SETELAH Nahdlatul Ulama (NU) menggelar muktamar ke-32 di Makassar, Muhammadiyah akan melakukan hal yang sama pada 3-8 Juli 2010. Organisasi massa Islam yang didirikan Ahmad Dahlan pada 1912 itu akan menggelar muktamar yang ke-46 di Jogjakarta. Kendati masih kurang tiga bulan, suasana internal di kalangan warga persyarikatan Muhammadiyah mulai memperlihatkan dinamika.
Setidaknya, ada dua isu penting yang membuat suasana menjelang muktamar terlihat dinamis. Pertama, keinginan Amien Rais kembali aktif di Muhammadiyah. Posisi yang dibidik Amien membuat banyak kalangan tersentak, yakni menjadi nakhoda Muhammadiyah kembali. Ini berarti Amien harus bersaing dengan Din Syamsuddin yang juga ingin maju lagi.
Isu kedua adalah fatwa keharaman rokok yang dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah pada 8 Maret 2010. Warga Muhammadiyah sepertinya belum bulat terhadap fatwa tersebut. Amien mengaku kaget. Jika tokoh sekaliber Amien kaget, jangan heran jika banyak warga Muhammadiyah lainnya -lebih-lebih yang telah memiliki kebiasaan merokok, apalagi sebagai perokok berat (heavy smoker)- merespons dingin.
Pascafatwa keharaman rokok, Muhammadiyah seperti dibenturkan tidak saja kepada sikap kontra warganya, tapi juga dengan pendapat mayoritas umat Islam yang menganggap status hukum rokok ''sebatas" makruh. Pendapat seperti ini, antara lain, dipegang NU. Justru di sini menariknya; Muhammadiyah berani keluar dari arus utama.
Menurut saya, keberanian Muhammadiyah mengeluarkan fatwa rokok merupakan suatu pertanda Muhammadiyah ingin kembali ke karakter awal yang berani memecah kebekuan pemikiran Islam. Ada studi terhadap Muhammadiyah yang dianggap beberapa kalangan telah menjadi klasik, yakni yang dilakukan Alfian. Dalam studi bertajuk Muhammadiyah: The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (1989), Alfian menyebut salah satu karakter Muhammadiyah sebagai pembaru keagamaan (a religious reformist).
Kalangan Muhammadiyah sendiri lebih menyukai istilah tajdid untuk menyebut karakter tersebut. Pilihan terhadap tajdid tentu tidak dimaksudkan sekadar beretorika. Sebab, Muhammadiyah memberikan bukti melalui pendirian beberapa lembaga sosial seperti pendidikan dan kesehatan yang dibingkai dengan semangat kemodernan. Pembuktian ini tidak bakal terwujud jika tidak ada legitimasi agama.
Pada awal-awal perkembangannya, Muhammadiyah cukup konsisten menjaga semangat pembaruan atau tajdid. Tapi, sejalan dengan kian banyaknya lembaga sosial yang dimiliki, sejak dua dekade belakangan ini banyak kalangan yang mulai menggugat konsistensi Muhammadiyah dalam gerakan pembaruan. Gugatan itu kian dirasakan oleh MTT, yang menurut kajian Achmad Jainuri dalam The Formation of the Muhammadiyah's Ideology, 1912-1942 (1997), diharapkan mampu memberikan inspirasi dan justifikasi teologis agar Muhammadiyah tetap sejalan dengan tuntutan perubahan dan kemajuan zaman.
Organ Muhammadiyah yang lahir ketika muktamar di Pekalongan pada 1927 itu dinilai terlalu condong ke bidang tarjih, sedangkan bidang tajdid kurang digarap secara optimal. Karena itu, wajar jika produk yang dihasilkan MTT lebih banyak berbentuk fatwa, baik terhadap persoalan lama seperti rokok maupun persoalan baru.
Nama MTT sebenarnya merupakan perubahan kesekian karena sebelumnya menggunakan nama Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI). Baru setelah muktamar di Malang pada 2005, MTPPI berganti menjadi MTT.
Dengan berganti nama, di mana tajdid kian dipertergas, tersirat suatu harapan agar organ ini bisa mengembalikan etos Muhammadiyah seperti pada awal-awal pertumbuhan dan perkembangannya, yakni sebagai gerakan pembaruan atau tajdid. Ini berarti MTT memiliki posisi sentral karena bisa menjadi pemasok pemikiran keislaman yang bercorak reformis bagi semua organ Muhammadiyah lainnya.
Salah satu agenda pembaruan yang kian mendesak adalah bidang pendidikan. Pendidikan merupakan ranah strategis pengejawantahan pembaruan Muhammadiyah. Perkembangan pendidikan Muhammadiyah telah lama mendapat sorotan setelah pilihan masyarakat mulai bergeser ke lembaga-lembaga pendidikan yang tidak berafiliasi secara formal kepada Muhammadiyah.
MTT mestinya bisa merespons persoalan krusial dan strategis itu kendati tidak bersentuhan dengan persoalan hukum Islam. Respons MTT tersebut merupakan garapan di bidang tajdid.
Apakah dengan merespons persoalan di luar ranah hukum Islam MTT bisa dinilai tidak mengerti konsep pembagian kerja dalam organisasi modern? Sudah waktunya Muhammadiyah mengembangkan apa yang disebut Gumilar Rusliwa Somantri, rektor Universitas Indonesia, dengan horizontalisme. Muhammadiyah perlu mengadopsi konsep ini agar organ-organ di dalamnya bisa bekerja secara sinergis.
Bagi MTT yang memiliki ranah kerja di bidang hukum Islam dan pembaruan pemikiran keislaman, adopsi terhadap konsep horizontalisme merupakan hal mendesak. Kasus fatwa rokok menarik dijadikan contoh. Ada pertanyaan, apa langkah strategis selanjutnya yang akan dilakukan MTT setelah rokok difatwa haram? MTT tidak boleh berhenti hanya "sebatas" memfatwakan. Tapi, dituntut juga memikirkan langkah alternatif strategis yang dibutuhkan, terutama bagi kalangan yang memiliki ketergantungan terhadap rokok. Di sinilah relevansi konsep horizontalisme.
Fatwa rokok hanyalah sekadar contoh. Selain masalah tersebut, MTT dihadapkan kepada persoalan lain, baik di internal Muhammadiyah maupun yang dihadapi umat Islam. Hanya dengan memperluas horizon pembaruan, MTT bisa merespons persoalan tersebut. Mudah-mudahan Musyawarah Nasional (Munas) Ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Malang pada 1-4 April 2010 dapat menghasilkan pemikiran yang dapat memperluas horizon pembaruan Muhammadiyah. (*)
*). Syamsul Arifin , guru besar dan wakil direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
Opini JawaPos 31 Maret 2010
30 Maret 2010
Menyambut Munas Ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
Thank You!