Gurita korupsi semakin kuat melilit negeri ini. Segala upaya yang  telah dilakukan dapat dikatakan gagal menahan dan memberantas laju  korupsi. Sampai sejauh ini, praktik korupsi seperti tidak ada matinya.  Hasil jajak pendapat Kompas (28/2) menjadi pembenaran empiris betapa  perilaku korupsi semakin masif dan tak terkendali.
Di tengah  gurita tersebut, pertanyaan mendasar yang muncul: mengapa praktik  korupsi makin memburuk melilit negeri ini? Adakah ini semua bukti  kegagalan agenda pemberantasan korupsi?
Dari segala perspektif,  pertanyaan yang dikemukakan amat masuk akal. Apalagi, sebagai bagian  dari upaya mewujudkan amanat reformasi, telah begitu banyak produk hukum  dihadirkan untuk segera keluar dari kanker korupsi.
Sekiranya  dikaitkan dengan pergeseran pemaknaan tindak pidana korupsi dari  kejahatan biasa menjadi kejahatan luar biasa, pertanyaan tersebut  berubah menjadi gugatan yang amat serius. Karena itu, wajar bila muncul  pertanyaan baru: apa yang salah dengan agenda pemberantasan korupsi yang  selama ini dilakukan?
Membina korupsi
Maraknya  praktik korupsi tidak cukup hanya dijelaskan dari satu sudut pandang  saja, misalnya pada batas-batas tertentu kehidupan politik lebih banyak  menunjukkan diri sebagai ”panglima” dalam penegakan hukum. Karena itu,  karut-marut dunia politik memberi imbas atas munculnya lorong gelap  dalam pemberantasan korupsi, misalnya mereka yang terindikasi korupsi  berupaya mencari perlindungan ke partai politik. Begitu mendapatkan  tempat di partai politik, penegakan hukum terancam mengalami mati suri.
Secara  ideal, bila para penegak hukum mampu membuktikan independensinya,  ”strategi” bergabung ke partai politik tidak akan memberikan banyak  pengaruh.
Dalam kenyataannya, jangankan untuk membuktikan  independensi tersebut, institusi penegak hukum acap kali hadir sebagai  pembina mereka yang terkait kasus korupsi. Pembinaan yang dimaksudkan di  sini lebih pada upaya memanfaatkan mereka yang tersangkut kasus korupsi  untuk kepentingan di luar penegakan hukum.
Terkait dengan hal  itu, dalam Seminar Nasional Kompas yang bertajuk ”Korupsi yang  Memiskinkan” (22-23 Februari) dikemukakan bahwa tumbuh suburnya praktik  korupsi lebih banyak disebabkan oleh hukum dan penegak hukum yang amat  ramah bagi pelaku korupsi. Keramahan tersebut, di antaranya, dipicu oleh  substansi hukum yang longgar atau multiinterpretasi.
Dalam  praktik, substansi hukum yang demikian memberi ruang luas bagi penegak  hukum untuk ”menggorengnya” sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Sulit  dibantah bahwa kondisi demikian itu menjadi salah satu faktor yang  memberikan kontribusi besar terhadap kegagalan menghentikan gurita  korupsi.
Banyak pengalaman menunjukkan bahwa substansi hukum yang  longgar tersebut bertaut dengan komitmen sebagian penegak yang tidak  memihak pada agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, tidak perlu heran  bila upaya memberantas korupsi potensial menimbulkan praktik korupsi  baru.
Setidaknya potensi korupsi tersebut dapat dilacak pada tahap awal penegakan hukum, seperti penyelidikan dan penyidikan.
Dalam  tahap ini terdapat banyak ruang yang memberi kesempatan kepada penegak  hukum untuk bernegosiasi, mulai dari peningkatan dari tahap penyelidikan  ke penyidikan, kemungkinan untuk tidak ditahan, hingga penerbitan surat  perintah penghentian penyidikan (SP3). Bahkan, bila masuk pada proses  persidangan, tidak jarang ada upaya ”menggoreng” dakwaan agar vonis  menjadi lebih ringan.
Membinasakan korupsi 
Perilaku  menyimpang berupa ”pembinaan” korupsi yang dilakukan sebagian penegak  hukum tersebut jelas menimbulkan luka mendalam bagi para pencari  keadilan. Apalagi, banyak putusan hakim justru gagal memulihkan rasa  keadilan masyarakat yang telah tercabik-cabik oleh perilaku para  koruptor.
Bahkan, pada pelaksanaan putusan hakim, sejumlah kasus  membuktikan bahwa masa tahanan dan rumah tahanan memberikan segala macam  kemudahan bagi para koruptor.
Selain tersedianya kesempatan mendapatkan grasi, para koruptor amat mudah mendapatkan pengurangan hukuman be- rupa  pemberian remisi. Dengan fasilitas itu, rumah tahanan tidak memberi  makna apa-apa dan gagal menghadirkan rasa takut. Padahal, penjatuhan  hukuman ditujukan untuk memberikan pesan bahwa melakukan korupsi akan  mendapatkan hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan tindak pidana  lain.
Oleh karena itu, selama tidak dilakukan perubahan mendasar  terhadap cara pandang atas penjatuhan hukuman, penegakan hukum hampir  dapat dipastikan gagal membinasakan meruyaknya praktik korupsi. Selain  perubahan cara pandang, membinasakan korupsi hanya mungkin dicapai jika  semua upaya dilakukan secara komprehensif. Beranjak dari hal itu,  pemikiran memiskinkan pelaku korupsi masih jauh dari cukup untuk menahan  dan menghentikan laju korupsi.
Sebagai sebuah gagasan, langkah  pemiskinan koruptor jelas akan memberikan denyut yang berbeda dalam  memberantas korupsi. Namun, karena upaya memiskinkan pelaku korupsi  bukan pekerjaan sederhana dan mudah, akan jauh lebih baik sekiranya  gagasan tersebut diikuti dengan langkah lain.
Di antara langkah  mendesak yang segera harus dilakukan adalah menutup segala celah yang  memberi peluang kepada penegak hukum memanfaatkan (baca: ”membina”)  mereka yang tersangkut kasus korupsi.
Selain itu, harus ada  keberanian menghapus segala macam kemudahan dalam proses penegakan hukum  bagi yang tersangkut kasus korupsi, misalnya menghapus pemberian remisi  dan pembebasan bersyarat. Sebagai instrumen hukum, remisi dan  pembebasan bersyarat hanya tepat diberlakukan pada tindak pidana biasa.  Jika fasilitas tersebut tidak dihapus, langkah penegakan hukum dalam  memberantas korupsi akan kehilangan karakternya sebagai sebuah proses  penegakan hukum yang luar biasa.
Di tengah praktik korupsi yang  semakin mengancam keberlanjutan masa depan negeri ini, praktik korupsi  dengan sungguh-sungguh harus dibinasakan. Tanpa langkah itu, sulit  mencegah sebagian penegak hukum ”membina” hubungan dengan para pencoleng  uang rakyat.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Ketua Program S-3 Ilmu Hukum; dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Opini Kompas 2 Maret 2011 
01 Maret 2011
Membina(sakan) Korupsi
Thank You!