20 Februari 2011

» Home » Kompas » Opini » Mewaspadai Spekulan Pangan

Mewaspadai Spekulan Pangan

Kontroversi atas harga beras yang konsisten tinggi dan peningkatan produksi beras 2,45 persen (ARAM III BPS 2010) menyisakan tanda tanya besar.
Benarkah harga beras dibentuk oleh mekanisme pasar atau didikte kelompok tertentu? Ke mana surplus beras 5 juta ton saat panen raya Maret-Mei 2010? Siapa yang menyimpan?
Kewaspadaan terhadap kenaikan harga pangan merupakan keharusan. Ini karena, menurut BPS, kenaikan 10 persen harga beras akan menambah jumlah penduduk miskin 2,5 juta jiwa.
Spekulan pangan
Mewaspadai ”spekulan pangan” merupakan keharusan bagi Indonesia untuk menghindari terjadinya huru-hara politik akibat amuk massa. Penggorengan harga pangan oleh spekulan pangan saat panen raya dan paceklik akan mendestruksi sistem dan infrastruktur produksi pangan nasional. Implikasinya, gairah berproduksi dan produksi pangan nasional merosot sehingga bergantung pada pangan impor.
Sebagai ilustrasi, Indonesia pada 1990-an merupakan eksportir sapi. Namun, destruksi oleh daging impor murah menghancurkan sistem produksi ternak nasional sehingga Indonesia menjadi importir sapi hingga kini.
Indonesia juga pernah mencapai swasembada kedelai pada 1992, tetapi pada 1998 hancur dengan dibukanya keran perdagangan bebas. Tragisnya, para ekonom neoliberal selalu berpandangan, tak perlu memproduksi di dalam negeri kalau impor kedelai lebih murah. Ambruklah sistem produksi kedelai nasional dan sulit bangkit lagi.
Harga cabai dan sapi hidup menjadi eksperimen spekulan pangan berikutnya. Ketika harga cabai di pasar mencapai Rp 80.000-Rp 100.000, harga di tingkat petani hanya Rp 18.000-Rp 22.000. Disparitas harga yang tajam ini pasti ada auktor intelektualisnya.
Destruksi harga sapi hidup sampai titik nadir pun terjadi bukan tanpa sebab. Akibat impor daging menjelang Idul Fitri 2010, spekulan daging membanting harga sapi hidup. Petani di Kertosono, Jawa Timur, mengeluh karena saat beli sapi harganya Rp 6 juta per ekor. Setelah dipelihara delapan bulan hanya laku dijual Rp 5,5 juta. Benarkah ini akibat mekanisme pasar semata?
Saat ini giliran komoditas gula dan terigu diguncang. Spekulan pangan dengan akses ekonomi, sosial, dan politik melakukan penetrasi untuk memengaruhi pengadaan cadangan pangan.
Cadangan pangan pemerintah yang terbatas dengan gangguan distribusi tinggi serta keterbatasan pemerintah dalam memetakan jalur distribusi dan perdagangan pangan dimanfaatkan spekulan pangan untuk mengeruk keuntungan.
Impor jadi pemicu
Dalam posisi sulit, pemerintah memilih instrumen yang tidak populer, yaitu membuka keran impor. Saat itulah destruksi sistemis sistem produksi pangan nasional dimulai. Oleh karena itu, diperlukan regulasi pangan dan pengembangan cadangan pangan alternatif melalui infrastruktur pangan yang memadai.
Regulasi pangan melalui revisi UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mutlak dilakukan, yang sedang dilaksanakan Komisi IV DPR bersama pemerintah. Usulannya, antara lain, perlunya sinergi BUMN pertanian.
Fenomena perubahan iklim perlu diantisipasi dengan memperhitungkan kesiapan prasarana dan sarana, termasuk asuransi perlindungan petani.
Pembentukan holding BUMN pertanian, PT Sang Hyang Seri (Persero), PT Pertani (Persero), dan PT Berdikari (Persero), perlu diwujudkan. Selanjutnya, holding BUMN pertanian dapat mengembangkan BUMN alat mesin pertanian.
Hal yang sama dapat dilakukan untuk pengembangan pembiayaan pertanian agar petani mandiri dan tak bergantung kepada bank lagi. Pengalaman Perancis mendirikan Credit Agricole du Midi dan kemudian menjadi salah satu bank pertanian terbesar di Eropa bisa menjadi contoh.
Holding BUMN pertanian juga dapat mengembangkan produk pangan olahan berbahan baku lokal, seperti mocaf (modified cassava flour, tepung singkong yang dimodifikasi sebagai pengganti terigu) untuk campuran bakso, mi, pempek, dan makanan berbahan terigu lain.
Tingkatkan singkong
Tersedianya pasar mocaf yang besar akan memicu peningkatan produktivitas singkong dalam negeri dari 18,75 menjadi 55 ton per hektar melalui penggantian varietas unggul. Belum lagi peningkatan luas areal panen dari 1,17 juta hektar menjadi 5 juta hektar. Jika asumsi harga singkong mentah Rp 700 per kilogram, akan dihasilkan uang Rp 192,5 triliun (hampir 20 persen dari APBN).
Pemerintah all out untuk pengamanan produksi pangan nasional, terutama padi, melalui bantuan langsung benih unggul, bantuan langsung pupuk, subsidi pupuk, pestisida, serta mobilisasi gerakan masyarakat agar kokoh menghadapi perubahan iklim.
Pengamanan pascapanen dan pemasaran ini penting agar pasar tidak lagi dikendalikan oleh para spekulan pangan dan petani tidak menjadi korban.
Gatot Irianto Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian
Opini Kompas 21 Februari 2011