Marwan Ja'far
(Ketua Fraksi PKB DPR RI)
Belakangan ini desakan agar pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus bisa diukur dan dipertanggungjawabkan kian menyeruak di publik. Tuntutan tersebut tergambar jelas dari sejumlah diskusi publik maupun aksi ''parlemen jalanan'' yang marak dilakukan oleh sebagian elemen masyarakat sipil. Selain itu, selama tiga (tiga) bulan terakhir--dalam pelbagai pemberitaannya--media massa begitu intensif dan massif menyuarakan pentingnya akuntabilitas demokrasi. Lebih dari itu, Presiden RI juga turut menyuarakan hal serupa.
Gema akuntabilitas ini seolah mengiringi sekaligus menjadi watch dog bagi semua gerak pengawasan yang tengah dilakukan parlemen kepada eksekutif maupun upaya kontrol publik terhadap pelaksanaan program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) SBY-Boediono.
Paparan di atas seolah mengonfirmasi kepada semua pihak, betapa masalah akuntabilitas demokrasi selama ini kurang mendapatkan perhatian yang semestinya. Harus diakui, dalam praktik demokrasi konstitusional di Indonesia, akuntabilitas para pelaku demokrasi inilah yang sering diabaikan. Sejak reformasi 1998, pembangunan demokrasi lebih terfokus pada 2 (dua) aspek; yakni kompetisi dan partisipasi, sebaliknya bangsa ini kurang membahas masalah akuntabilitas demokrasi. Dengan kata lain, pengukuran demokrasi masih terfokus pada kebebasan berpartai politik dan pemilu, namun kerap kurang serius mengukur proses pascapemilu, terutama pertanggungjawaban wakil rakyat dan pemegang kekuasaan pemerintahan.
Menurut hemat penulis, pokok persoalan akuntabilitas demokrasi di Indonesia sangat erat kaitannya dengan permasalahan akuntabilitas horizontal dan akuntabilitas vertikal. Akuntabilitas vertikal dimaknai sebagai pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya, pertanggungjawaban yang dipilih kepada rakyat yang memilih, akuntabilitas dari elite kepada masyarakat, pertanggungjawaban pemerintah pusat kepada parlemen, pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Sedangkan akuntabilitas horizontal adalah pertanggungjawaban di antara lembaga negara atau terhadap sesama lembaga publik lainnya yang tidak berada di atasnya.
Menilik persoalan di atas, dalam hal akuntabilitas horizontal, konstitusi kita sebenarnya telah memberikan aturan main code of conduct yang jelas. Konstitusi telah menjamin dan mengatur tentang pembatasan kekuasaan maupun model dan bentuk relasi pertanggungjawaban di antara lembaga-lembaga negara. Dalam sistem demokrasi konstitusional, kekuasaan negara berada di tangan rakyat yang dilaksanakan menurut konstitusi (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Pemegang kekuasaan dibatasi wewenangnya oleh konstitusi, sehingga tidak melanggar hak-hak asasi rakyat (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). Antara kekuasaan eksekutif dan cabang-cabang kekuasaan lainnya terdapat check and balances. Dalam praktik demokrasi di Indonesia, pertangunggjawaban politik pemerintah (Presiden dan Kabinet) kepada rakyat dilakukan melalui dan oleh lembaga parlemen (DPR). Ini diatur dalam konstitusi. Pasal 4 hingga 16 UUD 1945 tentang kekuasaan pemerintahan negara dan Pasal 19 hingga 22 UUD 1945 tentang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan landasan konstitusional pelaksanaan akuntabilitas demokratik bagi presiden kepada parlemen.
Konstitusi juga mengatur dengan tegas bahwa kontrol parlemen atas pemerintah dilaksanakan secara simultan melalui 3 (tiga) fungsi DPR (legislasi, pengawasan, dan anggaran) secara tidak terpisahkan.
Kemudian, DPR juga mempunyai hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. DPR juga berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.
Bagi penulis, kontrol parlemen dalam upaya mewujudkan akuntabilitas demokrasi tidak hanya bersandar pada bunyi konstitusi dan peraturan perundang-undangan di atas, tetapi juga harus berpijak pada realitas bahwa dalam politik, saling dukung antara pemerintah dan parlemen merupakan hal lumrah agar stabilitas dan kelancaran pemerintahan dapat berlangsung dengan baik. Sebab kalau tidak, sejarah buruk tahun 1950-1958 dan tahun 1999-2001 krisis politik akibat dis-harmoni hubungan legislatif-eksekutif yang serius, dapat terulang lagi. Meski begitu, saling dukung itu bukan berarti saling bungkam sehingga fungsi kontrol (check and balances) tak berfungsi sama sekali, seperti yang terjadi di zaman Orde Baru yang memandulkan parlemen dan menjadikan mereka kaum yes-man dan kaum rubber stamp.
Karena itu, agar kontrol parlemen tidak dicurigai oleh publik sebagai rutinitas, seolah-olah, main-main, ataupun prosedural belaka, maka semua pihak harus mendorong agar parlemen segera beralih dari fungsi-kontrol prosedural kepada penggunaan fungsi-kontrol substansial.
Opini Republika 4 Februari 2010
04 Februari 2010
Akuntabilitas Demokrasi
Thank You!