Presiden mengeluh lagi. Kali ini di hadapan para  menteri, gubernur, staf khusus presiden, dan anggota komite nasional di  Istana Bogor. Presiden mengatakan bahwa birokrasi di pemerintah pusat  dapat menjadi salah satu penghambat pembangunan (Kompas, 22/2).
Demikian  pula kekuasaan kepala daerah pada pemerintah daerah (pemda) kabupaten  dan kota. Keluhan seperti ini seharusnya menyadarkan Presiden bahwa  penataan reformasi birokrasi yang dikampanyekan dulu tidak atau belum  menyentuh persoalan mendasar.
Penataan sistem desentralisasi dan  otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan yang selama ini  dilaksanakan juga belum tuntas diselesaikan. Keluhan itu semestinya  menyadarkan Presiden bahwa para pembantunya sendiri tak cakap  melaksanakan dua program penataan birokrasi pemerintah dan otonomi  daerah.
Reformasi birokrasi
Lembaga  birokrasi pemerintah dan sistemnya yang selama ini digunakan pemerintah  pada era reformasi sejatinya masih mengikuti birokrasi dan sistem  pemerintah Orde Baru. Di dalam birokrasi pemerintah ada dua aktor yang  sangat menentukan: aktor politik dan aktor pejabat karier. Hubungan  kerja kedua aktor itu sampai sekarang belum diatur dalam sistem kerja  yang baru.
Sistem kerjanya masih sama dengan sistem kerja  pemerintah Orde Baru ketika Soeharto tak menyukai politik. Aktor politik  saat itu diemban pejabat dari Golongan Karya yang bukan partai politik.  Pejabat kariernya juga ikut Golongan Karya. Dengan demikian, hubungan  kerja kedua aktor dalam pemerintahan Orde Baru merupakan satu kesatuan.  Yang diputus menteri dan kabinet bisa dijalankan pejabat karier eselon I  dan seterusnya.
Sekarang tak bisa dilakukan hal semacam itu  karena pejabat dari partai politik pendukung koalisi belum tentu  memahami seluk-beluk kementeriannya: keahlian, kompetensi, serta  profesionalitas pejabat karier di kementerian. Karena reformasi  birokrasi sekarang ini belum menata hubungan kerja kedua aktor itu, yang  terjadi: apa yang diputus di kabinet dan di tataran menteri bisa saja  tak sesuai dengan maksud pemerintahan yang ada karena pejabat karier  bisa saja menunda dan tak melaksanakannya.
Hubungan kerja yang ada  selama ini menonjolkan hubungan antara pejabat yang berkuasa dan  pejabat yang tunakuasa. Pejabat yang berkuasa berada di puncak sistem  birokrasi dan merupakan orang dari partai politik yang kurang pengalaman  dan kurang paham seluk-beluk kementeriannya. Namun, dia berkuasa minta  harus ditaati. Sementara pejabat tunakuasa adalah para pejabat karier  yang berada di bawah.
Hubungan kerja atasan dan bawahan serta  penguasa dan tunakuasa semacam ini tak bakal menimbulkan tim kerja dalam  birokrasi pemerintahan. Maka, Presiden akan senantiasa mengeluh dan  keluhan itu menunjukkan kelemahan Presiden. Reformasi birokrasi yang  sekarang dijalankan belum menyentuh persoalan mendasar dalam birokrasi  pemerintah. Yang baru disentuh adalah peningkatan remunerasi dan gaji  pejabat.
Otonomi daerah
Dalam  keluhan Presiden itu, ada juga bupati dan wali kota yang tak mau  melaksanakan rencana pembangunan yang dananya sudah dicarikan Presiden  dengan—ibaratnya—naik gunung turun gunung. Perlu dipahami, undang-undang  (UU) pemerintahan menyatakan bahwa kabupaten dan kota diberi kewenangan  yang luas dengan titik berat melaksanakan otonomi daerah. Karena  luasnya kewenangan itu dinyatakan dalam UU tersebut, semua kewenangan  pemerintahan berada di daerah, kecuali enam kewenangan yang masih di  pemerintah pusat.
Sementara itu, kepala daerah yang mewakili  urusan pemerintah pusat itu hanya pada jabatan gubernur dan enam kantor  wilayah dari kementerian yang menjalankan kewenangan pemerintah pusat.  Dengan demikian, bupati dan wali kota itu merasa sebagai kepala daerah  otonom, bukan kepala daerah yang bisa mewakili kepentingan pemerintah  pusat, seperti gubernur dan kantor wilayah.
Jika Presiden  menjumpai ada bupati atau wali kota yang tidak mau melaksanakan apa yang  disetujui menteri atau gubernur, itulah konstruksi otonomi yang UU-nya  ditandatangani Presiden. Kewenangan pemerintah pusat dalam konstruksi  otonomi ini tidak sampai ke kabupaten dan kota. Jadi, jangan heran kalau  ada bupati dan wali kota bersikap seperti dikeluhkan Presiden.
Konstruksi  pelaksanaan otonomi daerah belum selesai dan belum tuntas dalam sistem  NKRI, sebagaimana reformasi birokrasi belum menyentuh persoalan mendasar  menata hubungan kerja pejabat birokrasi dan pejabat politik.
Jika para pembantu Presiden bisa melaksanakan kedua kewajiban itu dengan baik, saya yakin Presiden tidak akan mengeluh lagi.
Miftah Thoha Guru Besar Magister Administrasi UGM
Opini Kompas 2 Maret 2011 
01 Maret 2011
Birokrasi dan Pemda Menghambat
Thank You!