15 Januari 2010

» Home » Solo Pos » Century, koalisi dan loyalitas menteri

Century, koalisi dan loyalitas menteri

Diakui atau tidak, polemik yang terjadi terkait kasus Bank Century telah menguras energi pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sekarang ini. Apalagi perkembangan kasus tersebut seolah telah menjadi bola liar.

Terbukti, kasus Century tidak hanya “panas” di dalam Panitia Khusus (Pansus) DPR, tapi juga “diramaikan” oleh munculnya buku Membongkar Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro.
Kepercayaan publik bisa merosot, yang pada gilirannya pemerintah berpotensi terdelegitimasi. Kemungkinan terdelegitimasinya kekuasaan pemerintah itu bukan ancaman kosong, mengingat keruwetan kasus Century diduga sejumlah kalangan melibatkan elite-elite dalam kabinet.


Perkembangan situasi yang sulit diduga tentu membuat khawatir penguasa. Meski pemerintahan SBY-Boediono memiliki dukungan legitimasi meyakinkan (memperoleh lebih dari 60% suara dalam Pilpres), dan telah berusaha “mengamankan” kekuasaan di parlemen dengan mengakomodasi dalam kabinet hampir seluruh kekuatan politik yang ada (kecuali PDI-P, Hanura, dan Gerindra), namun toh pemerintahannya tetap digoyang. Termasuk dari kalangan yang tergabung dalam koalisi KIB II.

Mitra koalisi
Pertanyaannya, mengapa koalisi tersebut tidak solid? Ketidaksolidan koalisi pemerintahan menunjukkan bahwa mereka yang terlibat dalam kabinet masih sebatas sebagai personal (individu) elite-elite partai politik, bukan dalam arti koalisi Parpol keseluruhan.
Walaupun beberapa yang terlibat dalam kabinet adalah pucuk pimpinan Parpol (seperti Muhaimin Iskandar dan Suryadharma Ali), tapi untuk mengikat Parpol dalam koalisi yang kuat tidak mudah. Di era sekarang, independensi setiap anggota parlemen sangat tinggi, sementara intervensi Parpol terhadap masing-masing legislator sulit dilakukan.
Partai politik pendukung pemerintah hingga kini juga terlihat belum secara aktif dan tegas “menertibkan” anggotanya yang dipandang mbalela. Untuk menyebut Parpol mitra koalisi tersebut “menikam dari belakang” karena ikut menggerogoti pemerintah, tentu perlu pembuktian lebih mendalam.
Hanya perlu disadari, sesolid apapun koalisi, sesungguhnya tidak berjalan lama. Karena pada dasarnya mereka merupakan lawan politik, yang suka atau tidak suka harus saling bersaing dalam Pemilu mendatang.
Popularitas kasus Century bisa juga menjadi faktor pendorong bagi setiap kekuatan politik di parlemen untuk berlomba-lomba menjadi yang “terkritis” dalam menyikapi kasus ini di mata publik. Walaupun konsekuensinya akan melemahkan koalisi pemerintahan.
Kekurangefektivan koalisi membuka peluang SBY untuk membongkar pasang kabinetnya. Dari perspektif kekuasaan, ketegasan presiden tersebut perlu untuk memberikan shock therapy bagi mitra koalisi.
Namun, untuk benar-benar meninggalkan mitra koalisinya dalam kabinet, Presiden SBY sepertinya harus berpikir ulang. Keberadaan Partai Demokrat di parlemen bukanlah partai mayoritas (hanya sekitar 20%). Kapasitas politisi-politisi Partai Demokrat juga diperkirakan belum memadai dalam menghadapi kekuatan politik lain di parlemen.
Sangat mungkin pemerintahan SBY-Boediono semakin menjadi bulan-bulanan jika mereka menggusur mitra koalisi. Presiden SBY (dan Partai Demokrat) realitanya masih membutuhkan Parpol-parpol pendukung pemerintah.

Loyalitas menteri
Peringatan Presiden SBY mengenai loyalitas para menteri saat pelantikan menteri/pejabat tinggi negara pada bulan Oktober, dan diulangi lagi saat pelantikan wakil menteri pada beberapa hari lalu, secara tidak langsung juga merupakan ajakan kepada mitra koalisi untuk tidak berseberangan jalan.
Apa yang disampaikan Presiden SBY tersebut cukup beralasan melihat kenyataan bahwa komposisi kabinetnya terdiri lebih dari 50% orang partai politik. Atau 20 orang dari 34 jabatan menteri adalah ”wakil” Parpol.
Dampak negatif ”kabinet pelangi” tersebut terjadi manakala menteri sudah tidak dapat lagi mempertahankan profesionalitasnya. Menteri bersangkutan bakal mempunyai peran ganda. Tidak bisa dipungkiri, di saat bersamaan dia memerankan diri sebagai menteri dan pengurus Parpol sekaligus.
Kesibukan di Parpol bakal menyita banyak waktu, terutama saat mendekati pelaksanaan Pemilu/Pilpres. Apabila mereka tidak bisa memfokuskan loyalitasnya maka otomatis akan ada beragam kepentingan pada dirinya.

Perbedaan afiliasi partai politik dalam Pemilu atau tim sukses dalam Pilpres rawan menimbulkan disharmoni di kabinet. Koordinasi antarkementerian bisa macet dan paling parah tidak menutup kemungkinan bisa memunculkan konflik.
SBY diyakini amat menyadari hal itu. Sehingga sebelum para menteri dipilih, mereka diwajibkan menandatangani kontrak dengan tujuan untuk “mengikat” mereka supaya tidak “lepas kendali”.
Jika presiden konsisten dengan harapannya untuk mewujudkan menteri yang loyal, seharusnya SBY tegas melarang menterinya merangkap jabatan di partai politik. Meski tidak ada aturan yang tidak memperbolehkan, idealnya para menteri meninggalkan kepengurusannya di Parpol.
Konsekuensinya, penerapan larangan rangkap jabatan di partai politik sama halnya memutus ”rantai kooptasi” antara pemerintah dengan Parpol. Secara politis, presiden diuntungkan oleh anggota kabinet yang rangkap jabatan di partai politik.
Upaya untuk ”mengkooptasi” Parpol akan lebih mudah dilakukan jika anak buahnya memiliki pengaruh besar di Parpol. Anggota kabinet yang memegang posisi struktural seperti sekarang saja tidak bisa menjamin tidak ada ”pembangkangan” koalisi, apalagi jika para menterinya tidak menduduki posisi penting di Parpol?
Sebagai penutup, berbagai peristiwa politik yang akhir-akhir ini gencar menyeruak ke ranah publik seyogianya disikapi positif. Ada aspek pembelajaran yang strategis dalam mendewasakan kehidupan demokrasi di negara kita.
Bagaimanapun juga, kasus Century harus tuntas dari sisi hukum maupun politik. Telah meluasnya kasus Century menuntut kasus ini tidak boleh berhenti di tengah jalan.
Memang penting presiden menuntut loyalitas para menteri dan kesetiaan mitra koalisinya. Namun hal tersebut seharusnya tidak dimaknai sebagai tiadanya check and balances. Di negara demokratis, kekuasaan harus dapat dikontrol.
Dalam konteks kasus Century, loyalitas para menteri dan kesetiaan mitra koalisi seperti yang diharapkan Presiden, hendaknya tidak menyurutkan siapapun (oposisi atau mitra koalisi) untuk menuntaskan kasus ini. - Oleh : Didik G Suharto Dosen FISIP UNS Solo
Opini Solo Pos 19 Januari 2010