04 Februari 2010

» Home » Suara Merdeka » Standar Kompetensi Wartawan

Standar Kompetensi Wartawan

Akankah ke depan wartawan yang memenuhi syarat sebagai wartawan kompeten dan diumumkan terbuka benar-benar mampu jadi wartawan profesional?

STANDAR Kompetensi Wartawan (SKW) telah disahkan dengan ditandatangani oleh para pimpinan organisasi pers. Tujuannya sebagai upaya meningkatkan kualitas wartawan dalam menjalankan kemerdekaan pers secara bertanggung jawab, atau singkatnya agar para wartawan lebih profesional.


Hasil kesepakatan yang menurut Ketua Tim Perumus Wina Armada Sukardi akan diumumkan pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2010 di Palembang tersebut, jelas perlu memperoleh apresiasi.  Namun, persoalan klasik yang perlu kita pertanyakan serta renungkan bersama adalah, akankah ke depan wartawan yang telah memenuhi syarat sebagai wartawan kompeten dan diumumkan secara terbuka tersebut benar-benar mampu menjadi wartawan profesional?

Tidakkah mungkin akan menjadi kontraproduktif, manakala ukuran-ukuran yang digunakan mengevaluasi nantinya hanya ukuran formal dan administratif yang mudah direkayasa?

Standar Kompetensi Wartawan jelas sesuatu yang bertujuan mulia karena akhir-akhir ini banyak kalangan mengeluhkan adanya penyalahgunaan profesi ini oleh mereka yang mengaku-ngaku sebagai wartawan, padahal mereka tidak jelas bernaung di media manapun. Namun, yang diharapkan tentu ukuran yang digunakan mengukur kompetensi wartawan(KW) merupakan ukuran yang benar-benar mampu menggali potensi, kemampuan, dan mentalitas mereka yang dinilai.

Ini perlu diperhatikan mengingat saat ini hampir setiap institusi juga menerapkan standar kompetensi dan sejenisnya. Ada juga yang menyebutnya sertifikasi, misalnya pada guru dan dosen. Persoalan yang akhir-akhir ini cukup mencuat adalah keluhan dari berbagai kalangan terhadap para guru yang telah bersertifikat yang ternyata tidak menunjukkan kualitas kinerjanya.

Agak lain dengan dosen yang memang sejak awal telah diharuskan melakukan penelitian, membuat karya ilmiah, serta berbagai publikasi dan sejenisnya. Karenanya ada usulan untuk mengubah standar dan prosedur yang digunakan dalam menyertifikasi guru tersebut pada masa yang akan datang.

Karena itu, meski tidak sama ukuran-ukuran yang akan digunakan dengan guru karena memang profesinya yang berbeda, hendaknya standar penilaian yang akan digunakan pun harus benar-benar mampu mengukur profesionalitas para wartawan berkompeten pada masa yang akan datang.

Munculnya banyak keluhan, terutama terhadap kualitas guru yang telah bersertifikat kemungkinan didasarkan pada banyaknya indikator-indikator administratif yang digunakan, tatkala para guru tersebut dalam proses sertifikasi. Padahal, sebagai pelayan publik (murid, orang tua, serta pihak terkait lainnya) guru seharusnya lebih banyak dinilai dari kemampuannya dalam mengajar dan dalam mengembangkan kemampuannya.

Dengan demikian selain persyaratan administratif formal seperti SK, ijazah, piagam, dan berbagai persyaratan administratif lainnya maka penilaian murid dan orang tua terhadap sang guru, serta komponen masyarakat lainnya, justru seharusnya dijadikan ukuran utamanya.
Hasil Kerja Dengan demikian, hasil kerja yang bisa dipertanggungjawabkanlah yang seharusnya dijadikan ukuran utama. Demikian pula dengan yang akan diterapkan pada wartawan dalam mengukur kompetensinya kelak. Meski persyaratan administratif penting, yang lebih penting adalah penilaian terhadap hasil kerja serta penilaian  berbagai komponen masyarakat yang kompeten terhadap kinerja wartawan yang dinilai itu.

Bukankah kita masih ingat kata Ki Hajar Dewantara bahwa salah satu ukuran profesionalisme adalah tanggung jawab terhadap hasil kerjanya. Dan untuk menilai hal tersebut, masyarakat merupakan penilai yang paling kompeten.
Ke depan, sesuai dengan era kebebasan pers, wartawan jelas memiliki tugas mulia memediasi (menjadi mata dan telinga masyarakat) , mengadvokasi (membela kepentingan masyarakat dari sesuatu yang merugikan), serta mendidik melalui penyajian berbagai informasi yang informatif sekaligus objektif.

Mengingat berat serta mulianya tugas tersebut, maka setidaknya Westersthall dan McQuail memberi rambu terhadap pemberitaan yang objektif, yaitu selama didukung fakta, relevan dengan kepentingan masyarakat, netral, berimbang, dan membela kepentingan orang banyak.

Ini setidaknya menjadi indikator profesionalitas wartawan, terutama bila kita kaitkan dengan kaum konstruktivis seperti Berger, Reese, Schoemaker dan kawan-kawan yang selalu menganggap sulit meyajikan berita objektif karena akan selalu dipengaruhi oleh framing pekerja media, rutinitas media, organisasi media, ekstramedia, dan ideologi media.

Namun dengan niatan mulia, apalagi bila nantinya ukuran KW berkorelasi positif terhadap kualitas kinerja sekaligus profesionalitasnya maka niscaya berbagai informasi yang objektif, lengkap, komprehensif, sekaligus mendidik akan masyarakat nikmati.

Dengan demikian berbagai keluhan  terkait kencenderungan pers yang dinilai menjalankan kebebasannya secara kebablasan dengan menyajikan berbagai informasi yang provokatif, melakukan trial by the press, terlebih dengan berkeliarannya oknum yang mengaku wartawan dengan berbagai kekacauan yang mereka perbuat, tidak akan terdengar lagi.

Karena itu, diharapkan ke depan hasil akhir yang manis dari disahkan serta diberlakukannya SKW adalah  tersajinya berbagai informasi yang informatif, edukatif, dan komprehensif, sehingga cukup fungsional mendorong terciptanya iklim kebebasan pers yang bertanggung jawab. (10)

— Drs Gunawan Witjaksana MSi, dosen STIK dan Jurusan Ilmu Komunikasi USM
Wacana Suara Merdeka 5 Februari 2010