Oleh Rochadi Tawaf
Tahun 2010 ini, ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) mulai diberlakukan, pemerintah sangat optimistis pada perdagangan bebas ini karena perekonomian Indonesia diprediksi akan tumbuh positif. Optimisme pemerintah terhadap ACFTA ternyata berbeda dengan para pelaku bisnis yang justru sangat pesimistis. Para pengusaha sangat yakin produk nasional akan kalah bersaing oleh produk asal Cina yang sangat kompetitif. Kemampuan menghasilkan produk yang kompetitif, tiada lain dari peran pemerintah yang sungguh-sungguh berpihak kepada usaha rakyat dalam menginovasi teknologi.
Salah satu komoditas peternakan yang diandalkan dapat tumbuh dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi adalah bidang persusuan. Di Indonesia, industri ini mulai tumbuh dan berkembang di era 1970-1980-an.
Pembangunan industri persusuan terjadi secara besar-besaran di kota yang memiliki pelabuhan laut internasional. Hal ini dilakukan karena bahan bakunya sebagian besar berasal dari impor. Bersamaan dengan membangun industri pengolah susu, dilakukan pula importasi sapi hidup dari Australia dan New Zealand secara besar-besaran pada akhir 1979 sampai dengan 1980-an.
Kini, setelah berjalan lebih dari dua puluh tahun, keadaan peternakan sapi perah di Indonesia seperti jalan di tempat bahkan cenderung menurun karena rasio produksi susu dalam negeri dengan impor pada 1990-an berkisar 50:50 dan saat ini kontribusinya berkisar di 30:70. Rata-rata produksi per ekor per hari hanya 10-12 liter, skala usaha per keluarga peternak relatif tetap sekitar 3-4 ekor. Jika kita dihadapkan pada situasi tersebut rasa-rasanya ACFTA akan merupakan tantangan berat bagi peternak di negeri ini. Atas dasar itu, agar kita dapat bersaing dengan produk yang berasal dari Cina, kita harus tahu apa yang telah dan tengah dilakukan oleh industri peternakan di sana. Berdasarkan pengalaman penulis mengunjungi beberapa provinsi di Cina, kiranya ada yang patut dijadikan teladan.
Tumbuh pesat
Dalam sepuluh tahun terakhir, industri persusuan di Cina telah tumbuh dan berkembang sangat pesat ketimbang negara-negara lainnya di dunia, dengan rata-rata tumbuh 10-25 persen per tahun (lihat tabel). Kini, Cina telah menjadi 10 besar negara penghasil susu di dunia. Pertumbuhan tersebut terjadi sebagai akibat dari investasi dan inovasi teknologi yang dilakukan secara besar-besaran. Konsep kawasan sebagai "pusat pengembangan sapi perah di perdesaan" atau Village Milking Centre (VMC) merupakan basis pengembangan kawasan peternakan sapi perah. Ribuan VMC telah beroperasi dengan skala usaha antara 50-2.000 sapi laktasi didukung oleh infrastruktur dan teknologi yang kondusif.
Di sektor pasar, pemerintah Cina melakukan program minum susu bagi anak sekolah yang pembiayaannya ditanggung pemerintah. Semuanya merupakan inisiasi pemerintah yang telah memberikan iklim kondusif bagi usaha ternak sapi perah rakyat di Cina.
Beberapa kebijakan pemerintah Cina yang telah diberikan kepada peternakan rakyat agar industri persusuannya dapat tumbuh dan berkembang, yaitu program pemberian Bantuan Langsung Tunai kepada peternak yang mau menerapkan program embryo transfer (ET). Peternak yang mengikuti program ET diberikan bantuan sekitar 500 RMB (Rp 675.000) dan 1.500 RMB (Rp 2.025.000) jika ternak tersebut terus diusahakan sampai berproduksi.
Selain itu, fasilitas kredit peternak disubsidi bunganya oleh pemerintah dan peternak mendapatkan bunga 0 persen, fasilitas lahan tanpa sewa diberikan untuk lima puluh tahun dan lahan tersebut bisa dimiliki jika peternak berhasil mengembangkan usahanya. Investasi kandang pun disubsidi sekitar 30-50 persen, infrastruktur pendukung lainnya berupa jalan dan sistem komunikasi di perdesaan sama dengan di perkotaan. Dampak kebijakan tersebut telah mampu menumbuhkembangkan industri peternakan sapi perah di perdesaan. Peningkatan produksi susu rakyat dari 3.000 kg/laktasi meningkat menjadi 4.000 kg/laktasi, bagi perusahaan dari 6.000 kg/laktasi menjadi 8.000 kg/laktasi hanya dalam kurun waktu antara 5-10 tahun. Dengan demikian, harga produksinya memiliki daya saing (kompetitif) karena sebagian besar beban produksinya sangat rendah.
Bagaimana di Indonesia?
Kita tahu bahwa beban pajak (PBB) bagi lahan pertanian tidak mendapatkan insentif. Katakanlah lahan yang tidak diusahakan malah mendapatkan keringanan PBB dibandingkan dengan lahan yang diusahakan. RUU tentang lahan abadi pun masih diperuntukkan bagi pertanian padi. Fasilitas kredit yang ada seperti KUPS (kredit usaha perbibitan sapi) yang bunganya disubsidi lima persen ternyata masih sangat sulit diakses. Inovasi teknologi boleh juga dikatakan menjadi kendala. Contoh kasus penggunaan hormon pertumbuhan (HGP) yang dilarang di negeri ini, sementara kita mengimpor susu dari negara yang menggunakan HGP. Bagaimana produksi susu di negeri ini mau tumbuh dan berkembang sementara banyak kebijakannya yang kontraproduktif. Semua hal tersebut telah menciptakan produk hasil usahanya menjadi tidak memiliki daya saing (kompetitif).
Agar peternak sapi perah di dalam negeri dapat bersaing, kiranya pemerintah harus mampu memberikan perlakuan yang sama seperti yang diberikan oleh negara lain terhadap peternaknya. Sepanjang hal tersebut tidak dilakukan, rasa-rasanya negeri ini hanya akan menjadi negara pengimpor susu terbesar di kawasan Asia Tenggara. ***
Penulis, dosen Fakultas Peternakan Unpad, Sekjen DPP PPSKI dan Ketua II PB ISPI.
Opini PIkiran Rakyat 16 Januari 2010