Oleh M. Hariman Bahtiar
Memasuki 2010, dunia anak kembali bersedih. Muncul kasus-kasus yang menjadi sorotan publik. Terjadi kasus anak usia sembilan tahun dimutilasi di daerah Cakung, Jakarta. Korban sebelumnya di sodomi oleh pelaku, seorang kakek berusia 55 tahun. Kasus lainnya adalah bayi yang diculik dari salah satu puskesmas di Jakarta. Di Semarang, ada bayi yang hilang dari rumah sakit. Kasus lainnya, empat anak disiram air keras oleh gurunya di Depok, karena dituduh mencuri telefon seluler. Sebelumnya, seorang anak usia empat tahun terjatuh dari lantai empat rumah susun di Jakarta.
Kasus-kasus seperti ini masih terus terjadi. Ini membuktikan bahwa anak di Indonesia masih dalam situasi yang terancam. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari 558 kasus yang diadukan selama 2009, 275 kasus merupakan klaster perlindungan khusus (49,3 persen). Termasuk dalam klaster ini antara lain anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), anak dari kalangan minoritas dan terisolisasi, anak korban eksploitasi, korban trafficking, penyandang cacat, anak korban kekerasan, anak korban Napza, serta korban diskriminasi. Kasus anak korban kekerasan menempati persentase terbanyak (74,18 persen).
Berdasarkan data itu, dari sisi jumlah anak yang menjadi korban juga terdapat dalam klaster yang lain. Misalnya dari klaster lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (35,31 persen), klaster pendidikan, waktu luang, dan kegiatan budaya (9,6 persen), klaster hak sipil dan kebebasan (7,85 persen), serta klaster kesehatan dan kesejahteraan dasar (1,5 persen). Jumlah anak yang menjadi korban dalam klaster perlindungan khusus, tetap menduduki peringkat pertama (45,7 persen).
Kasus-kasus itu menunjukkan bahwa masalah anak tetap saja menjadi problematika yang serius. Sayangnya, terkadang yang terlihat di lapangan, komitmen semua pihak belum memadai. Kita memang memberi apresiasi dengan penambahan perlindungan anak dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan, sehingga menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun, komitmen politik ini harus di lanjutkan pada aksi-aksi nyata. Program-program peduli anak harus dirancang secara terintegrasi.
Ancaman hukuman
Amanat UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah cukup jelas. Seseorang yang melakukan kekerasan hingga anak meninggal dunia, dapat dikenai hukuman penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta (pasal 80 ayat 3). Dalam tindak kekerasan dengan memaksa anak melakukan persetubuhan dengan pelaku, diancam hukuman pidana paling lama lima belas tahun, dan denda paling banyak Rp 300 juta (Pasal 81).
Pada kasus-kasus penculikan bayi, banyak pihak yang mengaitkan dengan adanya sindikat perdagangan orang. Mafia ini selain bergerak di dalam negeri juga menjadi bagian dari sindikat internasional. Termasuk dalam mafia ini adalah kasus perdagangan organ tubuh manusia, eksploitasi ekonomi/seksual, dan lain-lain. Dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 2 tiap orang yang terlibat dalam sindikat penculikan, dapat dikenai hukuman penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.
Ancaman hukuman yang berat itu, menunjukkan komitmen undang-undang dalam memberi perlindungan bagi anak. Oleh karena itu, kita berharap aparat penegak hukum benar-benar mengacu kepada ketentuan perundang-undangan tadi. Hukuman yang berat akan dapat memberi efek jera bagi pelaku, sekaligus kita berharap kasus kekerasan maupun penculikan anak akan makin menurun.
Siapa peduli?
Fakta-fakta tersebut tentu memprihatinkan. Kita menginginkan semua pihak dapat berperan aktif mengatasi masalah ini. Yang terpenting adalah tumbuhnya kepedulian bersama terhadap kepentingan terbaik bagi anak. Makin banyak pihak yang peduli terhadap anak, jelas akan memberi kontribusi bagi masa depan anak. Hal ini dilandasi oleh fakta bahwa masalah anak tetaplah problematika yang kompleks dan akan terus terjadi.
Jangan lagi ada pandangan yang melihat masalah anak adalah isu yang sepele. Kita menginginkan ke depan, nasib anak harus menjadi prioritas pembangunan bangsa. Kita menyoroti sejauhmana implementasi pengarusutamaan hak anak, telah berjalan dalam setiap kegiatan pembangunan. Begitu pun tentang Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015, sejauh mana tingkat kemajuannya dalam mendorong peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak.***
Penulis, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Kota Bandung, sedang menjalani studi Pascasarjana Ketahanan Nasional UI dan aktif dalam kegiatan KPAI Pusat.
Opini Pikiran Rakyat 16 Januari 2010