04 Februari 2010

» Home » Lampung Post » Kontroversi Kenaikan Gaji Pejabat

Kontroversi Kenaikan Gaji Pejabat

Mohammad Takdir Ilahi
Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta
Di tengah kecaman atas kinerja pemerintah yang dianggap gagal memenuhi janji politiknya, baru-baru ini kita dikejutkan dengan rencana kenaikan gaji presiden, wapres, menteri, dan pejabat lembaga tinggi negara lainnya. Tentu saja, rencana ini menambah beban penderitaan masyarakat yang menjadi korban utama atas rencana kenaikan gaji tersebut. Tidakkah kita merasa empati dengan kondisi masyarakat kita yang terlunta-lunta sehingga berada dalam kubangan kemiskinan dan pengangguran?


Di luar itu semua, rencana kenaikan gaji bagi pejabat negara merupakan potret ketidakadilan penguasa terhadap masyarakat kecil sehingga menambah luka hati mereka yang terpendam. Bila rencana kenaikan gaji ini benar-benar dilaksanakan, maka rakyat akan menderita meratapi ketidakadilan pemerintah dalam memberikan jaminan kesejahteraan bagi rakyat. Sedangkan para pejabat negara semakin berleha-leha dengan kemewahan dan menikmati uang rakyat dengan cuma-cuma.
Kenaikan gaji pejabat di tengah penderitaan rakyat adalah suatu pengkhianatan yang terselubung. Betapa tidak, kenaikan gaji pejabat akan membebani APBN kita, yang seharusnya digunakan untuk memberikan jaminan sosial bagi masyarakat kurang mampu, terutama untuk membiayai pendidikan bagi anak-anak jalanan guna meneruskan sekolahnya. Selain itu, dana APBN bisa diproyeksikan untuk pembangunan ekonomi masyarakat kecil yang membutuhkan dana tunjangan demi perbaikan taraf ekonomi mereka secara berkelanjutan.
Pada titik inilah, kenaikan gaji pejabat tidak sepantasnya dilaksanakan karena kenaikan gaji tersebut tidak sinergis dengan kenaikan dan perbaikan kinerja pemerintah dan DPR. Seharusnya, peningkatan gaji mesti berkesinambungan dengan peningkatan kualitas kinerja dan pengabdian sepenuhnya kepada rakyat. Di mana gaji yang diterima pejabat negara, sejatinya adalah milik rakyat yang membayar pajak. Jadi, rakyat tidak boleh menjadi korban dari kebijakan kenaikan gaji ini. Itulah sebabnya, saya semakin bertanya-tanya, kenapa harus ada fasilitas mewah dan kenaikan gaji, kalau tidak ada perbaikan kinerja?
Sebagai Presiden, sejatinya SBY perlu memberikan respons atas kritik yang muncul selama ini. Presiden tidak boleh berpangku tangan melihat penderitaan rakyat yang telah lama mendamba kehidupan sejahtera tanpa harus dikibuli oleh rencana kenaikan gaji pejabat negara. Jika Presiden memang memiliki sense of crisis, kebijakan kenaikan gaji sebaiknya ditunda dulu karena dianggap sebagai kebijakan nonpopulis atau tidak memihak rakyat. Seperti contoh pembelian pesawat kepresidenan seharusnya bisa ditunda, soal mobil dinas pejabat pun juga bisa ditunda dulu. Kemudian masalah kenaikan gaji juga sama.
Dalam beberapa kesempatan, tujuan dasar kenaikan gaji adalah untuk mengurani korupsi dan peningkatan produktivitas kinerja pejabat. Saya menilai tujuan kenaikan gaji tidak berbanding lurus dengan efektivitas dan kinerja para menteri yang baru dilantik. Jika dibiarkan, rencana ini akan menjadi semacam oligarki yang menempatkan penguasa sebagai pemenangnya, sementara rakyat terus menerus dikibuli dan dikhianati hak-hak dasarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah isu adanya kenaikan gaji untuk para pejabat negara. Dia menegaskan sampai saat ini belum ada kenaikan gaji, baik untuk presiden, menteri maupun pejabat lainnya. Padahal, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk kenaikan gaji menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010. Anggaran tersebut masuk dalam pos reformasi birokrasi yang dialokasikan sebesar Rp 700 miliar. (Kompas, 29-01-10).
Tidak ada Remunerasi Pejabat
Apa pun alasan pemerintah, kenaikan gaji pejabat adalah bagian dari ketidakberpihakan kepada rakyat. Itulah sebabnya, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahwa yang disebut kenaikan gaji itu tepatnya remunerasi dari pejabat negara adalah tidak berdasar rasionalitas. Walaupun tujuannya diproyeksikan untuk memperbaiki sistem reformasi birokrasi yang digalakkan pemerintah.
Tidak heran, bila rencana pemerintah menaikkan gaji menteri dan pejabat tinggi lainnya dianggap akan mempertajam rasa ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Selain itu, kenaikan gaji tersebut juga tak memiliki dasar rasionalitas yang kuat sehingga kebijakan itu harus ditunda atau dibatalkan secepat mungkin.
Terlebih lagi, rencana kenaikan gaji menteri dinilai cacat hukum. Pasalnya, Undang-Undang No. 12 Tahun 1980 yang mengatur tentang hak keuangan atau administratif pimpinan dan anggota, serta bekas anggota dan pimpinan lembaga tinggi atau tertinggi negara, sudah tidak sesuai lagi dan harus diubah. Itulah mengapa, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo mengatakan tidak ada remunerasi pejabat manapun termasuk menteri, tanpa terlebih dahulu melakukan revisi UU No. 12 Tahun 1980.
Dengan demikian, dalam konteks negara hukum, maka fondasi kebijakan apa pun harus berdasarkan hukum, terlebih kebijakan yang "sensitif" seperti kenaikan gaji, besar atau kecil tetap akan membebani keuangan negara. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan gaji harus diatur sesuai dengan UU yang telah direvisi agar memenuhi ketentuan dan tidak membebani APBN serta penderitaan rakyat yang semakin tidak menentu.

Opini Lampung Post 5 Februari 2010