Penyair tersohor WS Rendra (1935-2009) pernah menulis syair untuk tokoh politik Malaysia Dato' Seri Anwar Ibrahim (DSAI), berjudul Sajak Rajawali. Anwar Ibrahim pernah dipenjara enam tahun atas tuduhan melakukan sodomi. Dia bebas tahun 2004. Tidak jelas apakah dia dihukum karena benar-benar melakukan sodomi atau karena alasan politik. Bulan Agustus tahun 2008 dia diadili lagi dengan tuduhan sodomi pula.
Hari Selasa yang lalu sidang kasus sodomi tersebut digelar kembali. Orang awam kembali bertanya-tanya, apakah mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia itu benar-benar bersalah, atau menjadi korban mafia politik?
Syair WS Rendra untuk DSAI intinya berbicara tentang nurani dan mereka yang durhaka terhadap kehidupan. Puisi Rendra diawali dengan bait, 'Sebuah sangkar besi tidak bisa mengubah rajawali menjadi seekor burung nuri'; diakhiri dengan bait, 'Rajawali terbang tinggi, membela langit dengan setia, dan ia akan mematuk kedua matamu, wahai kamu...pencemar langit yang durhaka.
"' Pembaca dapat membuat tafsir bahwa 'nurani' diibaratkan 'rajawali' dan 'kehidupan' diibaratkan 'langit'. Dengan syair Sajak Rajawali, Rendra, yang dijuluki Burung Merak, melampiaskan kegeramannya terhadap orang-orang yang mengotori kehidupan. Tetapi dia memiliki harapan, sang Rajawali yang terbang tinggi akan mengawasi dan menyambar mereka yang durhaka.
Penyair Adhie Massardi, mantan jubir presiden dalam pemerintahan Gus Dur, dalam bincang pagi Metro TV hari Sabtu lalu, dengan setengah menangis melanjutkan pesan Rendra, "Akulah Rajawali, penjaga nurani yang tak pernah mati, dan akan selalu kembali."
Demokrasi rawan konflik
Puisi Sajak Rajawali mendapat puja-puji para pendukung Anwar Ibrahim di Malaysia. Dalam surat-surat elektronik bulan April 2008, Han-Jay Bee menulis, "Banyak maknanya. Renung-renungkan...." Kata Zhafir, "Cantik dan nampaknya hormat dan kuat sokongan Rendra kepada DSAI...." Eirwan berkomentar, "Ya betul tu geng. Setiap rangkap yang ditulis begitu menarik untuk difahami tu. Aku yang tak minat sastera pun boleh suke ngan puisi tu.
Glory si Rajawali...."Selintas paparan di atas tentang situasi sosial-politik di negara tetangga akibat pertarungan antarpartai politik maupun masalah SARA menegaskan bahwa di negara-negara yang belum lama menjalankan demokrasi, sistem demokrasi terus bergulir mencari kesempurnaan. Dalam prosesnya, konflik-konflik intelektual dan politik tidak terhindarkan. Maka dalam masyarakat demokrasi, toleransi adalah keniscayaan.
Aksioma itu tentunya berlaku pula untuk kita. Kericuhan akibat berbagai pertentangan pendapat tentang cara kita mengurus tatanan negara maupun masyarakat justru menunjukkan bahwa kita masih dalam koridor demokrasi. Memang melelahkan. Demo-demo yang dianggap melampaui batas kesopanan sebenarnya hanyalah dinamika dalam kebebasan hidup berdemokrasi.
Nurani para pendemo tidak membiarkan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan bangsa dilupakan; yang dibuktikan dengan masih merajalelanya korupsi dan maraknya mafia di mana-mana - dua persoalan utama yang menjadi prioritas program pemerintahan sekarang. Seperti pernah disebutkan dalam kolom ini, prioritas 'ganyang mafia hukum' seperti membangunkan harimau tidur. Heboh di mana-mana. Demikianlah kenyataan kita sekarang.
Saluran alternatif
Sri Mulyani benar ketika mengatakan, kekecewaan jangan selalu ditimpakan kepada pemerintahan yang menjalankan mandat rakyat. Dalam sistem demokrasi, semua yang terjadi adalah tanggung jawab bersama.
Rasanya akan lebih spesifik lagi kalau kita katakan, dalam masyarakat demokrasi, partai-partai politik yang sedianya mewakili aspirasi rakyat, yang hiruk pikuk langkahnya berujung pada pembentukan lembaga legislatif maupun kepemimpinan lembaga eksekutif, tentunya sangat bertanggung jawab atas perkembangan yang terjadi. Kegagalan partai-partai politik mewujudkan aspirasi rakyat perlu dikaji, disadari, dan dibenahi.
Masalahnya, kita sedang dalam transisi dari sistem sosial budaya tradisional yang sifatnya konservatif, yang mengutamakan pandangan dan kepentingan elite, ke sistem demokrasi modern yang masih asing bagi mayoritas masyarakat dengan pendidikan terbatas.
Partai-partai politik sedang sibuk bertarung untuk memperebutkan kekuasaan, karena selain kekuasaan memang diperlukan untuk mendapatkan mandat rakyat, dia juga mencirikan masyarakat demokrasi modern. Maka untuk mengisi kekosongan, perlu ada lembaga-lembaga perantara yang membimbing dan membantu masyarakat memahami dan mengatasi situasi, sekaligus mengawasi sikap dan perilaku partai-partai politik agar tidak melampaui batas toleransi demokrasi.
Dalam hal ini kita harus bangga bahwa di Indonesia ada ratusan organisasi yang diam-diam menjalankan kegiatan nirlaba demi kemaslahatan rakyat banyak. Organisasi-organisasi tersebut mewujud dalam berbagai bentuk: Ormas, LSM, yayasan, sampai kelompok-kelompok individu yang nuraninya terpanggil untuk membantu mereka yang perlu.
Mereka tidak mengejar kekuasaan dalam struktur kenegaraan. Organisasi-organisasi itu mengisi kekosongan yang belum diisi partai-partai politik. Mereka pun ibarat Rajawali, karena mereka bergerak atas panggilan nurani. Kata Rendra: "Rajawali merasa pasti bahwa langit akan selalu menanti. Langit tanpa rajawali adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma. Rajawali terbang tinggi, membela langit dengan setia."
Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 5 Februari 2010