Kalau kita tega (atau berani tegas) mengatakan bahwa bangsa Indonesia sakit, pertanyaan mendasar yang niscaya dijawab adalah: apakah penyakit bangsa ini?
Hal itu terasa makin pantas dikemukakan karena akhir-akhir ini kian terhayati betapa keindahan, citra yang baik, kesantunan, ketenangan, dan ketertiban yang begitu tampak dan sengaja ditampakkan di permukaan kehidupan bangsa ini terasa tidak memiliki landasan substansi yang congruent (sejalan dan serasi) dengan semua penampilan hebat di permukaan itu.Penampilan hebat para pemimpin, yang terkesan lebih bersih dibandingkan dengan penguasa yang lampau, tidak kongruen dengan kemewahan mobil dinas yang dijatahkan melalui prosedur yang ”bersih”, dalam arti diwujudkan tanpa melanggar peraturan atau undang-undang apa pun. Peraturan atau undang-undang disiasati dan dijadikan siasat untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri.
Kemenangan gemilang dalam pemilihan umum begitu mengesankan dan pada awalnya sangat membanggakan. Namun, George Junus Aditjondro dalam bukunya, Membongkar Gurita Cikeas, dapat meredupkan kegemilangan, kesan hebat, dan kebanggaan yang sebelumnya begitu mencuat. Bisa saja orang mengatakan, benang-benang gagasan George Aditjondro tentang jejaring korupsi itu ngawur atau bersifat memfitnah, tetapi jika pikiran bening digunakan untuk membaca buku itu, dan reputasi serta rekam jejak sang penulis buku dipertimbangkan, dapat dirasakan betapa setidaknya sebagian kandungan buku George Aditjondro dapat dijadikan masukan dan kritik bagi para penguasa untuk mawas diri.
Namun, yang terlihat dalam kenyataan justru sikap defensif yang intinya adalah aksi asal membela diri. Pidato dan bantahan didengungkan, bahkan kegiatan membantah mencapai tingkat begitu sengit. Salah satu pembantah cerdik memainkan strategi playing victim dan mengadu ke polisi karena merasa dirinya dizalimi sang penulis, bukan saja secara tertulis, tetapi juga secara fisik.
Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century yang sedang berusaha memberikan penampilan mengesankan bagi rakyat di sana-sini dibercaki beberapa serpihan peristiwa memalukan, seperti pertengkaran antaranggota Pansus seputar ihwal yang sama sekali tidak penting jika ditinjau pada perspektif penyelidikan kasus Bank Century. Dalam pertengkaran terlontar kata-kata kasar, seperti ”bangsat”, dan terluapkan emosi keras penuh amarah.
Ini sungguh incongruent (berlawanan) dengan kesan santun, segalanya serba terukur, tenang, baik, necis, dan tertib yang sela- ma ini begitu diandalkan di permukaan. Tanya-jawab dalam sidang-sidang Pansus pun mengguratkan kesan bahwa tokoh-tokoh yang tampil, apa pun jabatannya, seperti apa pun reputasinya selama ini, ternyata suka berkelit dengan kerap bilang ”tidak tahu” untuk membela dirinya sendiri. Ini tentu incongruent dengan kewajiban mereka sebagai pejabat berintegritas.
Mungkin penyakit bangsa ini adalah inkongruensi (incongruence). Inti inkongruensi adalah ketidakjujuran dan ketidaktulusan. Di balik inkongruensi bersarang kepentingan diri sendiri. Manusia mengejawantahkan inkongruensi karena dia mementingkan dirinya sendiri, berbuat untuk dirinya sendiri, bukan berbuat untuk kepentingan orang lain. Memang tidak ada manusia yang dapat melarang seseorang untuk bersikap inkongruen. Namun, di tengah masyarakat dan bangsa selalu ada orang-orang tertentu yang dipilih oleh hamparan luas warga untuk menjalankan suatu jabatan publik atau untuk jadi pemimpin. Orang-orang tertentu itu disebut pejabat publik dan pemimpin. Tugas mereka adalah melayani kepentingan orang-orang di luar diri mereka sendiri, bukan melayani kepentingan diri sendiri. Mereka seyogianya kongruen dan konsisten.
Kini bangsa ini masih kurang memiliki pejabat publik dan pemimpin yang kongruen. Mudah-mudahan para pejabat publik dan pemimpin itu mau bermawas diri dan menjadi makin kongruen. Namun, sungguhkah bangsa ini suka dengan pemimpin yang kongruen?
Anda mungkin masih ingat betapa Gus Dur adalah pemimpin yang selalu menomorsatukan kepentingan orang-orang lain dan berani mengorbankan kepentingan dirinya sendiri. Gus Dur adalah pemimpin yang kongruen. Namun, Gus Dur tampil begitu saja dengan celana pendek dan baju seadanya di teras Istana, melambaikan tangan buat hamparan rakyat di hadapannya. Dan, apa yang terjadi kemudian? Orang-orang mengecam perbuatan Gus Dur itu.
Mungkin bangsa ini memang lebih suka pada inkongruensi yang dibungkus penampilan bagus ketimbang kongruensi yang tidak terlalu peduli penampilan di permukaan. Seluruh warga bangsa pun perlu mawas diri.
Opini Kompas 16 Januari 2010