Oleh Iip D. Yahya
”Bagaimana cara pemindahan kekuasaan dapat dilakukan?” tanya Oto  Iskandar di Nata kepada Soekarno. 
”Ini bukan, bukan pemindahan,” jawab Soekarno. ”Tindakan itu akan  bersifat ’penyerahan’.”
Oto tetap menginginkan kata ”pemindahan” karena tidak mengandung  paksaan. Akhirnya, kata ”pemindahan” disepakati bersama. Sebelumnya,  kata tersebut  diubah Soekarno  dengan kata ”penyerahan”.
Dialog itu menunjukkan fakta kehadiran Oto Iskandar di Nata dalam rapat  perumusan naskah proklamasi, Jumat, 17 Agustus 1945. B.M. Diah, sebagai  pelaku sejarah, merekam peristiwa penting itu dalam bukunya Angkatan  Baru `45 (1983, h. 243-44). Tokoh asal Sunda lain yang memberi masukan  adalah Iwa Kusumasumantri.  Iwa menyarankan kata ”diselenggarakan”  menggantikan kata ”diusahakan”. Coretan-coretan dalam naskah asli  tulisan tangan Soekarno yang diselamatkan Diah mengabadikan dinamika  rapat pada dinihari itu. 
Diah juga mengonfirmasi keberadaan Oto dalam foto Kabinet RI pertama.  Penjelasan Diah menjawab keraguan yang selama ini menggantung, apakah  sebagai menteri negara Oto ikut diabadikan dalam foto legendaris itu?  Menurut Diah, posisi Oto ada di baris kedua, di antara Soekarno (baris  pertama) dan Ali Sastroamidjodjo (baris ketiga).
 Dengan kesaksian ini, kita diingatkan bahwa Oto terlibat dalam hampir  semua peristiwa paling menentukan menjelang kemerdekaan RI.  Oto juga  ikut ”menentukan” presiden dan wakil presiden RI pertama melalui sidang  PPKI. Dengan demikian, menjadi aneh ketika ada sejumlah pihak meyakini  Oto berkhianat pada Repubik Indonesia. 
Priyatna Abdurrasyid, pelaku sejarah dalam peristiwa Bandung Lautan Api,  dalam memoar yang dituturkannya kepada Ramadhan K.H. (2001)   mengutarakan, ”Mundurnya pasukan dari Bandung yang dikosongkan ternyata  kemudian dikambinghitamkan kepada Oto Iskandar di Nata yang pada saat  itu diculik oleh pasukan tak dikenal dan dibunuh di Mauk, Tangerang”  (h.70). Menurut Priyatna, kabar itu disertai pula tuduhan Oto menjual  Bandung kepada Sekutu. Priyatna hanya bisa merasakan  tuduhan itu bagian  dari permainan politik tingkat tinggi. 
Catatan Dr. Djundjunan Setiakusumah (2002) sedikit membantu dalam upaya  menemukan pelaku fitnah atas Oto. Menurut Djundjunan, suatu hari di  penghujung 1945, di Rumah Sakit Situsaeur tempatnya bertugas, ia  menerima secarik kertas berisi nama-nama orang Sunda yang akan diculik  kelompok pemuda. Nama-nama itu semuanya bekas pengurus Paguyuban  Pasundan, yaitu Puradiredja, Oto Iskandar di Nata, Nitisomantri, Ukar  Bratakusumah, Djundjunan, Oto Subrata, dan Adjat Sudradjat. Djundjunan  melapor kepada wali kota dan residen, tetapi kurang mendapatkan  tanggapan. Daftar itu ternyata benar dengan munculnya serangkaian  penculikan. ”Oto Iskandar di Nata diuber-uber. Baru tertangkap di Master  Cornelis dengan tipu muslihat” (h. 128). Sekalipun Djundjunan tidak  menyebut nama kelompok pemuda yang dimaksud, tidaklah terlalu sulit  untuk menemukannya. Banyak data pembanding yang bisa dipakai sebagai  rujukan.
Bagaimana sebenarnya duduk perkara yang membuat Oto difitnah sebagai  mata-mata Sekutu/NICA dan menjual Kota Bandung satu miliun? Awalnya ada  pertemuan Oto dengan Kusna di Jakarta, di rumah Ijos Wiriaatmadja. Kusna  yakin NICA akan menang perang sehingga ia memilih pihak NICA. Karena  Kusna mantan tokoh JOP (organ pemuda dalam Paguyuban Pasundan), Oto  meminta Ukar Bratakusumah, kawan seangkatannya, agar menemui Kusna untuk  dibujuk memihak republik. Akan tetapi, Kusna tetap di pihak NICA.  Peristiwa tersebut dicatat dalam biografi Ukar (terbit 1995). Pertemuan  dengan Kusna yang berseragam NICA itulah yang dijadikan dasar tuduhan  mata-mata NICA kepada Oto dan Ukar.  
Sementara uang satu miliun adalah pemberian perwira Jepang, Ichiki  Tatsuo. Biografi Mr. Soedjono yang disunting Soebagijo IN (1983)  menjelaskan soal ini. Oto dan Ichiki menerbitkan majalah dwimingguan  Peradjoerit, media untuk tentara PETA dan Heiho. Setelah Jepang menyerah  kepada sekutu, di antara perwira Jepang yang memiliki akses pada uang  rampasan, ada yang memberikannya kepada tokoh-tokoh Indonesia yang  mereka percaya, untuk digunakan sebagai bekal perjuangan. Uang gulden  Belanda itu rampasan perang ketika Jepang mengalahkan Belanda pada 1942.
Informasi Oto menerima uang dari Ichiki pastilah sangat terbatas pada  kalangan elite nasional. Jadi, mengapa Laskar Hitam tahu? Siapa yang  membagi informasi kepada mereka? Setelah Oto diculik, siapa yang  mengambil uang itu? Siapa yang kemudian jadi kaya setelah Oto dibunuh?  Sebab, jelas Oto belum mempergunakan uang itu dan keluarganya pun tidak  tahu-menahu.
Dengan demikian, tuduhan Oto menjadi mata-mata NICA dan menjual Bandung  adalah gegabah dan semena-mena. Bahwa kebenaran itu akan muncul dengan  caranya sendiri, dapat dirasakan dalam kasus Oto. Setelah 65 tahun  kematiannya, barulah fakta-fakta itu ditemukan dan dapat dirangkai untuk  membuktikan pahlawan Sunda ini bersih, tidak tercela. Bisa disimpulkan  Oto benar dan penuduhnya itulah yang telah berkhianat kepada perjuangan  RI dan kepada kepentingan Sunda. 
Fitnah atas Oto itu ”berdampak sistemik”, sebab memutus mata rantai  sejarah Sunda dalam bingkai NKRI. Penetapan Oto sebagai Pahlawan  Nasional pada 1973 pun tidak serta merta menghilangkan fitnah itu.  Tinggal sekarang, apakah urang Sunda merasa perlu mengetahui hal ini  secara terang benderang? Apakah urang Sunda menganggap penting tegaknya  kebenaran sejarah dalam kasus ini? Kalau ada kesepakatan kolektif urang  Sunda, apa yang tak bisa dilakukan demi kepentingan Sunda? Mari kita  tunggu saja geletuk batuna gejebur caina.  
Apa pun, pada 31 Maret 2010 ini, tepat pada hari kelahiran ”Si Jalak  Harupat”, pernyataan para pemuda Sunda yang berkongres pada 1956 masih  relevan untuk kita ikuti. ”Dewi Sartika jeung Oto Iskandar Di Nata kudu  dipieling unggal taun salaku Ibu jeung Bapa Sunda."***
Penulis, peminat kajian sejarah Sunda.
Opini Pikiran Rakyat 31 Maret 2010
30 Maret 2010
» Home » 
Pikiran Rakyat » Oto Iskandar di Nata Setelah 65 Tahun
Oto Iskandar di Nata Setelah 65 Tahun
Thank You!