01 Maret 2011

» Home » Kompas » Opini » Birokrasi dan Pemda Menghambat

Birokrasi dan Pemda Menghambat

Presiden mengeluh lagi. Kali ini di hadapan para menteri, gubernur, staf khusus presiden, dan anggota komite nasional di Istana Bogor. Presiden mengatakan bahwa birokrasi di pemerintah pusat dapat menjadi salah satu penghambat pembangunan (Kompas, 22/2).
Demikian pula kekuasaan kepala daerah pada pemerintah daerah (pemda) kabupaten dan kota. Keluhan seperti ini seharusnya menyadarkan Presiden bahwa penataan reformasi birokrasi yang dikampanyekan dulu tidak atau belum menyentuh persoalan mendasar.
Penataan sistem desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan yang selama ini dilaksanakan juga belum tuntas diselesaikan. Keluhan itu semestinya menyadarkan Presiden bahwa para pembantunya sendiri tak cakap melaksanakan dua program penataan birokrasi pemerintah dan otonomi daerah.
Reformasi birokrasi
Lembaga birokrasi pemerintah dan sistemnya yang selama ini digunakan pemerintah pada era reformasi sejatinya masih mengikuti birokrasi dan sistem pemerintah Orde Baru. Di dalam birokrasi pemerintah ada dua aktor yang sangat menentukan: aktor politik dan aktor pejabat karier. Hubungan kerja kedua aktor itu sampai sekarang belum diatur dalam sistem kerja yang baru.
Sistem kerjanya masih sama dengan sistem kerja pemerintah Orde Baru ketika Soeharto tak menyukai politik. Aktor politik saat itu diemban pejabat dari Golongan Karya yang bukan partai politik. Pejabat kariernya juga ikut Golongan Karya. Dengan demikian, hubungan kerja kedua aktor dalam pemerintahan Orde Baru merupakan satu kesatuan. Yang diputus menteri dan kabinet bisa dijalankan pejabat karier eselon I dan seterusnya.
Sekarang tak bisa dilakukan hal semacam itu karena pejabat dari partai politik pendukung koalisi belum tentu memahami seluk-beluk kementeriannya: keahlian, kompetensi, serta profesionalitas pejabat karier di kementerian. Karena reformasi birokrasi sekarang ini belum menata hubungan kerja kedua aktor itu, yang terjadi: apa yang diputus di kabinet dan di tataran menteri bisa saja tak sesuai dengan maksud pemerintahan yang ada karena pejabat karier bisa saja menunda dan tak melaksanakannya.
Hubungan kerja yang ada selama ini menonjolkan hubungan antara pejabat yang berkuasa dan pejabat yang tunakuasa. Pejabat yang berkuasa berada di puncak sistem birokrasi dan merupakan orang dari partai politik yang kurang pengalaman dan kurang paham seluk-beluk kementeriannya. Namun, dia berkuasa minta harus ditaati. Sementara pejabat tunakuasa adalah para pejabat karier yang berada di bawah.
Hubungan kerja atasan dan bawahan serta penguasa dan tunakuasa semacam ini tak bakal menimbulkan tim kerja dalam birokrasi pemerintahan. Maka, Presiden akan senantiasa mengeluh dan keluhan itu menunjukkan kelemahan Presiden. Reformasi birokrasi yang sekarang dijalankan belum menyentuh persoalan mendasar dalam birokrasi pemerintah. Yang baru disentuh adalah peningkatan remunerasi dan gaji pejabat.
Otonomi daerah
Dalam keluhan Presiden itu, ada juga bupati dan wali kota yang tak mau melaksanakan rencana pembangunan yang dananya sudah dicarikan Presiden dengan—ibaratnya—naik gunung turun gunung. Perlu dipahami, undang-undang (UU) pemerintahan menyatakan bahwa kabupaten dan kota diberi kewenangan yang luas dengan titik berat melaksanakan otonomi daerah. Karena luasnya kewenangan itu dinyatakan dalam UU tersebut, semua kewenangan pemerintahan berada di daerah, kecuali enam kewenangan yang masih di pemerintah pusat.
Sementara itu, kepala daerah yang mewakili urusan pemerintah pusat itu hanya pada jabatan gubernur dan enam kantor wilayah dari kementerian yang menjalankan kewenangan pemerintah pusat. Dengan demikian, bupati dan wali kota itu merasa sebagai kepala daerah otonom, bukan kepala daerah yang bisa mewakili kepentingan pemerintah pusat, seperti gubernur dan kantor wilayah.
Jika Presiden menjumpai ada bupati atau wali kota yang tidak mau melaksanakan apa yang disetujui menteri atau gubernur, itulah konstruksi otonomi yang UU-nya ditandatangani Presiden. Kewenangan pemerintah pusat dalam konstruksi otonomi ini tidak sampai ke kabupaten dan kota. Jadi, jangan heran kalau ada bupati dan wali kota bersikap seperti dikeluhkan Presiden.
Konstruksi pelaksanaan otonomi daerah belum selesai dan belum tuntas dalam sistem NKRI, sebagaimana reformasi birokrasi belum menyentuh persoalan mendasar menata hubungan kerja pejabat birokrasi dan pejabat politik.
Jika para pembantu Presiden bisa melaksanakan kedua kewajiban itu dengan baik, saya yakin Presiden tidak akan mengeluh lagi.
Miftah Thoha Guru Besar Magister Administrasi UGM
Opini Kompas 2 Maret 2011