15 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Lafal Baku Bahasa Indonesia

Lafal Baku Bahasa Indonesia

Oleh Ajip Rosidi
Belakangan ini kalau kebetulan terdengar, saya perhatikan lafal percakapan dalam sinetron-sinetron yang disiarkan oleh berbagai saluran televisi, lagamnya berbagai-bagai, tetapi semuanya cenderung mengikuti lagam (lentong) bahasa berbagai daerah. Ada yang medok Jawanya, ada yang keras bentakannya seperti orang Batak, ada yang seperti orang Sunda, dan lain-lain. Jelas bahwa lagam demikian itu disengaja oleh sutradara yang agaknya hendak menggambarkan bahwa lagam bahasa Indonesia itu dalam kenyataannya diucapkan sesuai dengan lidah suku bangsa yang berbagai-bagai itu.

 

Sikap sutradara sinetron demikian itu berlainan sekali dengan nasihat guru-guru dan para ahli bahasa yang pernah saya dengar ialah agar dalam bercakap-cakap bahasa Indonesia harus diusahakan supaya warna daerah asal si pembicara jangan sampai terdengar. Artinya, dalam berbicara bahasa Indonesia, orang Jawa jangan terdengar seperti orang Jawa, orang Bali jangan mengucapkan t tebal seperti biasanya orang Bali, orang Manado jangan terdengar seperti orang Manado, dan seterusnya. Jadi harus bagaimana?
Itulah masalahnya
Sedemikian jauh tidak ada lafal bahasa Indonesia baku yang disepakati semua pihak. Akan tetapi, kalau ada orang Jawa yang berbahasa Indonesia seperti orang Jawa (misalnya waktu Presiden Soeharto yang selalu mengucapkan aken atau mengadaken karena sebagai orang Jawa tampaknya sulit mengucapkan akan dan mengadakan) selalu ditertawakan -- walaupun di belakangnya saja. Kalau orang Batak mengucapkan déngan alih-alih dengan dan bélum alih-alih belum juga ditertawakan dan diejek, meskipun tak mustahil di depan si pembicara sendiri (karena bukan presiden). Begitu juga kalau orang Sunda pada ujung kata dengan bunyi a menyentak seperti ada hamzah (‘) yang sekarang diganti dengan k di ujungnya (seperti orang mengucapkan kata "tidak") sering ditertawakan.
Ada yang berpendapat bahwa lagam bahasa Indonesia yang bagus itu lagam Medan, artinya cara orang-orang Medan bercakap-cakap. Bukankah bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu dan orang-orang Medan kebanyakan bersuku Melayu? Saya sendiri setelah mendengar beberapa kali mereka bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia, lagam orang Cina Kalimantan Barat (Pontianak) adalah yang paling baik buat dijadikan lagam percakapan bahasa Indonesia. Akan tetapi, itu kan pendapat perseorangan yang belum pernah dibahas jangankan disepakati forum yang berwewenang.
Masalah pengucapan dan lagam berbahasa lisan tampaknya bagian ilmu bahasa yang kurang mendapat perhatian para ahli bahasa. Sementara itu, para guru dan para ahli hanya sampai pada pada sikap negasi seperti "jangan seperti orang Jawa", "jangan seperti orang Batak", dan lain-lain, anak-anak muda karena pengaruh siaran televisi (bukan hanya dalam sinetron), seperti bersepakat untuk menggunakan bahasa gaul, ialah bahasa yang dianggapnya (baik untuk) dipergunakan dalam pergaulan sesama anak muda lagi, yaitu bahasa Jakarta yang disebut juga bahasa Betawi.
Memang di mana-mana juga bahasa yang digunakan di ibu kota negara sering besar pengaruhnya terhadap bahasa yang digunakan di seluruh negara. Mungkin karena ada anggapan bahwa apa yang berasal dari ibu kota itu bagus dan oleh karena itu harus ditiru. Akan tetapi, di Inggris, bahasa London tidak leluasa digunakan dalam siaran televisi atau radio, apalagi yang disiarkan secara nasional. BBC misalnya sangat menjaga bahasa yang digunakan dalam siaran-siarannya. Meskipun bertempat di London, bahasa dialek London tidak bisa semena-mena disiarkan melalui saluran radio atau televisinya. Begitu juga yang terjadi dengan radio dan televisi Jepang tidak menyiarkan bahasa dialek Kanto (Tokyo) melalui salurannya. Sedangkan di Indonesia semua saluran televisi sebagian besar acaranya (yang umumnya berupa sinetron) hanya menyiarkan bahasa gaul. Bahasa Indonesia baku seperti yang dengan susah payah diusahakan oleh Pusat Bahasa jarang sekali tampil.
Belakangan ini ada saluran televisi menyiarkan sinetron yang ceritanya terjadi di negara jiran sehingga percakapan tokoh-tokohnya sebagian besar menggunakan bahasa Melayu Malaysia. Kita tidak tahu bagaimana pengaruh siaran sinetron-sinetron itu baik yang percakapannya cenderung disesuaikan dengan asal daerah si tokoh termasuk yang berbahasa secara orang Malaysia terhadap lagam percakapan sehari-hari bahasa Indonesia karena belum diteliti.
Saya sendiri tidak setuju kepada sikap bahwa lafal bahasa Indonesia yang baik itu adalah yang tidak memperlihatkan asal daerah si pembicara. Apa alasannya? Mengapa untuk berbicara bahasa nasional Indonesia orang diharuskan meninggalkan cara dan kebiasaan yang sejak kecil ditanamkan oleh budayanya? Mengapa orang Jawa tak boleh bercakap bahasa Indonesia dengan lagam Jawanya? Orang Batak dengan lagam Bataknya? Orang Sunda dengan lagam Sundanya? Selama hal itu tidak menimbulkan salah mengerti saya anggap tidak ada salahnya. Bahkan, bagus untuk memperlihatkan bahwa banyak cara (lagam) berbahasa Indonesia. Bukankah hal itu sesuai dengan lambang Bhinneka Tunggal Ika?
Para sutradara sinetron yang sekarang cenderung menyuruh pemain-pemainnya berbicara dengan lagam berbagai daerah itu mungkin akibat adanya kecenderungan monolitik itu. Yang harus dijaga jangan sampai jadi permainan sekadar untuk menarik hati penonton belaka. Biarkanlah berbagai lagam berbahasa Indonesia tumbuh dan berkembang secara wajar. Yang tidak boleh itu adalah kalau dipaksakan atau dibuat-buat. ***
Penulis, budayawan.
Opini PikiranRakyat 16 Januari 2010