15 Januari 2010

» Home » Republika » Satu Tahun Kekejian di Gaza

Satu Tahun Kekejian di Gaza

Oleh Smith Alhadar
Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies


Pada 28 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009, Zionis Israel melakukan agresi keji ke Gaza yang dikatakan sebagai upaya pertahanan diri dari serangan-serangan roket Harakah Al-Muqawwamah Al-Islam (Gerakan Perlawanan Islam) atau yang lebih dikenal sebagai Hamas ke kota-kota Israel yang dekat dengan perbatasan Gaza. Memang Hamas melakukan serangan roket ke kota-kota di selatan Israel.

Namun, serangan yang hanya menggunakan roket buatan sendiri, yang tidak memiliki dampak destruktif yang signifikan, untuk membalas aksi Israel yang memblokade seluruh Jalur Gaza sejak Januari 2007 atau sesaat setelah Hamas memegang kekuasaan menyusul kemenangan telaknya atas Fatah yang didukung Israel dalam pemilu demokratis di Palestina (Tepi Barat dan Jalur Gaza).

Serangan keji Israel itu sebenarnya lebih bertujuan menghancurkan Hamas, yang tidak mengakui eksistensi Israel dan tetap mempertahankan hak-hak dasar takyat Palestina. Lebih jauh, kaum Zionis hendak mendelegitimasi kekuasaan Hamas untuk mencapai kepada tujuan-tujuan tertentunya.

Akibat agresi Israel itu, 1.400 warga sipil Palestina (termasuk anak-anak dan wanita) tewas, 5.000 lainnya cedera, dan 6.500 rumah orang Palestina hancur. Menurut laporan PBB pimpinan Goldstone dari Afrika Selatan, agresi Zionis yang membabi buta, yang dilancarkan melalui tiga matra sekaligus, yaitu matra darat, laut, dan udara, serta penggunaan senjata fosfor putih yang dilarang PBB, dengan jelas menunjukkan Israel telah melakukan kejahatan perang. Tak heran, Amnesty International dan negara-negara Uni Eropa (UE) mengecam Israel. Hal yang sangat jarang terjadi. Bahkan Pengadilan Inggris telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Menlu Israel Zipni Livni yang ketika itu menjadi Menteri Luar Negeri Israel.

Tidak hanya itu, Israel pun melakukan blokade menyeleluruh di Gaza sejak Juni 2007 saat Hamas mlulai menjalankan pemerintahan dan memperketatnya sejak Desember 2008 hingga kini. Akibat blokade ini, menurut Goldstone, telah menjadikan Gaza - yang berpenduduk 1,5 juta jiwa  sebagai penjara terbesar di dunia. Orang Palestina kehilangan akses ke luar negeri. Juga akses mendapatkan makanan dan obata-obatan karena selain menutup semua pintu dan celah ke Gaza, Israel juga menghalang-halangi bantuan kemanusiaan internasional untuk rakyat Gaza.

Sikap Negara Arab

Yang mengejutkan, selama agresi Zionis itu, negara-negara Arab sekutu Barat berdiam diri. Bahkan Fatah pimpinan Presiden Mahmud Abbas yang berkuasa di Tepi Barat tidak melakukan apa pun untuk membantu saudaranya di Gaza. Sayangnya pada saat itu dunia arab tidak memberikan dukungan yang semestinya kepada rakyat Palestina di jalur Gaza. Alasannya, pertama, berdirinya negara Islam di Palestina bisa mempengaruhi peta politik di Timur Tengah dan menciptakan destabilisasi kawasan karena akan menggerakan kelompok-kelompok Islam politik di negara-negara Arab untuk merebut kekuasaan  negara.

Kedua, Mereka menganggap pemerintahan Hamas akan menjauhkan proses perdamaian Palestina dengan Israel sejalan dengan pandangan AS dan UE. Sementara negara-negara Arab sudah cukup lelah menghadapi isu Palestina yang telah berusia puluhan tahun dan ingin masalah ini diselesaikan secepat mungkin melalui jalan diplomasi. Tidak peduli bahwa Palestina akan banyak dirugikan dalam perundingan karena tidak memiliki /bargaining power/ yang sebanding dengan Israel. Justru Hamas-lah, yang sejak kemunculannya di akhir tahun 1980-an, telah mengangkat posisi tawar Palestina vis a vis Israel. Terlebih setelah kekalahan Irak pimpinan Saddam Hussein dalam Perang Teluk Persia tahun 1990. Ketika itu Palestina di bawah pimpinan Yasser Arafat mendukung Saddam sehingga banyak negara Arab mencabut dukungannya terhadap perjuangannya. Intifadah Palestina-lah, yang dimulai pada 1987, yang telah mengangkat kembali Palestina dari keterpurukan.

Protes massal yang dilakukan anak-anak Palestina di Gaza telah begitu merepotkan Israel. Pengerahan tank dan senjata berat lainnya oleh Israel dalam menghadapi anak-anak Palestina yang hanya bersenjatakan batu telah menimbulkan simpati besar komunitas internasional sehingga isu Palestina tetap berada di pusat konflik Timur Tengah. Memang menyedihkan bahwa Hamas yang banyak berjasa dalam menghidupkan perjuangan Palestina diabaikan begitu saja oleh saudara-saudaranya di dunia Arab.

Memang ada upaya mendamaikan Hamas dan Fatah oleh Mesir dan Arab Saudi, bahkan hal ini dilakukan berulang kali oleh Mesir, namun hampir selalu gagal karena upaya-upaya itu lebih berpihak pada Fatah, yang secara politik merupakan kelompok minoritas Palestina. Itu terlihat dari pemilu 2007 di mana Hamas memenangi lebih dari 70 persen suara. Sikap negara-negara Arab yang tidak bersimpati pada Hamas inilah yang telah mendorong Israel berani melakukan tindakan apa saja terhadap penduduk Gaza yang dikuasai Hamas.

Barack Obama
Ketika Presiden AS Barack Husein Obama berpidato di Universitas Al-Azhar, Kairo, pada 12 Juni 2009, yang di antaranya menyatakan akan melakukan rekonsiliasi dengan Dunia Islam melalui upaya mendamaikan Palestina-Israel secara adil, muncul optimisme sayup-sayup Dunia Islam dan khususnya Dunia Arab. Obama diharapkan bersedia menekan Israel agar berdamai dengan Palestina berdasarkan situasi wilayah sebelum perang 1967. Dan mengubah kebijakan unilateral terhadap Dunia Islam.

Memang selama Presiden George Walker Bush berkuasa, hubungan Dunia Islam dan AS bertambah buruk karena kebijakan-kebijakannya yang keras dan tidak simpatik terhadap Dunia Islam. Ia menyerang Afghanistan dan membuat ribuan penduduk sipil yang tidak berdosa  menjadi korban. Ia kemudian membiarkan invasi Israel ke wilayah Palestina di Tepi Barat dan Gaza pada tahun 2002 yang memakan begitu banyak korban, malah hingga membawa kematian bagi Yaser Arafat.

Setahun kemudian ia memerintahkan tentara AS menyerbu Irak atas tuduhan saddam Hussein masih menyembunyikan senjata pembunuh massal. Terbukti, tuduhan itu tidak benar dan mengada-ada. Sebenarnya ia bermaksud menguasai minyak Irak. Lalu, ia mengancam akan menyerang Iran secara militer bila upaya diplomasi tidak jalan terkait dengan program nuklir Iran. Kendati Iran telah berulang kali menyatakan program nuklirnya bertujuan damai dan sesuai dengan Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT), ia menyatakan itu hanya kedok dan menuduh Iran sedang mengembangkan senjata nuklir, meskipun Badan Energi Atom Internasional (IAEA) membantah tuduhan Bush. Semua itu telah merusak hubungan AS dengan Dunia Islam.

Menyadari hal ini, Obama coba meyakinkan Dunia Islam bahwa ia akan mengubah kebijakan AS. Tapi nampaknya apa yang dikatakan Obama itu hanya isapan jempol. Ia belum menarik lebih dari seratus ribu pasukan AS dari Irak dan menambah 30 ribu pasukan ke Afghanistan untuk membasmi Taliban. Ia juga terus menekan Iran sebagaimana pendahulunya George Walker Bush.

Yang tak kurang memprihatinkan, ia tidak berdaya menghadapi Israel yang masih juga memblokade Gaza dan membangun pemukiman Yahudi yang baru di Tepi Barat dan Yerusalem. Utusan khusus AS untuk Timur Tengah, George Mitchell, yang bolak-balik  menemui pemimpin Israel tidak mampu membujuk Negara Zionis itu untuk bersikap rasionil terhadap Palestina. Bahkan membiarkan Israel terus mempertahankan blokade terhadap Gaza .

Opini Republika 16 Januari 2010