15 Januari 2010

» Home » Kompas » Demokrasi Tak Hormat Kata

Demokrasi Tak Hormat Kata

Hormat terhadap kata merupakan hukum pertama yang menjadikan seseorang matang, baik secara intelektual, emosional, maupun moral.
Dag Hammarskjold (1905-1961), sebagaimana dikutip James A Jaksa dan Michael S Pritchard (Communication Ethics, 1994), menyatakan betapa kata-kata mampu mengikat masyarakat bersama-sama, hingga terjaga kualitasnya.


Pernyataan mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 1953-1961 tersebut sungguh signifikan jika dikaitkan dengan pelaksanaan demokrasi di negeri ini. Tanpa dapat disangkal, demokrasi kita berjalan cepat pada keleluasaan untuk berbicara. Perdebatan dan demonstrasi menjadi fenomena harian. Namun, persoalan yang acap diabaikan adalah kalangan aktor demokrasi tidak pernah menghiraukan arti penting kata-kata.
Kata-kata sekadar dimaknai sebagai instrumen bahasa. Kata-kata pun meluap menjadi sebentuk ekspresi kemarahan. Bahkan, kata-kata bukan saja tidak dihormati, melainkan telah dilecehkan. Akibatnya, umpatan dan caci-maki menggerus kejernihan argumentasi. Boleh saja fenomena itu dianggap sebagai sebuah fragmen dalam teater politik, tetapi capaian yang mampu direngkuh tidak lebih dari retorika intrik yang sama sekali tidak mendidik, bahkan menghancurkan makna substansial demokrasi sendiri.
Kenyataan itu terjadi pada saat beberapa anggota Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century mengemukakan aneka pertanyaan kepada pihak-pihak yang diposisikan sebagai saksi. Nada berbicara yang tinggi, intonasi yang terkesan penuh gertakan, dan pilihan kata yang cenderung menyudutkan sering berhamburan. Bukan pada persoalan para saksi yang diajukan itu adalah pejabat tinggi negara; sehingga kata-kata yang dikemukakan harus menunjukkan watak ketertundukan dan penuh nilai rasa penjilatan. Namun, saksi-saksi tetaplah pihak yang mengemukakan testimoni, bukan sekumpulan pesakitan yang sengaja dipasang sebagai obyek caci-maki. Hal yang lebih buruk lagi adalah di antara para anggota Pansus sendiri terlibat dalam saling sanggah sehingga mereka menampilkan diri sebagai kerumunan politisi yang pongah.
Sebenarnya tidak perlu diterapkan kode etik khusus bagi para anggota Pansus jika mereka mampu menyadari kata-kata selalu lekat dengan derajat intelektualitas dan moralitas. Kata-kata yang diucapkan para aktor demokrasi kalau hanya mampu menunjukkan kadar emosi yang tinggi secara otomatis mendegradasikan etika dan kecerdasan. Benar pernyataan Isokrates, seorang filsuf Yunani yang hidup pada abad kelima Sebelum Masehi, pembicaraan yang dilakukan manusia menunjukkan level peradaban. Ketika demokrasi dilumuri kata-kata penuh cacian dan gertakan, maka tersembul karakter perpolitikan yang dikendalikan daya barbarian.

Dramaturgi kata-kata
Sangat masuk akal jika dikemukakan bahwa Pansus yang digulirkan di gedung wakil rakyat dan demonstrasi yang digelar di jalanan merupakan sebentuk panggung drama. Di ruang-ruang itulah kalangan aktor menampilkan diri sesuai dengan status yang disandang. Kalangan anggota Pansus dituntut untuk mengemukakan berbagai pertanyaan yang kritis dan tajam. Para demonstran juga didorong menampilkan aksi-aksi teatrikal semenarik mungkin untuk menarik perhatian. Adapun kalangan saksi, terlebih lagi yang telah dicurigai mencuri uang negara, sekadar diposisikan sebagai sekelompok orang yang menjadi sasaran kata-kata garang.
Namun, setiap pentas drama, terlebih lagi drama politik, tidak lebih memuat kepura-puraan. Sebab, kalangan aktor—merujuk pemikiran Erving Goffman (1922-1982)—harus melakukan manajemen kesan (impression management). Mereka yang memihak ataupun menentang saksi-saksi tertentu berupaya menampilkan diri sebagai pembela dan penghujat. Kata-kata sengaja diatur, ekspresi wajah dikendalikan, gestur tubuh dikontrol, dan intonasi berbicara terus diubah-ubah supaya menyajikan kesan yang baik dan memberikan kepuasan bagi khalayak yang menyaksikan.
Tanpa bisa dihindarkan, maka kejujuran pun lenyap. Inilah risiko dramaturgi kata-kata yang mendorong para aktor melakukan estetisisasi ucapan, yang melibatkan dua teknik yang saling berlawanan. Pertama, eufemisme yang bermaksud mengemas kata-kata penuh kesantunan untuk mendapat efek simpati dan memberi kehormatan bagi saksi-saksi yang didukung. Kedua, diseufemisme yang diniatkan untuk membuat kata-kata yang serba menggertak dan penuh cemo- ohan untuk mengundang dampak kebencian dan melenyapkan kehormatan untuk saksi-saksi yang sengaja ditentang.
Eufemisme dan diseufemisme adalah sebentuk topeng kata-kata. Eufemisme lebih menekankan pada kesantunan palsu untuk memberikan sanjungan yang tidak perlu. Diseufemisme lebih memberikan penekanan pada kevulgaran berbahasa untuk merontokkan martabat seseorang. Eufemisme dan diseufemisme memperlihatkan pemakaian kata-kata yang sama-sama pantas dipertanyakan kejujurannya.
Kompetensi berbahasa
Demokrasi yang menghormati kata adalah perpolitikan yang mengharuskan para aktor memiliki kompetensi berbahasa. Syarat ini hanya dapat terpenuhi jika kata-kata dimengerti dengan baik, bukan saja pada makna yang terdapat di dalamnya, tetapi juga pada aturan tuturan yang harus disepakati bersama.
Di sini etika komunikasi menjadi bisa direalisasikan karena untuk menggapai tujuan yang baik harus menggunakan cara yang terpuji pula. Etika komunikasi melampaui etiket berbicara karena problem yang diperhatikan tak hanya bermuara pada tata krama, melainkan pada standar moralitas yang dapat diterima.
Untuk memenuhi kompetensi berbahasa itu, merujuk ide Jurgen Habermas, ada tiga hal yang harus diperhatikan aktor-aktor demokrasi. Pertama, tindak wicara konstatif yang memfokuskan pada syarat kebenaran. Pada lingkup ini, pengalaman aktual menentukan kepastian pernyataan, misalnya ”bail out untuk Bank Century dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian” atau ”bail out bagi Bank Century tidak perlu dijalankan karena bank sekecil itu tidak berdampak sistemik”.
Kedua, tindak wicara regulatif yang kepentingan utamanya terkait dengan kepatutan norma-norma yang diberlakukan pada konteks tertentu. Pada domain ini, aturan-aturan yang diterima secara sosial mengikat seluruh partisipan, misalnya gaya bertanya model interogator ataupun cara bertanya ala penjilat tidak pantas diterapkan bagi saksi-saksi yang dihadirkan dengan tujuan untuk meremehkan atau menyanjung. Ketiga, pengakuan yang mengemukakan klaim kejujuran yang berarti ada keharusan semua partisipan untuk menetapkan maksud sebenarnya dari ucapannya.
Tanpa kompetensi berbahasa, yang berarti pula menghormati kata-kata, maka demokrasi tidak lebih dari sekadar menjadi arena penyanjungan dan caci-maki yang memalukan.

TRIYONO LUKMANTORO Dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
Opini Kompas 16 Januari 2010