04 Februari 2010

» Home » Jawa Pos » Drama Century Membosankan

Drama Century Membosankan

KASUS Bank Century telah menggelinding begitu jauh, bahkan mungkin tak diperkirakan. Kasus Bank Century yang kini ditangani Pansus DPR dirasakan semakin berlarut-larut.

Perdebatan demi perdebatan digelar dan disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi. Hampir semua yang diduga bersangkutan dan atau yang memahami kasus ini dipanggil dan diperiksa. Itu semua disaksikan rakyat dengan tanpa hambatan.

Namun, dibukanya kasus ini secara luas ternyata tidak menjadikan usaha mengusut kasus ini menjadi lancar. Perdebatan demi perdebatan yang digelar semakin lama semakin membosankan. Terdapat banyak ketidakjelasan dan kesimpangsiuran tentang ke mana larinya, untuk apa dan siapa dana Bank Century tersebut.

Pansus DPR pun menjadi ujung tombak harapan rakyat agar kasus ini bisa dibuka secara jelas dan terang untuk mengetahui siapa saja yang terlibat. Namun, bukan keterbukaan kasus yang semakin terang. Justru semua hal semakin ruwet dan membingungkan. Yang transparan hanyalah tayangan sidang dan perdebatan-perdebatannya. Siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab atas kasus ini masih begitu gelap.

Publik sebenarnya berharap agar kasus ini dijelaskan secara transparan ke hadapan publik, ke mana larinya aliran dana Bank Century yang misterius ini. Dengan metode sederhana, publik ingin mengetahui jawaban permasalahan tersebut, dan bukan untuk semata-mata disibukkan dengan perdebatan sistemik atau tidak sistemik, atau tingkah polah memalukan para anggota pansus. Misalnya, adu mulut dan saling mengejek yang tiada gunanya.

Artinya, bila untuk menyelesaikan kasus ini mereka lebih mengandalkan hati nurani, niscaya akan mudah ditemukan solusi atas benang kusutnya. DPR hanya perlu menjelaskan apakah aliran dana itu sebenarnya digunakan untuk hal-hal yang tepat sasaran atau tidak.

Dengan menunjukkan aliran dana tersebut jatuh kepada siapa saja sebenarnya masalah ini mulai terkuak dan berhasil membuka siapa saja yang berbohong dan siapa yang jujur.

Namun, sering terlihat bahwa pansus cenderung bekerja tidak efektif. Mereka justru terkesan asyik menikmati "show" di mata publik. Akibatnya, pekerjaan cenderung kurang fokus. Selain itu, adanya dugaan dalam tubuh pansus yang penuh dengan permainan "politik transaksional", sesuatu yang belum bisa dienyahkan dari khasanah politik kita.

***

Dalam konteks lebih jauh, hal-hal demikian sering menjadi penyebab tidak tumbuhnya etika dan keadaban politik yang sehat dan bermoral. Fungsi anggota dewan kerap tidak berjalan karena mereka kehilangan independensi dalam pengambilan sikap.

Anggota parlemen bekerja berdasarkan tren politik. Parlemen akhirnya dianggap tidak mampu berperan sebagai penyeimbang kekuasan. Dalam hal ini timbul ketidakmampuan anggota parlemen untuk menghayati tugasnya sebagai wakil rakyat. Padahal, sebagai wakil rakyat seharusnya mereka mengutamakan rakyat (bukan partai, apalagi penguasa). Tugasnya adalah menjaga jalannya pemerintahan ini agar bersih dari unsur KKN.

Realitasnya, anggota parlemen kerap mengabaikan keutamaan ini. Akibatnya, fokus kerja untuk apa dan siapa menjadi tidak jelas. Itu yang terjadi secara umum sepanjang masa reformasi ini. Tidak semuanya demikian, tapi yang tercitra di mata publik, anggota parlemen lebih sebagai seorang politisi yang kerap memainkan perkara hingga tidak jelas ujung pangkalnya.

Haruslah diingatkan secara terus-menerus bahwa hakikat politik yang beretika bukanlah "saya memberikan apa dan saya akan dapat apa". Politik memang soal kekuasaan, tapi secara hakiki kekuasaan itu seharusnya dikembalikan kemanfaatannya untuk rakyat. Pertanyaannya, sudahkah kekuasaan yang ada bermanfaat buat rakyat? Alih-alih bermanfaat, justru kekuasaan sering menjadi penghalang tumbuh kembangnya kehidupan rakyat itu sendiri. Disadari atau tidak, rakyat semakin lama semakin membenci kekuasaan yang tidak memegang teguh etika dan moralitas.

Kasak-kusuk yang terjadi pun menerpa efektivitas kinerja anggota pansus yang menangani kasus yang bernuansa politis ini. Rakyat bertanya mengapa begitu lama kesimpulan tentang kasus ini. Apakah karena anggota parlemen mengikuti irama genderang elite lain yang lebih tinggi kekuasaannya atau seperti argumen yang selama ini terdengar mengenai "politik transaksional". Semua itu seharusnya cepat dijawab dalam tindakan nyata untuk memutuskan siapa seharusnya yang paling bertanggung jawab dalam kasus raibnya Bank Century, serta apa sanksinya.

Sudah saatnya anggota pansus mengembalikan wajah parlemen yang buruk rupa menjadi dipercaya rakyat atas kinerjanya yang memuaskan. Potensi untuk mengembalikan keadaban publik ini masih terbuka lebar bila politik lebih mempertimbangkan kebenaran perkara, bukan soal kalah atau menang.

Pansus memiliki momentum untuk kembali mengangkat kepercayaan rakyat atas kinerja parlemen selama ini dengan menegakkan keadilan seadil-adilnya dan membuka kasus sejelas-jelasnya. Demokrasi substansial dan beretika memiliki momentumnya untuk kembali ditegakkan.

Namun, bila pemandangan seperti di awal tulisan ini yang kerap mengemuka, kita khawatir hanya terjebak pada demokrasi formalistik. Kita akan makin menjauhi demokrasi substansial dengan hanya menyodorkan demokrasi simbolistik. Perasaan rakyat semakin hari semakin dihancurkan oleh berbagai pola perilaku yang menusuk-nusuk kalbu rakyat.

Negeri ini hampir kehilangan suara hati. Sebab, politik masyarakat telah dihancurleburkan oleh realitas politik yang penuh kompromi dan kepentingan sesaat. (*)

*). BENNY SUSETYO, sektaris Dewan Nasional Setara, pemerhati sosial politik.
Opini Jawa Pos 5 November 2010