04 Februari 2010

» Home » Okezone » Menjernihkan Wacana Pemakzulan

Menjernihkan Wacana Pemakzulan

Menjelang akhir masa kerja Panitia Khusus Angket Century, berkembang wacana pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden (Wapres).

Wacana yang semula diusung sebagian pengunjuk rasa ini bergulir menjadi isu politik yang panas dan bahkan cenderung “liar”. Benarkah ada peluang pemakzulan? Jika merujuk pada UUD 1945, presiden dan/atau wapres dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Namun Pasal 7A yang merupakan hasil perubahan ketiga konstitusi tersebut mengamanatkan bahwa pemberhentian dimungkinkan “apabila (presiden dan/atau wapres) terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wapres”.

Sebelum DPR mengajukan usul pemberhentian presiden dan/ atau wapres ke MPR, Pasal 7B ayat (1) mensyaratkan DPR mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan apakah presiden dan/atau wapres melakukan pelanggaran hukum sesuai bunyi Pasal 7A. Sementara itu, Pasal 7B ayat (3) berbunyi: pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

Tidak Mudah

Proses politik di atas baru pada tingkat DPR. Apabila MK menyatakan bahwa presiden dan atau wapres terbukti melanggar Pasal 7A, persyaratan pada tingkat MPR lebih sulit lagi karena diperlukan kehadiran anggota majelis (anggota DPR plus anggota DPD) dengan kuorum keputusan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Lalu, apakah ada pintu bagi DPR mendakwa Presiden dan/atau Wapres serta sejauh mana konstelasi politik mutakhir memungkinkan pemakzulan? Persyaratan pelanggaran hukum yang diamanatkan Pasal 7A konstitusi bukanlah soal mudah.

Artinya, DPR harus memiliki bukti kuat untuk meyakinkan MK bahwa Presiden dan/atau Wapres melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Juga apakah Susilo Bambang Yudhoyono dan/atau Boediono tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wapres.

Apabila yang menjadi dasar bagi DPR adalah skandal penalangan Bank Century, hingga kini belum ada indikasi yang jelas bahwa temuan Pansus dapat menjadi ”kartu truf” bagi Dewan untuk mengajukan usulan pemakzulan Presiden dan/atau Wapres kepada MPR. Itu berarti relatif kecil peluang bagi DPR untuk menjadikan skandal Century sebagai pintu masuk pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wapres.

Konstelasi Politik

Di luar soal pemenuhan persyaratan yang diminta konstitusi, dapat dikatakan hampir tidak ada peluang pemakzulan jika didasarkan pada konstelasi politik DPR. Seperti diketahui, tiga perempat kekuatan DPR adalah koalisi politik pendukung Presiden SBY. Meskipun perdebatan di Pansus Century cukup panas terkait tanggung jawab Boediono ketika menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia sekaligus Wakil Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga kini belum ada indikasi bahwa parpol koalisi memiliki agenda pemakzulan.

Kalau Pansus Century menyimpulkan ada indikasi pelanggaran hukum atas keputusan KSSK ataupun BI pada akhir 2008, belum tentu bisa dikategorikan sebagai ”pelanggaran hukum” yang dimaksud oleh Pasal 7A konstitusi. Jikapun Pansus menyimpulkan ada pelanggaran hukum, belum tentu DPR memutuskan demikian. Wajah ”asli” parpol koalisi yang tengah menikmati kekuasaan bakal menjadi kendala besar bergulirnya pemakzulan. Itu berarti dari segi konstelasi politik, hampir tidak ada peluang munculnya pemakzulan terhadap Presiden SBY ataupun Wapres Boediono.

Karena itu, agak mengherankan dalam konstelasi politik demikian Presiden SBY acap mudah mengeluh, ”panik”, dan tidak percaya diri seperti ditunjukkan melalui Pertemuan Bogor. Padahal, jelas, jika tidak ada pelanggaran hukum yang diklasifikasikan Pasal 7A, konstitusi kita mengawal Presiden dan Wapres hingga akhir masa jabatannya.

Presiden Ambil Alih

Pemakzulan atas presiden dan/atau wapres adalah pilihan paling pahit bagi sebuah negara dalam skema presidensialisme. Hal itu dialami bangsa kita ketika MPR memakzulkan almarhum Abdurrahman Wahid pada 2001. Karena itu ia harus dihindari apabila tidak ada dalil konstitusional yang meniscayakannya.

Terlalu besar risiko dan biaya politik yang harus ditanggung negeri ini apabila pemakzulan lebih didasari ”dendam politik” partisan ketimbang dalildalil konstitusi yang telah disepakati bersama. Pilihan terbaik bagi Presiden SBY saat ini adalah mengambil alih tanggung jawab atas dugaan kesalahan yang dilakukan Boediono dan Sri Mulyani dalam menangani kasus Century.

Pengambilalihan tentu tidak dimaksudkan sebagai ”transfer” kesalahan dari Boediono-Sri Mulyani ke SBY. Sebaliknya, pengambilalihan justru diperlukan untuk menyelamatkan demokrasi berbasis konstitusi yang menjadi pilihan bangsa kita. Pada saat yang sama, Presiden harus pula mendorong penyelesaian hukum oleh KPK jika ada indikasi tindak pidana di balik aliran dana talangan Bank Century. Sebagian elemen masyarakat sipil mungkin kecewa.

Namun itulah risiko pilihan atas demokrasi presidensial. Sambil terus mengingatkan Presiden atas akumulasi ”salah-urus” negara yang dilakukannya, kita harus bersabar untuk menggenapkan usia pemerintahan hingga lima tahun ke depan. Kesalahan kebijakan bisa saja ”diadili”, tetapi mungkin pemakzulan bukanlah pilihan cerdas untuk itu.(*)

Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI

Opini Okezone 5 Februari 2010