15 Januari 2010

» Home » Jawa Pos » Babeh, sang Pedofil Sadis

Babeh, sang Pedofil Sadis

Berita menghebohkan kembali terjadi. Baequni alis Babeh, 48, membunuh tujuh anak jalanan -lima orang dimutilasi. Sebelumnya, ketujuh anak tersebut menjadi korban pedofilia. Itu adalah pengulangan kasus serupa, yaitu kekejaman Robot Gedeg yang terjadi sebelumnya.

Tujuh pembunuhan yang dilakukan Babeh itu berpola. Babeh selalu memilih calon korban yang berada di luar anak-anak yang dia pelihara. Dia senang dengan anak-anak yang dia pelihara, kecuali kepada Ardi (korban terakhir). Anak-anak yang dipelihara Babeh tidak pernah disentuh, meskipun Psikolog UI Sarlito Wirawan mengatakan bahwa Babeh termasuk pedofilia atau menyukai anak-anak.

Berdasar hasil pemeriksaan psikologi, Babeh mengidap pedofilia atau tertarik berhubungan seksual dengan anak kecil dan homo seksual. Selain itu, Babeh mengidap nekrofil atau senang berhubungan seksual dengan mayat.

Pedofilia

Pedofilia terdiri atas dua suku kata; pedo (anak) dan filia (cinta). Pedofilia adalah kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan anak di bawah umur. Orang dengan pedofilia umumnya berusia di atas 16 tahun, baik pria maupun wanita. Sedangkan, anak-anak yang menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas).

Dikatakan pedofilia jika seseorang memiliki kecenderungan impuls seks terhadap anak dan fantasi maupun kelainan seks tersebut mengganggu si anak. Sedangkan pedofilis adalah pelakunya.

Secara sekilas, praktik pedofilia di Indonesia dianggap sebagai bentuk perilaku sodomi. Tetapi, kalau dilihat lebih jauh, sangatlah berbeda. Sebab, terkadang penderita pedofilia bukan hanya kaum lelaki, melainkan juga kaum perempuan. Mereka tidak hanya tertarik kepada lawan jenis. Korbannya pun bisa jadi anak laki-laki maupun perempuan.

Penyebab dari pedofilia belum diketahui secara pasti. Namun, pedofilia sering menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama dewasa atau ketakutan menjalin hubungan dengan sesama dewasa. Jadi, bisa dikatakan sebagai suatu kompensasi dari penyaluran nafsu seksual yang tidak dapat disalurkan kepada orang dewasa.

Aktivitas seks yang dilakukan penderita pedofilia sangat bervariasi. Aktivitas tersebut meliputi tindakan menelanjangi anak, memamerkan tubuh kepada anak, melakukan masturbasi dengan anak, dan bersenggama dengan anak.

Pengaruh pada Anak

Anak sebagai korban dalam kasus pedofilia secara jangka pendek dan jangka panjang dapat mengalami gangguan fisik dan mental. Gangguan fisik yang terjadi adalah risiko gangguan kesehatan. Saat berhubungan kelamin pun sering masih belum bersifat sempurna karena organ vital dan perkembangan hormonal pada anak belum sesempurna orang dewasa.

Bila dipaksakan berhubungan suami-istri akan merupakan siksaan yang luar biasa, apalagi sering di bawah paksaan dan ancaman. Belum lagi bahaya penularan penyakit kelamin maupun HIV dan AIDS. Sebab, penderita pe­ofilia kerap disertai ganti-ganti pasangan atau korban.

Perkembangan moral, jiwa, dan mental pada anak korban pedofila terganggu sangat bervariasi. Bergantung pada lama dan berat ringan trauma itu terjadi. Bila kejadian tersebut disertai paksaan dan kekerasan, tingkat trauma yang ditimbulkan lebih berat.

Trauma psikis tersebut hingga usia dewasa akan sulit dihilangkan. Dalam keadaan tertentu yang cukup berat bahkan dapat menimbulkan gangguan kejiwaan dan berbagai kelainan patologis lainnya yang tidak ringan. Seorang korban pedofilia karena trauma psikologis yang sangat berat dapat berpotensi menciptakan seorang pedofilis di kemudian hari. Hal itu terjadi pada kasus Babeh. Ternyata gangguan pedofilia pada dia juga diawali kejadian dirinya menjadi korban pedofilia pada usia remaja.

Dalam keadaan itu, pendekatan terapi sejak dini mungkin harus segera dilakukan. Secara sosial, baik lingkungan keluarga atau lingkungan kehidupan, anak kadang merasa diasingkan dengan anak sebaya dan sepermainan. Beban itu dapat memberat trauma yang sudah ada sebelumnya.

Srigala Berbulu Domba

Biasanya seorang pedofilia adalah seorang singa berbulu domba. Mereka selalu mengelabuhi anak-anak dengan memberikan iming-iming uang, pakaian, makanan, atau mainan secara berlebihan.

Demikian juga, Babeh. Mungkin karena tidak punya anak, dia merawat anak-anak jalanan dengan penuh perhatian. Kebaikan Babeh diketahui warga karena lelaki itu jarang membeli makan jadi. Dia selalu memasak sendiri makanan untuk anak jalanan yang ditampungnya.

Dilihat dari berbagai bentuk karakteristik perbuatan kaum pedofilia, bisa dikatakan bahwa anak-anak dieksploitasi sebagai korban. Apalagi, sebagian pedofilis akan membunuh korban bila merasa rahasianya terancam. Anak-anak sebagai korban mestinya mendapatkan perlindungan dan memperoleh pelayanan khusus, terutama di bidang hukum. Secara juridis, pihak yang dituntut bertanggung jawab adalah eksploitator atau pelaku.

Selama ini undang-undang yang sering digunakan untuk mengadili penjahat itu adalah pasal 292 juncto pasal 64 KUHP tentang pencabulan dengan tuntutan maksimal 5 tahun. Oleh banyak aktivis perlindungan anak, pasal itu sudah tidak relevan untuk memberikan efek jera bagi si pelaku.

Kaum pedofilis harus segera sadar, dengan kenistaan yang hanya memburu kenikmatan sesaat itu ternyata dapat menghancurkan anak seumur hidupnya. Semua lapisan masyarakat, institusi swasta, instasi pemerintah, pemerintah, aktivis, dan pemerhati anak harus bahu-membahu tiada henti, bekerja sama melawan dan melindungi anak Indonesia dari ancaman segala kekerasan, terutama pedofilia.

Orang tua juga harus selalu waspada dan hati-hati terhadap singa berbulu domba seorang pedofilia. Anak jalanan adalah sasaran empuk kaum pedofilia karena mereka tidak ada yang melindungi. Semua pihak atau siapa pun masyarakat yang peduli dengan pengabaian hak anak tersebut harus cepat melakukan aksi nyata melawan pedofilis yang kejam ini. (*)

*). Dr Widodo Judarwanto SpA, dokter di Rumah Sakit Bunda, Jakarta
Opini Jawa Pos 16 Januari 2010