Innovate or die. Jargon itu sangat populer digaungkan belakangan ini. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan 400-an ilmuwan pada 20 Januari yang lalu menegaskan kembali mutlak pentingnya hal itu. Tentu, spirit yang ingin disampaikan yakni inovasi merupakan senjata pamungkas dalam menyikapi perubahan dunia yang kini sudah berubah ke arah ekonomi berbasis pengetahuan.
Tanpa inovasi, jangan harap Indonesia maju dan sejahtera dapat diwujudkan. Dengan demikian, senjata ekonomi seperti tenaga kerja yang murah dan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki sudah bukan lagi jamannya diharapkan untuk memenangi persaingan global dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Persoalannya, bagaimana mendongkrak kemampuan inovasi masyarakat?
Undang-undang saja tidak cukup
Undang-undang untuk mendongkrak kemampuan inovasi masyarakat relatif sudah memadai. Sebut saja UUD 1945, misalnya, jelas dikatakan di dalamnya bahwa masyarakat dijamin atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta hak atas pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, serta jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Demikian pula, dalam Undang-Undang No 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Pengembangan, Penelitian dan Penerapan Iptek ditekankan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk berperan serta dalam melaksanakan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan iptek sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan baru-baru ini diterbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif sebagai bagian penting dari upaya mendongkrak kemampuan inovasi masyarakat.
Namun berdasarkan pengalaman harus diakui, keberadaan undang-undang dan inpres saja tidak cukup mampu mendongkrak kemampuan inovasi masyarakat. Buktinya, dari total tenaga kerja yang bekerja pada 2009, Badan Pusat Statistik (2009) mencatat lebih dari 60% bekerja sebagai buruh atau karyawan diikuti dengan pekerja keluarga dan buruh tidak tetap sebesar 22%, dan hanya sekitar 18% yang bekerja sendiri dan pekerja bebas. Potret itu terjadi tidak saja di perkotaan, tetapi juga di perdesaan. Lantas, mengapa demikian?
Tentu banyak faktor penyebabnya. Namun paling tidak ada tiga penyebabnya, yaitu berkaitan dengan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), kelembagaan, dan keberlanjutan dan integrasi program serta jejaring inovasi. Masalah kuantitas dan kualitas SDM, misalnya, dapat diidentifikasi dari dominannya jumlah lulusan perguruan tinggi di bidang ilmu-ilmu sosial, dan hanya sedikit lulusan yang memiliki disiplin ilmu dasar, engineering, dan aplikasi teknologi. Padahal bidang ilmu dan disiplin itu merupakan pendongkrak terjadinya inovasi pengetahuan dan teknologi baru.
Dalam hal kelembagaan, miskinnya fasilitas infrastruktur komersialisasi dan diseminasi seperti taman teknologi (technology parks), inkubator bisnis, dan modal operasi kegiatan merupakan satu kenyataan yang tidak dapat ditutupi. Tambahan lagi, banyak fokus penelitian dan pengembangan masih ditujukan pada pure conceptual knowledge. Belum lagi bicara soal keterkaitan antara pelaku usaha dan perguruan tinggi maupun lembaga penelitian dan pengembangan yang juga buruk.
Langkah ke depan
Idealnya, kebijakan mendongkrak kemampuan inovasi masyarakat perlu memenuhi berbagai kondisi yang dibahas di atas. Untuk itu, dua kebijakan berikut mutlak diperlukan yakni kebijakan dasar dan kebijakan pendukung. Adapun kebijakan dasar dimaksud yakni mengubah sistem pendidikan formal menjadi berbasis ilmu dasar, engineering, dan aplikasi pengetahuan dan teknologi.
Sistem pendidikan yang terfokus pada pengembangan disiplin ilmu sosial dan sejenisnya harus dikurangi. Hal yang sama juga mutlak diperlukan dalam penelitian dan pengembangan yang diarahkan untuk memenuhi kemajuan ekonomi, kesejahteraan dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat serta menghasilkan paten dan publikasi internasional.
Di samping itu, kebijakan pendidikan nonformal juga perlu dikembangkan ke arah kemampuan teknis dan atau kejuruan. Hal itu dimaksudkan untuk mengakomodasi masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk masuk sistem pendidikan formal yang relatif mahal maupun angkatan kerja yang menganggur. Itu dapat dilakukan, misalnya, melalui balai latihan kerja yang telah ada.
Namun dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, sinergi, sinkronisasi, dan koordinasi dengan para pihak perguruan tinggi dan pihak swasta tidak dapat dihindari. Berbagai pelajaran yang dilakukan oleh Brasil, Korea Selatan, dan China, misalnya, dapat dijadikan model (role model) atau contoh untuk pencapaian tujuan ini.
Untuk kebijakan pendukung, penciptaan lingkungan yang kondusif diperlukan dalam mendukung kebijakan dasar di atas. Beberapa kebijakan dimaksud antara lain peningkatan dana litbang dan pembiayaan inovasi, kebijakan pasar terbuka untuk menghasilkan inovasi yang bersumber dari pengetahuan dan teknologi luar negeri dan kebijakan pengembangan kelembagaan dan jejaring inovasi masyarakat.
Akhirnya, peningkatan kemampuan inovasi masyarakat yang dibangun dan dikembangkan pun tidak harus selalu diarahkan pada inovasi yang menggunakan banyak modal untuk menghasilkan terobosan teknologi tinggi berkelas dunia, tetapi juga harus diarahkan pada jenis inovasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dalam proses produksi maupun cara baru yang menghasilkan kemanfaatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kaitan ini inovasi pengetahuan dan teknologi yang bersumber dari keberadaan pengetahuan dan teknologi lokal adalah pilihan yang relatif paling murah. Apalagi inovasi jenis ini dapat berperan membentengi inovasi pengetahuan dan teknologi baru yang berasal dari luar negeri khususnya dari China sebagai akibat diberlakukannya ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) sejak 1 Januari 2010. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi yang berbasis inovasi (innovation based growth) bukan hal yang mustahil untuk dicapai. Indonesia pasti bisa!
Oleh Carunia Mulya Firdausy, Deputi Menristek Bidang Dinamika Masyarakat
Opini Media Indonesia 5 Februari 2010