Oleh Asep N. Mulyana
Proses peradilan terhadap DDY, murid kelas III SDN Dr. Sutomo VIII Surabaya, menyeruak menjadi headline di berbagai media massa. Seperti halnya perkara pencurian buah semangka, randu, tanaman jagung, ataupun pencurian biji kakao oleh Nenek Minah, kasus DDY seakan-akan menambah panjang potret diskriminasi dalam praktik penegakan hukum di negeri ini.
Tulisan ini tidak bermaksud menjustifikasi apalagi menghakimi siapa yang salah dari fenomena yang terjadi, tetapi mencoba mengurai pokok persoalannya secara jernih. Itu disebabkan realitas yang terungkap dalam praktik penegakan hukum bukan merupakan sesuatu yang seketika terjadi, melainkan sebagai hasil interaksi dari proses sebab akibat dalam perspektif yang lebih luas.
Banyak yang menyayangkan bergulirnya kasus yang menimpa DDY ke Pengadilan Negeri Surabaya. Hakim Sutriadi Yahya yang memimpin sidang kasus itu menilai, sebaiknya perkara DDY tidak harus sampai ke persidangan. Kekesalan Sutriadi bukan saja tertuju pada sekolah, tetapi juga tertuju kepada orang tua DDY dan DN yang dinilainya tidak bersikap arif dan bijaksana untuk menyelesaikannya secara damai.
Kasus ”sengatan lebah” bukan saja menyengat empati dan keprihatinan dari teman-teman sekolahnya, melainkan juga membuka mata dan pikiran kita tentang sisi-sisi penegakan hukum selama ini. Kerap kali dijumpai adanya pemikiran bahwa setiap perkara pidana harus diadili melalui mekanisme peradilan pidana dan dipenjara sebagai buah dari perbuatan pelaku.
Dalam tataran tertentu, mungkin saja penghukuman pidana berupa penjara dapat menjadi sarana efektif dalam mencegah terjadinya kejahatan. Namun perlu disadari, ternyata kehidupan di lembaga pemasyarakatan di bumi pertiwi ini masih menyisakan pekerjaan rumah, yang berdampak negatif dalam perlakuan narapidana/warga binaan.
”Keranjang sampah”
Dalam proses peradilan pidana di Indonesia, lembaga pemasyarakatan masih dianggap sebagai ”keranjang sampah”, yaitu tempat penampungan dari berbagai kegiatan aparat penegak hukum lainnya. Dari mulai maling sandal jepit, bandar togel, pelaku mutilasi, bandar narkoba, sampai koruptor kelas kakap bercampur aduk dan dipenjarakan di suatu lokasi. Belum lagi tersangka yang dititipkan oleh penyidik ataupun terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan, menambah hiruk pikuknya serta sumpeknya lembaga pemasyarakatan.
Kondisi yang demikian itu mengakibatkan fungsi-fungsi pemasyarakatan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Lembaga pemasyarakatan bukan lagi merupakan tempat melakukan rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, dan reintegrasi sosial, melainkan justru --meminjam istilah Prof. Barda Nawawi Arief-- menjadi ”perguruan tinggi kejahatan” yang meningkatkan kualitas kejahatan narapidana. Sebagaimana diungkapkan Ramsey Clark, ”prisons factories of crime”, lembaga pemasyarakatan merupakan pabrik kejahatan.
Kultur penjara yang memengaruhi perilaku sipir selama ini telah memberikan andil dan kontribusi tersendiri terhadap persoalan yang ada di lembaga-lembaga pemasyarakatan. Sebagaimana tulisan Donald Taft & Ralph W. England yang menyatakan, pidana penjara yang dilaksanakan berdasarkan pandangan yang bersifat pemidanaan semata-mata akan lebih banyak menghasilkan penjahat daripada mencegahnya.
Ketika penulis bersama rekan-rekan dari kejaksaan diberikan kesempatan mengunjungi institusi-institusi penegak hukum di AS pada akhir 2009, penulis mendapatkan gambaran betapa selektifnya proses penahanan seseorang ketika akan dimasukkan ke dalam penjara. Sebelum penyidik melakukan penahanan terhadap tersangka, misalnya, jaksa terlebih dahulu harus mengajukannya ke hakim melalui persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam persidangan singkat tersebut, bukan hanya dihadiri tersangka dan pengacaranya, tetapi juga dihadiri oleh US Marshal’s Service sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap ”pengelolaan” tahanan. Ilustrasi itu memberikan pelajaran betapa terpadunya aparat penegak hukum sejak awal penanganan suatu perkara, dan begitu transparannya proses penahanan seorang tersangka.
Adalah Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang mengajukan konsepsi keadilan restoratif, yaitu konsepsi pemikiran yang merespons pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian perkara pidana. Konsepsi yang berbasis pada penyelesaian perkara secara musyawarah antara pelaku dan korban tersebut, dimaksudkan untuk menjadikan hukum berpihak kepada kelompok rentan hukum, termasuk di dalamnya anak-anak, kelompok manula, dan masyarakat miskin.
Menurut penulis, model keadilan restoratif tersebut tidak saja mengakomodasi kepentingan masyarakat ”rentan hukum”, melainkan juga mencegah penumpukan perkara di Mahkamah Agung (MA). Dalam praktik peradilan pidana, seluruh perkara mulai dari pencurian sandal jepit sampai korupsi kelas kakap sekalipun dapat dimintakan kasasi ke MA.
Bertumpuknya jumlah perkara pidana yang diselesaikan melalui proses peradilan, tidak saja melahirkan banyaknya orang yang harus masuk ”bui”, tetapi menjadikan aparat penegak hukum bekerja layaknya mesin produksi. Beroperasinya hukum yang berjalan secara mekanik telah menjauhkan ”mata hati” aparat dalam menangani suatu kasus. Bagaimana mungkin mengharapkan hati nurani aparat, sedangkan di kepalanya telah dihadapkan kembali dengan tumpukan perkara lain yang harus segera diselesaikannya.
Barangkali ide yang dikemukakan Menkumham untuk memediasi perkara-perkara pidana ringan perlu direspon. Konsep mediasi perkara pidana tersebut memungkinkan perkara pencurian biji kakao yang dilakukan Nenek Minah tidak perlu diajukan ke meja hijau, melainkan cukup dengan memanggil pihak-pihak yang berperkara untuk diselesaikan di kepolisian. Pada gilirannya, konsep mediasi diharapkan dapat mengurangi berjubelnya terhukum di lembaga pemasyarakatan serta dapat mengeliminasi tumpukan perkara di MA.
Keadilan substantif
Bekerjanya hukum dalam masyarakat seharusnya bertolak dari konsepsi law is mirror society. Dalam tataran ini, hukum tidak saja merupakan cerminan masyarakat, melainkan juga dapat merefleksikan rasa keadilan masyarakatnya. Pemenuhan rasa keadilan tersebut disebabkan masyarakat merupakan tempat bekerjanya hukum.
Dalam praktik penegakan hukum, pemenuhan rasa keadilan substantif tersebut sering kali berhadapan dengan prosedural hukum yang mengharuskan ditempuhnya tata cara dan kaidah-kaidah baku. Dengan demikian, dalam implementasinya, pemenuhan terhadap kepastian hukum kerap kali mengorbankan nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Begitu pula halnya ketika kemanfaatan hukum yang dikedepankan, maka akan menerabas kepastian hukum dan tidak dapat mengakomodasi rasa keadilan. Pertentangan pemenuhan ketiga tujuan hukum dalam waktu bersamaan merupakan persoalan klasik, yang disebut oleh Gustav Radbuch sebagai spatnung verhatnis.
Mencermati konsepsi mediasi hukum sebagaimana yang dilontarkan oleh Menkumham, tentunya harus diikuti dengan percepatan pembaruan hukum pidana (penal reform) yang selama ini digodok di Kementerian Hukum dan HAM. Menurut hemat penulis, terdapat tiga hal yang seharusnya diakomodasi.
Pertama, kategorisasi kejahatan dalam beberapa tingkatan. Dalam hal ini, pembedaan tindak pidana ke dalam pelanggaran dan kejahatan yang selama ini dianut dalam KUHP, diganti menjadi kategorisasi kejahatan dalam tiga tingkatan yaitu: kejahatan ringan, sedang, dan berat. Kategorisasi kejahatan sebagaimana yang dianut di Jepang tersebut seharusnya diikuti dengan pembedaan tata cara dan mekanisme penyelesaian perkara. Misalnya, untuk kategori kejahatan ringan, penyelesaian perkaranya cukup melalui mediasi para pihak di kepolisian. Kejahatan dengan kategori sedang misalnya, tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi, tetapi telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) dalam tahapan pengadilan banding. Sementara itu, semakin tinggi kategori kejahatan, semakin berat pula ancaman sanksinya. Misalnya untuk kategori kejahatan berat, ancaman sanksinya dapat berupa pidana 15 tahun, seumur hidup, ataupun pidana mati.
Kedua, perluasan konsepsi alasan penghapus pidana. Selama ini dalam tataran teori hukum pidana yang menganut asas perdamaian ataupun pembayaran ganti rugi sekalipun tidaklah menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan. Meskipun pelaku membayar ”uang kadeudeuh” sebagai bentuk perdamaian dengan korban, tetapi hal tersebut tidak menghentikan proses pidananya melainkan hanya merupakan sesuatu yang dapat meringankan tuntutan pidana terhadap pelaku.
Ketiga, adanya peradilan prajustisial (meminjam istilah Prof. Ahmad Ramly), yaitu suatu model penyelesaian perkara sebelum diajukan ke pengadilan. Peradilan prajustisial ini dimaksudkan agar korban dan pelaku dapat mempunyai ruang yang leluasa untuk menentukan penyelesaian perkara selanjutnya. Kalaulah mereka bersepakat untuk menyelesaikannya secara damai, dibuatkan akta perdamaian sehingga tidak perlu dilanjutkan lagi melalui proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Tentu saja mekanisme dan tata cara model prajustisial seharusnya diakomodasi dalam pembaharuan KUHAP, sebagai payung dalam penegakan hukum pidana formal (hukum acara).
Sejalan dengan pemikiran Menkumham, ketiga substansi penal law tadi diharapkan menjadi mediasi perkara pidana sebagaimana yang diwacanakan, dan dapat diimplementasikan tanpa mengorbankan kepastian hukum. Dengan mengakomodasi konsepsi keadilan restoratif, setidaknya dapat membantah pernyataan Gustav Radbuch yang senantiasa mempertentangkan antara keadilan substantif dan kepastian hukum.
Yang paling penting dari semuanya yaitu memadukan antara keadilan dan kepastian hukum, bukan mempertentangkannya. Dengan demikian, pada gilirannya akan melahirkan rasa keadilan masyarakyat yang bersendikan kepastian hukum. Bukankah Brian Z. Tamahana mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang merupakan cermin dari masyarakatnya. Semoga!!!***
Penulis, Kasubbid Pengajaran pada Diklat Teknis Fungsional Pusat Diklat Kejaksaan RI, peserta program doktor Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 5 Februari 2010