatakan pasal yang disangkakan tiga, yaitu penggelapan, korupsi, dan pencucian uang. Tersangka seharusnya ditahan dan tidak perlu mempertimbangkan alasan subjektif bahwa yang bersangkutan tidak akan melarikan diri. Kejanggalan lain ternyata berlanjut ke dalam institusi kejaksaan, yaitu terkait dakwaan yang hanya penggelapan, sedangkan korupsi dan pencucian uang justru tidak didakwakan. Dalam hal ini, mungkin ada makelar kasus yang juga berhubungan dengan jaksa atau paling tidak publik mempertanyakan bagaimana profesionalitas jaksa peneliti. Bukankah Pasal 138 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa setelah menerima berkas dari penyidik, jaksa harus segera mempelajari dan menelitinya. Selain ada yang lebih aneh lagi, yaitu jaksa malah menuntut dengan pidana satu tahun penjara dan satu tahun percobaan. Hal itu sangat tidak masuk akal untuk dakwaan terhadap kejahatan seberat itu karena tuntutan percobaan hanya boleh dilakukan untuk tindak pidana ringan atau pencurian dalam keluarga, bukan untuk kejahatan seberat ini (tindak pidana biasa). Tuntutan percobaan terhadap kasus ini semakin menuai kecurigaan bahwa apa yang dilakukan jaksa sarat dengan pesan ajakan kepada hakim untuk membebaskan terdakwa dan celakanya lagi hakim ternyata mengikuti ajakan tersebut sehingga bebaslah Gayus. Tentu saja hakim yang membebaskan harus juga diperiksa mengapa dia sampai membebaskan, juga harus menjelaskan kepada publik, apa saja yang menjadi pertimbangannya sehingga dia menyatakan bahwa jaksa tidak bisa membuktikan dakwaannya.

Proporsional

Dengan temuan kejanggalan tadi, semestinya langkah yang harus diambil proporsional, bukan malah mewacanakan pasal yang akan dikenakan kepada Susno. Karena bagaimanapun tentu kita harus mengapresiasi atas keberanian Susno dalam membuka praktik tidak elok ini, yang sangat berguna untuk membangun dan membersihkan institusi dalam sistem peradilan pidana dan juga dalam instansi pajak. Terlepas bahwa mungkin saja Susno tidak terlalu bersih dalam rekam jejaknya di kepolisian atau bahkan dianggap telah melanggar kode etik, seharusnya kepolisian mengedepankan kepentingan yang lebih besar, yaitu bersihnya penegakan hukum di Indonesia, ketimbang untuk tegaknya etika profesi internal semata. Langkah yang diambil seharusnya juga memeriksa oknum polisi yang disebut Susno. Di sini justru lebih mudah untuk melihat apakah Susno hanya sekadar ingin mencemarkan nama baik atau mengungkap kebenaran. Permasalahannya sekarang adalah objektivitas dari penyidik bisa menjadi hambatan, karena sejak awal telah disangkakan ada indikasi korupsi. Sebenarnya kita sangat mengharapkan KPK yang menanganinya, tapi ternyata KPK juga bergeming saja. Apalagi sekarang Andi Kosasih sudah menyerahkan diri dan menurut PPATK hanya Rp1,9 miliar saja yang masuk ke rekeningnya. Hal itu tentu akan sulit kalau yang menyidik polisi, sedangkan justru yang dipertanyakan adalah termasuk mengapa polisi dulu membuka blokir sejumlah Rp24,6 miliar yang dinyatakan tidak bermasalah. Padahal mungkin dari jumlah tersebut, sebesar Rp1,9 miliar yang masuk rekening Andi Kosasih perlu disidik.

Harus objektif

Dari heboh Susno ini nampaknya kita 'agak tergantung' pada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden, walau sebetulnya penegak hukum lain bisa saja langsung bertindak tanpa menunggu Satgas. Seharusnya kasus ini benar-benar menjadi momentum untuk memberantas mafia hukum yang sudah sangat mewabah, dan jangan lagi hanya sekadar reality show seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan karena bagaimanapun sudah sering kali masyarakat disuguhi praktik hukum busuk yang terungkap dan dibeberkan media sebagai fungsi kontrolnya ke masyarakat, tetapi ternyata hasilnya nihil. Semua institusi dalam sistem peradilan pidana pernah mencederai rasa keadilan masyarakat karena melakukan praktik mafia hukum, mulai dari pengadilan dalam kasus Harini Wiyoso yang menyuap Mahkamah agung, kejaksaan dengan kasus Urip dan Artalyta, kepolisian dan KPK terkait Anggodo bahkan juga melibatkan jaksa agung muda, lembaga pemasyarakatan dengan sel eksklusif Ayin dan tentu saja sekarang dengan kasus Gayus yang nampaknya melibatkan seluruh sistem peradilan pidana minus lembaga pemasyarakatan. Untuk ini, kita semua menunggu apakah 'keberanian Susno' bisa menjadi momentum untuk memperbaiki seluruh sistem peradilan pidana ataukah sekadar reality show dan sama seperti yang dulu lagi, tak membuahkan apa pun. Semoga tidak!

Oleh Dr Yenti Garnasih, SH MH Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti
Opini Media Indonesia 31 Maret 2010