Wahyu Hidayat
Kader Muda NU Lampung, alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Di Kampung Kertopaten, Surabaya, 84 tahun silam, tepatnya pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H, terbentuklah organisasi masyarakat Islam Nahdlatul Ulama (NU) yang hingga kini mempunyai pengaruh besar di Tanah Air. NU yang secara harfiah bermakna kebangkitan para ulama ini mengamalkan ajaran ahlussunnah wal jamaah dengan memegang teguh salah satu dari empat mazhab (ahlussunnah wal jama'ah ala madzhibil arba'ah), yaitu Imam Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hambali.
Organisasi sosial keagamaan Islam (Jam'iyyah Diniyyah Islamiyyah) Nahdlatul Ulama yang di dirikan oleh Hadhratus Syekh K.H. M. Hasyim Asy'ari dan para ulama pesantren ini ibarat mewadahi suatu barang yang sudah ada, dengan kata lain NU didirikan untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama dan kiai pesantren untuk mengabdikan yang tidak lagi terbatas pada soal kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan semata, menurut Choirul Anam (1999:19) bahwa pada saat itu, NU juga memperhatikan pada masalah-masalah sosial, ekonomi, perdagangan dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada bangsa, negara, dan umat manusia.
Back to NU
Perkembangan dunia pesantren belakangan ini menjadi sorotan berbagai media, isu mengenai munculnya para teroris dari pesantren dan munculnya politisi dari kalangan "kaum bersarung" menambah ramainya dialektika dan dinamika dalam tubuh pesantren. Jika dirunut kembali, pesantren dilahirkan atas dasar kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni kewajiban menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus sebagai tempat untuk mencetak kader-kader ulama atau mubaligh.
Ketika zaman kolonial belanda, pesantren didirikan sebagai counter terhadap ekspansi Belanda terhadap pendidikan di Tanah Air, yang pada saat itu pendidikan diperbolehkan hanya untuk kalangan priyayi. Sehingga diharapkan pesantren dapat dijadikan jalan untuk mencetak santri pelopor pembaruan (agent of changes) yang mempunyai dasar pada kemampuan spiritual dan berpegang teguh dalam pada nilai-nilai etika dan moralitas universal yang tercatat dalam Alquran dan Hadist, yang kemudian tersirat dalam kajian kitab-kitab seperti Ihya Ulumuddin-nya Imam Al-Ghazali, Tafsir Al-Jalalain, Fathul Qorib, Ta'limul Muta'alim, Nahwu, Shorof, Balaghah, dan kitab kuning klasik lainnya. Jika meminjam istilah Kuntowijoyo, humanisme-teosentrik, yakni pesantren merupakan jalan pengabdian secara total kepada Allah swt., tetapi manfaatnya ditujukan bagi kesejahteraan alam semesta.
Jika melihat kepemimpinan pondok pesantren sebagian besar menggunakan pola wilayatul imam, yakni kepemimpinan tidak hanya dilandasi kemampuan manajerial, akan tetapi diperlukan kemampuan spritual leader yang memiliki otoritas keimanan yang diikuti oleh masyarakat. Sehingga para kiai pengasuh pondok pesantren dapat meneruskan tradisi Nabi Muhammad saw. sebagai absolute frame of reference. Namun, melihat perkembangan pondok pesantren saat ini, secara struktural dan kultural sedang mengalami degradasi tingkat tinggi. Beberapa kiai pimpinan pondok pesantren kini malah sibuk di dunia politik ketimbang mengurus umatnya. Hal ini berbalik arah dengan perjuangan NU untuk kembali ke khitah yang diputuskan saat Muktamar ke-27 di Situbondo pada 1984, yakni perjuangan NU lebih di fokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, ekonomi, dan dakwah.
Kemudian, masalah komunikasi yang dibangun baik pengurus dan warga NU (nahdliyin) kini sudah bias dan tak kenal arah, dapat diartikan mereka tersesat dalam kegelapan. Jika diambil benang merahnya, peran kiai dan pondok pesantren merupakan tempat untuk mengembangkan NU baik struktural dan kultural, sehingga pola pengembangan dan pemberdayaan NU ditingkat masyarakat bawah (grass root) lebih maksimal. Ada adagium di kalangan nahdliyin bahwa NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil.
Melihat realita yang berkembang saat ini, Nahdlatul Ulama dengan amalan ahlussunnah wal jamaah harus mampu merespons dan memberikan solusi problematika kekinian (kontekstual) seperti digagas oleh K.H. Sahal Mahfudz dalam fikih sosialnya. Dari masalah keumatan hingga kebangsaan yang semakin kompleks menjadi pekerjaan utama Muktamar ke-84 NU di Makassar dalam waktu dekat ini. Sehingga, pembaruan NU dalam bidang manajerial dan gerakan perlu dilakukan karena melihat keadaan yang semakin memprihatinkan.
Hal ini semestinya sejalan dengan resolusi yang dikeluarkan pada Muktamar NU ke-13 tahun 1935, yaitu mabadi khayr al-ummah (prinsip-prinsip membangun masyarakat yang unggul), yakni nilai kejujuran, akuntabilitas publik, kerja sama dan ketika Munas Alim Ulama di Bandar Lampung ditambah dengan keadilan dan konsisten. Kesepakatan para ulama tersebut merupakan tonggak gerakan kultural NU untuk meletakkan dirinya sebagai jamiyyah dinniyah yang bertujuan untuk memakmurkan dan membangkitkan umatnya.
Jadi, harus diakui bahwa pondok pesantren telah mampu merekonstruksi nilai-nilai keislaman yang dinamis dan sejalan dengan napas keindonesiaan, sehingga pesantren kini menjadi bagian dari masyarakat yang tak bisa terlepas dari realita kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian, peran Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan tradisi yang lama dan mengakomodasi tradisi baru yang lebih baik (al-muhafadzah 'ala al qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah) telah berhasil menjaga kemoderatan NU sehingga dapat diterima semua kalangan di seluruh penjuru dunia.
Opini Lampung Post 5 Februari 2010