30 Maret 2010

» Home » Kompas » Beban Politik Sindikat Pajak

Beban Politik Sindikat Pajak

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mungkin sama sekali tidak menyadari seberapa besar ia telah mempertaruhkan integritas pemerintahannya ketika dalam pidato di Istana Merdeka, 4 Maret 2010, bergeming kukuh mempertahankan Sri Mulyani Indrawati (lihat Tomagola, Kompas, 6 Maret 2010) walaupun Rapat Paripurna DPR sehari sebelumnya merekomendasikan agar yang bersangkutan dinonaktifkan.
Kekukuhan sikap dan tindakan Presiden didasarkan atas keyakinan dan kepercayaan Presiden atas keahlian, profesionalitas, kejujuran, ketulusan pengabdian, serta integritas pribadi mantan mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia angkatan 1983 ini.

 

Tentang hal di atas, hampir bisa dipastikan bahwa tidak seorang pun dari warga negara Indonesia yang peduli dan aktif serta mendambakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa menyangkal rekam jejak personal virtues yang dimiliki menteri yang akrab disapa wartawan dengan panggilan ”Mbak Ani” ini.
Tiga kelemahan
Walaupun demikian, perlu dicamkan bahwa begitu menjabat sebagai pimpinan suatu lembaga, apalagi lembaga pengelola keuangan dan kekayaan negara yang demikian vital dan strategis bagi negara dan bangsa ini, publik yang telah memberi mandat memerintah lewat pemilihan presiden dan memasrahkan kontribusi pajak sebagai warga negara sudah pada tempatnya menuntut agar personal virtues Mbak Ani mampu disebadankan, being embodied, ke sekujur roh dan wadah kelembagaan kementerian keuangan sehingga menjadi semacam institutional virtues.
Pemimpin lembaga yang berkarakter kuat biasanya mampu mentransfer kualitas pribadi menjadi kualitas lembaga sedemikian rupa sehingga tapak karakternya terpatri di setiap langkah lembaga yang dipimpinnya. Bila gagal, dampak sistemis integritas lembaga adalah taruhannya.
Terkuaknya kasus deposito misterius Gayus Tambunan—salah satu ujung tombak penegak keadilan pajak Kementerian Keuangan pimpinan Mbak Ani dalam enam tahun terakhir ini—langsung membuka kotak Pandora kelemahan kelembagaan mendasar kementerian yang sudah telanjur digadang-gadang sebagai teladan, benchmarking birokrasi hasil reformasi.
Kelemahan sistemis mendasar ini terutama, yang sudah terungkap, terjadi dalam sistem pemantauan, pengawasan dan evaluasi atas kinerja petugas lapangan, khususnya di lingkup Direktorat Jenderal Pajak. Bagaimana mungkin seorang pegawai rendahan seperti Gayus Tambunan sampai mampu memiliki rumah dan apartemen mewah dalam masa kerja relatif singkat tanpa terdeteksi oleh sistem pemantauan dan peringatan dini internal?
Paling kurang ada tiga kelemahan sis- temis yang sudah terungkap ke ranah publik. Pertama, tidak berfungsinya sistem peringatan dini internal. Kasus Gayus Tambunan diungkap oleh pihak eksternal dan karena itu sama sekali bukan temuan Direktorat Kepatuhan Ditjen Pajak. Kalau saja Komisaris Jenderal Susno Duadji tidak bernyali melaporkan ke Satgas Mafia Hukum bentukan Presiden, besar kemungkinan borok kronis ini tidak pernah terdeteksi.
Kedua, yang lebih mengerikan lagi, bila pengakuan Gayus Tambunan ke Satgas Mafia Hukum benar, korupsi pajak skala Gayus Tambunan, sebesar Rp 25 miliar, bukan saja adalah praktik ”lumrah”, tetapi juga bahwa penjarahan dana pajak itu bertingkat skalanya menurut jenjang kepangkatan petugas pajak. Artinya, skala besaran uang jarahan berbanding lurus dengan sistem penjenjangan pegawai. Semakin tinggi jenjang wewenangnya semakin besar perusahaan yang dimangsa.
Ketiga, maraknya penjarahan dana pajak ini sudah lama berlangsung, bahkan sebelum Sri Mulyani Indrawati menjabat sebagai menteri keuangan. Ia konon pernah mencopot pejabat eselon satu yang belakangan diketahui kekayaannya begitu besar yang didaku hampir semua adalah hibah! Sudah rahasia umum, orang-orang kaya di Indonesia cukup banyak yang setoran pajaknya tak sebanding dengan kekayaan dan penghasilan/usaha mereka. ”Semuanya bisa diatur,” kata almarhum Adam Malik. Sungguh celaka, si ”pengatur” adalah aparat pajak!
Sangat mungkin mafia pajak ini sudah beroperasi sebelum Gayus diterima sebagai pegawai dan dikendalikan oleh sejumlah tikus-tikus besar. Karena itu, sangat tidak memadai bila hanya Gayus yang diberhentikan.
Jika ingin menegakkan kembali kredibilitas dan integritasnya, Menteri Keuangan yang sedang menjabatlah yang harus melakukan pemangkasan itu agar personal virtues-nya benar-benar mewujud menjadi institutional virtues.
Pajak dan beban politik
Sebagai pembantu presiden, setiap menteri seyogianya berupaya maksimal menjadi aset pemerintahan produktif yang meringankan beban kerja dan beban politik presiden terpilih. Tuntutan ini berlaku khususnya bagi para menteri berlatar profesional dan bukan dari partai politik.
Surat bukti pembayaran pajak oleh warga negara bersama-sama dengan surat suara yang sudah diisi oleh para demos di bilik-bilik pilpres adalah dua lembar sakral demokrasi konstitusional yang membuhul saling percaya, trust antara rakyat dan pemerintah pilihan mereka. Melalui dua lembar sakral itu para demos menyerahkan hak mengatur mereka kepada pemerintah dan sekaligus memasrahkan kontribusi finansial guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pembuhulan saling percaya dua dimensi, antara rakyat dan pemerintah serta antara warga negara pembayar pajak dan negara, membawa sejumlah konsekuensi moral, nasional, profesional, dan politik kepada kedua belah pihak. Di satu pihak, rakyat merelakan jenis-jenis kebebasan tertentu untuk diatur dan dibatasi secara konstitusional kepada suatu kekuatan politik yang dipercayainya.
Di lain pihak, presiden dan pejabat pengelola pajak harus benar-benar menjaga dan merawat kepercayaan rakyat secara profesional demi kemaslahatan publik nasional. Presiden dan pejabat pajak punya beban politik untuk menjunjung tinggi kepercayaan itu. Pengadilan pajak yang berisi para pensiunan pegawai pajak jelas harus dibongkar total.
Terungkapnya kasus Gayus dan mafia pajak kronis di belakangnya jelas-jelas merupakan pelanggaran serius terhadap kepercayaan publik yang telah ”rela” gaji aparat Kementerian Keuangan diistimewakan. Pihak yang paling bertanggung jawab adalah Kementerian Keuangan karena secara sengaja ataupun tidak telah menyia-nyiakan baik kepercayaan presiden terpilih maupun, yang paling utama, kepercayaan rakyat/warga negara Indonesia. Jajaran pimpinan Kementerian Keuangan harus segera berusaha berhenti menjadi beban politik presiden dan beban finansial rakyat pembayar pajak.

Tamrin Amal Tomagola Sosiolog, Menekuni Kajian Negara dalam Masyarakat

Opini Kompas 31 Maret 2010