Oleh : Ina Mirawati
(Pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia)
Tulisan ini sebenarnya hanya merupakan retropeksi dari berbagai gerakan mahasiswa pada masa Orde Baru, khususnya Peristiwa Malari tahun 1974. Pringgodigdo (1977) mengatakan, pengawasan demokrasi dilakukan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan dan untuk kepentingan rakyat.
Dalam bukunya Menyulut Lahan Kering Perlawanan , FX Rudy Gunawan (2009) mengutip ungkapan Mao Tze Tung, ''Bakarlah rumput dari yang paling kering.'' Menurutnya, rumput kering yang kerap menyala pada masa Orde Baru adalah gerakan mahasiswa melawan otoriterianisme dan kapitalisme yang tidak hanya melahirkan penindasan dan kemiskinan, tapi juga menciptakan lawan-lawannya. Makin luas penindasan, makin luas pula perlawanan. Ibarat api dilahan kering, ia membakar ke mana-mana.
Gebrakan gerakan mahasiswa yang berakhir dengan kerusuhan paling mengerikan pada masa Orde Baru terjadi ketika para mahasiswa pada bulan Mei 1998 berhasil menggulingkan Orde Baru pimpinan presiden Soeharto. Pada Peristiwa Mei 1998 itu, ribuan mahasiswa menuntut reformasi dan dihapuskannya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dengan menduduki gedung DPR/MPR.
Malari 1974
Setiap pergerakan mahasiswa mempunyai nilai dan karakter yang dinamis. Berbeda dengan gerakan mahasiswa tahun 1998, tahun 1974 konsep politik mahasiswa berubah haluan pada konsep Moral Force . Artinya, mahasiswa hanya akan menjadi aktor politik ketika situasi bangsa sedang kritis, lepas kekritisan back to campuss .
Kritikan yang dilayangkan oleh mahasiswa hanya sebatas permasalahan dan mereka tidak mengumpulkan massa yang besar. Mahasiswa menjadi semakin responsif ketika melihat adanya kesenjangan sosial di kalangan masyarakat yang sangat jauh, apalagi ketika TMII dibangun dengan biaya sangat besar dengan menggusur rumah tinggal rakyat.
Mereka juga menilai hal itu sebagai bentuk pemborosan dana negara. Mahasiswa juga kecewa dengan ketidakjujuran pemilu pertama pada masa Orde Baru 1972. Mereka juga berteriak karena adanya isu-isu korupsi di kalangan pejabat. Mahasiswa melihat peranan Jepang sangat menonjol karena investasi mereka meningkat pada industri pabrik di Jawa. Ini menghambat pertumbuhan pengusaha pribumi (Ricklefs: 2004). Kegusaran mahasiswa mencapai puncaknya ketika PM Jepang Kakuei Tanaka datang ke Indonesia.
Mereka membakar 800 mobil bikinan Jepang dan 100 gedung serta merampok banyak toko yang menjual produk-produk Jepang. Mahasiswa menuntut perubahan strategi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang dijalankan Orde Baru. Tujuan sebenarnya dari gerakan mahasiswa tersebut adalah membuat perubahan, bukan menjatuhkan penguasa.
Perspektif arsip
Semua kejadian mengenai Peristiwa Malari 1974 dituangkan dalam sebuah laporan, tulisan, atau kritikan. itu semua tersimpan dalam sebuah dokumen yang bernilai sejarah tinggi di Arsip Nasional Republik Indonesia. Liv Maykland pada Kongres ICA di Montreal, Canada, tahun 1992 menyatakan bahwa a world without archives would be a world with no memory, no culture, no legal rights, no understanding of the roots of history and science, and no identity .
Beberapa laporan yang menggambarkan Peristiwa Malari dapat diketahui dari khazanah arsip, di antaranya pernyataan Soeharto dalam upacara pengambilan sumpah ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung serta melantik menteri kehakiman dan menteri pendidikan dan kebudayaan pada 22 Januari 1974 di Istana Merdeka. Soeharto menilai, peristiwa tersebut disebabkan oleh penggunaan kebebasan yang tidak berhati-hati dalam demokrasi.
Demokrasi menjadi tidak terkendali. Secara langsung atau tidak langsung, demokrasi telah merangsang atau membuka peluang bagi timbulnya kerusuhan-kerusuhan, seperti perusakan-perusakan dan pembakaran-pembakaran yang jelas merugikan rakyat.
Hasil wawancara dengan Mayjen Ali Moertopo, deputi III Bakin, pada 21 Januari 1974 menyimpulkan bahwa Malari adalah subversi dan menjurus pada makar karena ada kehendak mengubah UUD 1945 dan menggulingkan pimpinan nasional yang sah. Demikian juga pernyataan menhankam/pangab Jenderal Panggabean dalam jumpa pers bersama menteri luar negeri dan menteri penerangan di Departemen Penerangan pada 13 Februari 1974.
Dia menegaskan adanya ancaman yang sudah jelas serta ingin menumbangkan pemerintah dan presiden dengan cara-cara anarki dan inkonstitusional. Mereka disinyalir menggunakan teori-teori yang dimulai dengan hal-hal yang menyangkut strategi pembangunan, masalah bantuan luar negeri, kepincangan-kepincangan dalam masyarakat ataupun pemerintahan, penanaman modal asing, serta utang-utang pemerintah sekarang, kemudian sampai pada organ-organ pemerintah seperti Kopkamtib dan akhirnya menjurus pada kepala negara sendiri.
Berdasarkan semua data yang diperoleh dari arsip, dinyatakan bahwa gerakan mahasiswa selalu ditunggangi oleh unsur-unsur tertentu yang sengaja mengail di air keruh hingga menciptakan kerusuhan. Dengan demikian, hal ini bisa dijadikan cerminan bahwa jika mahasiswa melakukan demonstrasi, mereka harus benar-benar melakukan demonstrasi berdasarkan tuntutan yang berangkat dari kepentingan masyarakat.
Untuk itu, mereka harus menjaga agar pergerakan mahasiswa itu tidak ditunggangi atau diprovokasi, terutama dalam iklim demokrasi yang semakin terbuka. Dengan data-data dari arsip, kita dapat menelaah dan mempelajari sehingga menjadi lebih bijak dalam menangani setiap kejadian agar tidak terulang lagi. Masa lalu memang tidak bisa dilupakan, apalagi jika itu merupakan sejarah.
Opini Republika 16 Januari 2010
15 Januari 2010
Retropeksi Malari 1974
Thank You!