Menurut Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, penggantian mobil dinas seharga 1,3 miliar rupiah per unit itu dianggarkan dalam APBN 2009 sesuai dengan program pemerintah yang telah disetujui DPR periode lalu. Ada dugaan, anggaran mobil dinas itu mungkin diambil dari subsidi pemerintah bagi rakyat miskin. Ya, semacam pelimpahan anggaran, berupa pengurangan subsidi untuk dianggarkan menjadi fasilitas pejabat negara (Kompas, 30/12/2009).
Banyak yang menyesali dan merasa ”kado akhir tahun” untuk para menteri dan pejabat tinggi negara ini melukai rasa keadilan, terutama bagi mereka yang selama ini berkubang dalam kemiskinan. Kenyataannya, masih lebih dari 35 juta rakyat negeri ini tergolong miskin. Penganggur pun masih sangat banyak. Kesenjangan melebar pula, terlihat dari kemerosotan indeks pembangunan manusia (IPM), dari posisi ke-109 (dari 179 negara) pada 2008 menjadi ke-111 pada 2009. Anjloknya IPM menunjukkan bahwa kualitas kesehatan, pendidikan, dan pendapatan per kapita sebuah negara memburuk.
Berbarengan dengan berita itu, wartawan Kompas dalam ”Laporan dari India” menulis keteladanan pemimpin India yang menjadi perekat harmoni sosial. Para pemimpin negeri Mahatma Ghandi ini, termasuk presidennya, tetap menggunakan mobil buatan dalam negeri. Juga tak ada kemegahan kantor-kantor pemerintahan karena yang dipentingkan adalah fungsi (Kompas, 29/12/2009).
Pada Pemilu 2009, Partai Kongres India meraih suara terbanyak berkat sebuah program jaminan pekerjaan bagi kelompok miskin pedesaan. Program yang dimulai pada tahun 2005 dengan nama National Rural Employment Guarantee Act 2005 (NREGA) ini memberikan jamin pekerjaan (fisik) kepada semua rumah tangga di daerah pedesaan selama 100 hari per tahun.
Di mancanegara memang terdapat cukup banyak contoh program sejenis. Bedanya, NREGA berangkat dari tingginya kemauan politik pemerintah—berupa jaminan hukum—serta didasari pada kebutuhan riil masyarakat. Panchayat, lembaga pedesaan yang anggotanya dipilih secara demokratis, mengembangkan kerangka pengadaan kerja sehingga dananya tidak jatuh ke tangan pengusaha. Gaji pun diberikan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan rata-rata tingkat gaji di pasar tenaga kerja.
Manfaat program ini sangat dirasakan rakyat miskin pedesaan, yang biasanya terpaksa menerima pekerjaan apa saja dengan tingkat gaji di bawah standar. Dampak positif lain: perbaikan mendasar infrastruktur pedesaan dan berkurangnya arus urbanisasi. Di Negara Bagian Bihar, NREGA berhasil memobilisasi sekitar 44 persen penduduknya (3 juta jiwa) yang berasal dari 7.500 desa untuk menanam lebih dari satu miliar pohon dalam waktu tiga tahun. Sebuah pencapaian puncak yang menjadi rekor dunia.
Program ini mendahulukan mereka yang berada pada strata terbawah orang miskin, terutama lansia, mereka yang cacat, dan janda. Satu kelompok terdiri atas empat keluarga; mereka diwajibkan menanam 200 pohon, termasuk pohon buah-buahan, dan merawatnya selama tiga tahun. Mereka memperoleh gaji ketika pada akhir tahun ketiga 90 persen pohon bertahan hidup. Dalam aturan NREGA, setiap pekerja dibayar 2 dollar AS per hari selama 100 hari dalam satu tahun.
Keberhasilan NREGA adalah membuat Komnas Pengusaha Informal India melakukan penelitian dan mengajukan rekomendasi kepada pemerintah federal untuk menerapkan program sejenis di daerah perkotaan.
Harus diakui, NREGA barulah sebuah permulaan dalam upaya memberantas kemiskinan. Bagi sebuah negara besar seperti India, dan juga Indonesia, persoalan yang dihadapi terbilang kompleks. Namun, arah kebijakan yang jelas adalah sebuah keharusan. Beberapa dasawarsa lalu pembagian pemilikan tanah secara merata menjadi salah satu pekerjaan rumah besar dalam upaya memberantas kemiskinan di pedesaan. Kini persoalannya semakin menjelimet mencakup penerapan jaring pengaman sosial, pemberian akses ke pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
Pendidikan dan keterampilan menjadi sangat penting untuk membuka akses bagi penghasilan orang miskin. Menurut Amartya Sen, daripada memacu pertumbuhan makroekonomi, pemerintah sebaiknya memerhatikan persyaratan yang lebih adil terkait pembukaan lapangan kerja dan gaji bagi orang miskin yang dijamin oleh undang-undang.
Seruan penanaman satu miliar pohon per tahun yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini ditanggapi skeptis oleh banyak kalangan. Pengalaman selama ini: imbauan sejenis kurang mangkus. Pemerintah memang selalu mengaku berhasil menanam jutaan pohon, tetapi tidak jelas di mana lokasinya, jenis tanamannya, luas, hingga proses secara keseluruhan.
Sejarah tanam pohon di Indonesia sejak puluhan tahun lalu dianggap sebagai cerita kegagalan. Logikanya, kalau berbagai jenis program tanam pohon berhasil, semestinya tahun ini merupakan waktu panen hasil tanam pohon tahun 2003. Pada waktu itu, sebagian gerakan rehabilitasi hutan dan lahan fokus pada penanaman pohon berumur pendek, seperti sengon.
Seruan penanaman satu miliar pohon juga dituding sebagai politik kamuflase atas kebijakan sektor kehutanan yang eksploitatif. Di satu sisi, Indonesia ingin dicap sebagai negara ramah lingkungan, di sisi lain hutan alam terus dibuka untuk kepentingan industri dan perkebunan.
Menurut data Walhi, berdasarkan rencana tata ruang daerah terakhir, sekitar 17,91 juta hektar hutan sekunder dan primer akan dibuka untuk pembangunan di luar sektor kehutanan. Sementara itu izin pemanfaatan 44 juta hektar kawasan hutan produksi disiapkan dalam tahun 2010-2014.
Tak heran, aktivis lingkungan lebih menyarankan melakukan moratorium penebangan hutan. Idealnya, selain moratorium, tak ada salahnya kita belajar dan menerapkan pengalaman India menggabungkan upaya berantas kemiskinan dan benah infrastruktur pedesaan serta perbaikan lingkungan lewat penanaman satu miliar pohon. Semoga!
Opini Kompas 16 Januari 2010