04 Februari 2010

» Home » Jawa Pos » Raibnya Etika dalam Demokrasi

Raibnya Etika dalam Demokrasi

KALAU kaum tani sering jengkel dan kesal gara-gara tingkah kerbau pada saat membajak sawah, itu adalah hal yang lumrah dan gampang ditemukan. Lalu, bagaimana kalau yang menjadi korban kejengkelan akibat ulah kerbau itu adalah seorang kepala negara yang segala rutinitasnya berhiaskan kemewahan dan penuh dengan lumpur kekuasaan? Itu baru namanya luar biasa.

Itulah yang sedang dialami Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat merayakan 100 hari pemerintahannya yang disambut sejumlah aksi demonstrasi di berbagai daerah. Nama SBY dicatut dan dipelesetkan dalam badan kerbau dengan jenis tulisan ''Sibuya''. Lalu, sebuah pamflet bergambar SBY ditempelkan persis di depan kepala hewan yang biasa dimanfaatkan untuk membajak sawah itu dengan tulisan ''Mundur''.

Ditengarai atas perilaku amoral para demonstran itulah, SBY mengungkit masalah etika dalam alam demokrasi, terlebih dalam demokrasi Pancasila sebagaimana yang sudah di-blue print kan para the founding father kita pada saat memimpin rapat dengan para menteri dan gubernur setanah air di Istana Negara pada 2 Februari lalu.

Tentu apa yang menjadi keluhan dan unek-unek kepala negara itu adalah suatu kewajaran. Sebab, bagaimanapun, seorang kepala negara tidak lain adalah simbol negara yang harus dijunjung tinggi dan dijaga kehormatannya. SBY sebagai presiden yang memperoleh mandat dari mayoritas rakyat negeri ini sepatutnya mendapat penghormatan yang layak dan dijaga keutuhan harga dirinya oleh segenap elemen bangsa ini.

Buntut Kekecewaan

Di satu sisi memang harus diakui juga bahwa apa yang dilakonkan para penyambung lidah rakyat itu dengan menggelar aksi demonstrasi merupakan buntut dari kekesalan dan kekecewaan yang mendalam atas kelambanan, bahkan ketidakmampuan pemerintah mengelola pemerintahan yang benar-benar prorakyat sesuai dengan janji-janji politiknya.

Berbagai aksi demonstrasi akan mencuat ketika pemerintah dianggap gagal dalam memenuhi janjinya kepada kalangan publik. Hal yang sama juga begitu sering menghiasi layar kaca televisi di seluruh tanah air ketika media meliput berbagai aksi yang umumnya dimotori para mahasiswa dan aktivis jalanan itu. Bahkan, reformasi lahir dengan berbagai aksi teatrikal pada saat rakyat hendak menyampaikan aspirasi. Kaum intelektual yang menjadi motor penggerak reformasi pun mendapat dukungan mayoritas negeri ini.

Tidak dapat dielakkan bahwa tercapainya agenda penuntutan melengserkan pemerintahan Soeharto yang hampir menggiring bangsa ini menobatkan dia sebagai presiden seumur hidup juga merupakan wujud nyata reformasi yang dibarengi dengan ribuan gerakan yang bernama demonstrasi. Tanpa adanya demonstrasi, barangkali cita-cita kebebasan dan kemerdekaan sebagai yang telah di-blue print-kan dalam konstitusi kita hanya akan tinggal impian belaka.

Lalu, kini waktu terus bergulir. Disadari atau tidak, sudah lebih dari 10 tahun usia reformasi. Penggawa-penggawa reformasi yang dahulu menjadi pejuang jalanan kini sudah bergelut dalam arus kekuasaan. Banyak di antara mereka yang kini telah mencapai puncak karirnya dan punya andil besar dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini ke depan.

Lalu, apakah agenda reformasi yang hendak mengukuhkan semangat perubahan dan menjadikan demokrasi sebagai satu-satunya sistem yang paling tepat bagi bangsa ini sudah mampu memberikan titik terang. Sampai saat ini, kalau mau jujur, demokrasi belumlah membuahkan kesejahteraan seagaimana agenda utamanya. Publik belum melihat urgensi reformasi yang digulirkan karena memang faktanya justru bertolak belakang dengan semangat perubahan yang pernah digulirkan. Manfaat riil demokrasi justru nihil.

Kelemahan Demokrasi

Lalu, adakah yang salah dengan demokrasi model Indonesia? Atau, jangan-jangan justru kita yang terjebak dalam artikulasi demokrasi itu sendiri. Harus diakui memang bahwa dalam cacatan historisnya, sistem demokrasi merupakan sistem terbaik di antara seluruh sistem terburuk yang ada. Atas dasar itu pula, mayoritas negara di dunia mengklaim bahwa negaranya telah menganut paham demokrasi meski dalam tatanan implementasi sangat bergantung pada penafsiran setiap negara dan penguasanya.

Salah satu titik lemah dari sistem demokrasi adalah adanya upaya mengandalkan diri pada prinsip suara mayoritas. Doktrin one man one vote pun diklaim sebagai pijakan paling ideal. Siapa yang mengantongi suara mayoritas, merekalah yang menjadi pemegang kendali dan kekuasaan.

Prinsip demokrasi yang demikian sangat identik dengan sistem kapitalis dalam dunia bisnis yang memprioritaskan prinsip one share one vote. Siapa pemegang saham mayoritas, dialah pemegang, pengendali, sekaligus pembuat keputusan.

Di sisi lain, disadari atau tidak bahwa sesungguhnya suara mayoritas tidak dapat diklaim telah mencerminkan nilai kebenaran dan keadilan. Artinya, walau suara mayoritas telah diraih, tidak ada jaminan bahwa keadilan dan kebenaran akan terpenuhi.

Barangkali hal itulah yang dirasakan para pelaku demonstrasi pada 28 Januari lalu. Karena itu, mereka menggelar berbagai aksi dalam rangka menyambut program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono yang dianggap bernilai merah alias gagal. Namun, kelemahan sistem demokrasi yang paling fatal justru mencuat pada saat aksi tersebut digelar. Demokrasi diidentikkan dengan kebebasan tanpa disertai rasa tanggung jawab dan batasan akan rambu-rambu serta etika. SBY pun diidentikan dengan seekor kerbau dungu yang biasa dimanfaatkan untuk membajak sawah.

Pola demokrasi semacam itu justru semakin menguatkan bahwa etika telah raib diterjang badai kebebasan yang tanpa batas. Tentu fakta tersebut menjadi catatan penting bahwa demokrasi telah dipandang sebagai kebebasan tanpa batas dan hanya akan menambah daftar hitam perjalanan demokrasi kita pada dunia internasional. Ketika kita mengidentikkan kepala negara sebagai manusia dungu seperti seekor kerbau, sesungguhnya manusia paling dungu adalah diri kita sendiri yang telah menempatkan orang dungu dalam singgasana pemerintahan. (*)

*). Janpatar Simamora, dosen Fakultas Hukum Universitas Nommensen Medan, sedang studi lanjut di Program Pascasarjana UGM Jogjakarta.
OPini Jawa Pos 5 Februari 2010