DI MAGETAN, Jawa Timur, tepatnya di Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) Pusat Takeran, Mendiknas Mohammad Nuh menyatakan bahwa berdasar evaluasi yang dilaksanakan terhadap berbagai sistem evaluasi yang pernah dilaksanakan di Indonesia semenjak 1972, maka ujian nasional (unas) merupakan metode yang paling baik sebagai standardisasi kelulusan siswa sekolah.
Selanjutnya Mendiknas menyatakan, atas hasil evaluasi itulah, pemerintah bertekad (setidak-tidaknya) tahun ini akan tetap menjalankan unas di sekolah. Apalagi, persiapan untuk menjalankan unas sudah dilakukan jauh hari sebelumnya, seperti pembuatan aturan main, pembuatan soal, penggandaan soal, dan distribusi soal. Bahkan, sistem sosialisasi akan dijalankannya unas pun sudah dilakukan.
Persoalan unas muncul kembali setelah keluarnya putusan MA yang tidak "merekomendasi" dijalankannya unas di Indonesia. Silang pendapat tentang unas pun kembali meramaikan dunia pendidikan nasional sampai akhirnya Presiden SBY merasa perlu turun tangan.
Resistensi Masyarakat
Bahwa unas diyakini sebagai metode yang paling baik sebagai standardisasi kelulusan siswa sekolah, itu barangkali benar. Meski demikian, kalau pemerintah ingin tetap menjalankan unas, sebaiknya dilakukan dengan bijaksana. Realitas menunjukkan, sejak dijalankannya unas yang pertama sampai sekarang, adanya resistensi sebagian anggota masyarakat ternyata tidak dapat dihindari.
Kalau mau jujur, sampai sekarang pun banyak praktisi pendidikan yang belum dapat menerima dengan tulus atas dijalankannya unas dengan berbagai alasan; baik alasan akademis, alasan politis, alasan sosial, maupun alasan lainnya.
Kalau dianalisis secara kritis, resistensi sebagian anggota masyarakat terhadap unas tersebut disebabkan dua hal. Pertama, terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan. Kedua, rendahnya kesiapan civitas sekolah dalam menjalankan unas.
Soal kecurangan dalam pelaksanaan unas kiranya sudah menjadi rahasia umum. Siswa yang ujian berbekal catatan gelap alias ''kerpekan" dan/atau membawa handphone untuk berkomunikasi dengan dunia ''luar" secara ilegal selama ujian berlangsung adalah contoh konkretnya. Dengan cara seperti ini, hasil unas yang diperoleh sama sekali tidak mencerminkan kemampuan siswa (lulusan) yang sesungguhnya; selain memunculkan ketidakadilan karena siswa yang tidak curang alias jujur justru berpotensi memperoleh hasil yang rendah jika dibandingkan dengan siswa yang curang.
Itu sekadar contoh kecurangan unas yang bersifat ''insidental"; namun di luar itu, ada kecurangan yang bersifat sistematis dan dampaknya jauh lebih mengerikan.
Tim Sukses merupakan contohnya! Untuk ''menyukseskan" unas, maka dibentuk Tim Sukses di sekolah yang anggotanya terdiri atas beberapa guru pilihan. Cara kerja tim ini sangat bervariasi, salah satunya mengerjakan soal unas dan jawabnya didistribusikan secara ilegal ke peserta dengan pengaturan yang rapi. Karena yang mengerjakan unas para guru pilihan dan peserta tinggal ''mengopi", maka hampir dipastikan mereka akan lulus unas; termasuk siswa yang kemampuan akademisnya rendah.
Ibarat barang, bau tim teknis itu mudah dicium, tetapi bendanya sulit dipegang. Kecurangan tersebut sangat sistematis sehingga meski dalam jangka pendek kelihatannya menguntungkan siswa -karena mempertinggi kemungkinan lulus sekolah- dalam jangka panjang merugikan bangsa, terutama alumni sekolah yang didongkrak Tim Sukses tersebut.
Harus Bijaksana
Faktor kedua terjadinya resistensi masyarakat adalah rendahnya kesiapan civitas sekolah pada umumnya. Meski kriteria kelulusan unas itu relatif rendah -nilai rata-rata 5,50- banyak siswa yang merasa tidak sanggup meraihnya. Akibatnya, banyak siswa stres, guru stres, kepala sekolah stres, bahkan orang tua pun ikut stres.
Akumulasi stres itulah yang kemudian memunculkan kecurangan baik "insidental" maupun sistematis. Logikanya, daripada jujur tetapi tidak lulus, mendingan curang tetapi lulus, toh kecurangan tersebut dimaklumi banyak orang juga.
Rendahnya kesiapan sekolah dalam menjalankan unas disebabkan banyak faktor, seperti, guru yang tidak profesional, sarana pendidikan yang tidak standar, fasilitas belajar yang minim, dsb, yang itu semua kembali kepada tanggung jawab pemerintah. Seandainya pemerintah sanggup menyediakan guru yang profesional, sarana pendidikan yang standar, fasilitas belajar yang optimal, dsb, sudah tentu kesiapan civitas sekolah dalam menjalankan unas akan jauh lebih tinggi.
Kita bisa berhipotesis; kalau kecurangan dalam pelaksanaan unas dapat dihindarkan di satu sisi dan kesiapan civitas sekolah dapat ditingkatkan di sisi lain, maka resistensi masyarakat terhadap unas tentu bisa kita eliminasi, setidak-tidaknya kita minimalisasi.
Jadi, kalau pemerintah bertekad menjalankan unas, maka harus dilakukan secara bijaksana. Caranya, dengan menekan seminimal-minimalnya kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan sambil meningkatkan profesionalisme guru, menstandarkan sarana pendidikan, dan mengoptimalkan fasilitas belajar agar kesiapan civitas sekolah dalam menjalankan unas dapat ditingkatkan.
Tanpa kebijaksanaan seperti itu, dijalankannya unas di sekolah akan terus memunculkan resistensi yang tidak berkesudahan. (*)
*). Prof Dr Ki Supriyoko SDU, MPd, direktur Pascasarjana Universitas Tamansiswa Yogyakarta serta mantan sekretaris Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan Indonesia
Opini Jawa Pos 15 Januari 2010
15 Januari 2010
Menutup Lubang-Lubang Unas
Thank You!