Dari diskusi itu, muncul gagasan historis yang menarik berupa konsep keresahan agraris (agrarian unrest). Sartono Kartodirdjo yang memperkenalkan gagasan sosial historis agrarian unrest dalam buku klasiknya The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel, A Case Study of Social Movements in Indonesia.
Untuk memahami konteks historis gagasan agrarian unrest, ada baiknya kita melihat sekilas bentangan sejarah Jawa abad 19 dan awal abad 20. Secara garis besar, kurun itu dapat dibagi dalam beberapa periode yang menonjol.
Pertama, periode 1800-1830. Saat itu merupakan periode transisi dalam pemerintahan kolonial di Jawa. Hadir orang Prancis dalam diri Daendels (dengan pengaruh besar karena ia membuka jalan raya Anyer-Penarukan), dan hadir juga orang Inggris (dalam diri Thomas Stamford Raffles, namanya dikaitkan dengan nama bunga bangkai raksasa Sumatra, Rafflesia). Transisi ini berkaitan dengan percaturan politik di Eropa yang punya mirror effect di wilayah koloni. Apa yang terjadi di Eropa, pasti ada gemanya di negara jajahan.
Kedua, periode 1830-1870. Kurun itu ditandai beberapa peristiwa penting. Di Jawa ada Perang Jawa (Perang Diponegoro). Di Sumatra Barat ada Perang Padri (Imam Bonjol). Ada juga program cultivation system yang diterapkan atau dipaksakan pemerintah kolonial kepada petani di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Kebijakan itu disebut juga dengan nama lain, tanam paksa. Komoditas yang ditanam antara lain kopi, tembakau, tebu, lada, teh, karet. Tanam paksa dapat berlangsung karena ditopang oleh struktur dan sistem pemerintahan kolonial yang ada.
Ketiga, periode 1870-1900. Masa itu dikenal dengan sebutan periode liberal (liberal period). Banyak perusahaan swasta yang menanamkan modalnya terutama di Jawa dan Sumatra. Masuknya modal sebenarnya ditujukan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat, lewat penyediaan lapangan kerja yang luas. Ternyata hasilnya justru lebih buruk. Banyak petani kehilangan tanah sehingga mereka menjadi petani penggarap tanah dan bukan lagi pemilik.
Tanah sebagai salah satu alat produksi dalam lingkaran produksi kini terasing dari petani. Petani teralienasi dari alat produksinya. Sejalan dengan itu, muncul banyak tuan tanah baru yang bisa membeli dan menguasai tanah yang luas. Kebanyakan dari mereka berasal dari kelompok etnis tertentu (Arab, India, China dan segelintir elite lokal).
Dalam konteks seperti ini, muncul apa yang oleh Sartono disebut agrarian unrest. Petani yang terasing dari alat produksinya, menjadi resah dan gelisah. Hidup mereka kacau dan tidak tentu arah. Muncullah protes dan di beberapa tempat terjadi pemberontakan petani (peasants’ revolt), seperti yang terjadi di Banten pada 1888. Sartono yakin munculnya pemberontakan antikolonial di beberapa tempat di Jawa muncul karena beban hidup yang menghimpit petani.
Selain itu, ada unsur yang mengilhami pemberontakan antikolonial secara spiritual dan ideologis yaitu merebaknya ramalan Jayabaya tentang bakal munculnya Ratu Adil di Jawa. Sering pemimpin pemberontakan dipandang sebagai wujud Ratu Adil yang akan membawa keadilan dan kedamaian di Jawa. Harapan akan Ratu Adil dicampur sedikit di sana-sini dengan harapan akan kedatangan Imam Mahdi dalam bingkai visi teologi Islam.
Menyadari adanya agrarian unrest, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan baru berupa reformasi agraria (agrarian reform). Pemerintah mencoba membatasi luasnya pemilikan tanah oleh tuan tanah. Tentu ada banyak pihak yang merasa amat dirugikan oleh kebijakan ini. Dalam pelaksanaan kebijakan baru, peran aparat pemerintahan sampai ke tingkat desa amat penting. Itu sebabnya, mereka tidak disukai rakyat.
Kehilangan orientasi
Rakyat kehilangan orientasi kepemimpinan. Semula rakyat berorientasi pada priyayi, kini berbalik menjadi antipriyayi karena mereka tidak lagi menjadi sosok pemimpin sejati tetapi menjadi alat pemerintah kolonial. Rakyat pun mencari sosok pemimpin baru. Secara tradisional mereka memiliki pemimpin baru dalam bidang rohani yaitu haji.
Haji menjadi model pemimpin alternatif dalam bidang keagamaan. Para haji yang juga pemilik tanah atau tuan tanah di beberapa tempat juga merasa dirugikan oleh kebijakan agrarian reform. Tentu mereka protes. Untuk itu, mereka membutuhkan pengikut. Di pihak lain, rakyat membutuhkan sosok pemimpin alternatif di luar priyayi. Ini kombinasi yang baik, blessing in disguise sekaligus bagi kedua pihak. Untuk memperkuat rasa saling membutuhkan itulah, dipakai perekat atau kohesi ideologi religius, yaitu gagasan Imam Mahdi.
Dalam arti tertentu, hari-hari ini, di Jogja juga sedang terjadi unrest. Bukan agrarian unrest seperti digagas Sartono, melainkan unrest lain. Saya sebut keresahan sosio-politis (socio political unrest). Itu semua berangkat dari diskusi mengenai status keistimewaan DIY. Saya bukan orang Jogja, melainkan perantau.
Ketika merantau ke Jawa, saya datang pertama kali ke Jogja sehingga kota ini seperti kampung sendiri bagi saya. Status keistimewaan DIY adalah fakta sejarah yang sudah lama ada dan diakui. Akan tetapi akhir-akhir ini seperti diguncang lagi, entah dengan motivasi apa, dan untuk tujuan apa. Saya tidak berspekulasi tentang motivasi dan tujuan seperti itu.
Di sini, saya hanya ingin mengatakan bahwa diskursus keistimewaan sekarang memunculkan socio political unrest di Jogja yang ikut memanaskan Jakarta dan bangsa secara keseluruhan. Mungkin keyakinan adagium politis yang mengatakan ”gempa” Jogja akan mengguncang Indonesia ada benarnya.
Saya takut, sebagaimana agrarian unrest di Banten pada akhir abad 19 bermuara pada pemberontakan, jangan-jangan socio political unrest di Jogja juga akan berakhir pada mimpi buruk seperti itu. Kita tentu berharap tidak. Mari bersama-sama mencegahnya, terutama mereka yang memulainya dan mempunyai political vested interest (kepentingan politik) untuk memulai dan mengomporinya. Mari kita padamkan unrest ini sebelum menjadi revolt.(JIBI/Harian Jogja) -
Untuk memahami konteks historis gagasan agrarian unrest, ada baiknya kita melihat sekilas bentangan sejarah Jawa abad 19 dan awal abad 20. Secara garis besar, kurun itu dapat dibagi dalam beberapa periode yang menonjol.
Pertama, periode 1800-1830. Saat itu merupakan periode transisi dalam pemerintahan kolonial di Jawa. Hadir orang Prancis dalam diri Daendels (dengan pengaruh besar karena ia membuka jalan raya Anyer-Penarukan), dan hadir juga orang Inggris (dalam diri Thomas Stamford Raffles, namanya dikaitkan dengan nama bunga bangkai raksasa Sumatra, Rafflesia). Transisi ini berkaitan dengan percaturan politik di Eropa yang punya mirror effect di wilayah koloni. Apa yang terjadi di Eropa, pasti ada gemanya di negara jajahan.
Kedua, periode 1830-1870. Kurun itu ditandai beberapa peristiwa penting. Di Jawa ada Perang Jawa (Perang Diponegoro). Di Sumatra Barat ada Perang Padri (Imam Bonjol). Ada juga program cultivation system yang diterapkan atau dipaksakan pemerintah kolonial kepada petani di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Kebijakan itu disebut juga dengan nama lain, tanam paksa. Komoditas yang ditanam antara lain kopi, tembakau, tebu, lada, teh, karet. Tanam paksa dapat berlangsung karena ditopang oleh struktur dan sistem pemerintahan kolonial yang ada.
Ketiga, periode 1870-1900. Masa itu dikenal dengan sebutan periode liberal (liberal period). Banyak perusahaan swasta yang menanamkan modalnya terutama di Jawa dan Sumatra. Masuknya modal sebenarnya ditujukan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat, lewat penyediaan lapangan kerja yang luas. Ternyata hasilnya justru lebih buruk. Banyak petani kehilangan tanah sehingga mereka menjadi petani penggarap tanah dan bukan lagi pemilik.
Tanah sebagai salah satu alat produksi dalam lingkaran produksi kini terasing dari petani. Petani teralienasi dari alat produksinya. Sejalan dengan itu, muncul banyak tuan tanah baru yang bisa membeli dan menguasai tanah yang luas. Kebanyakan dari mereka berasal dari kelompok etnis tertentu (Arab, India, China dan segelintir elite lokal).
Dalam konteks seperti ini, muncul apa yang oleh Sartono disebut agrarian unrest. Petani yang terasing dari alat produksinya, menjadi resah dan gelisah. Hidup mereka kacau dan tidak tentu arah. Muncullah protes dan di beberapa tempat terjadi pemberontakan petani (peasants’ revolt), seperti yang terjadi di Banten pada 1888. Sartono yakin munculnya pemberontakan antikolonial di beberapa tempat di Jawa muncul karena beban hidup yang menghimpit petani.
Selain itu, ada unsur yang mengilhami pemberontakan antikolonial secara spiritual dan ideologis yaitu merebaknya ramalan Jayabaya tentang bakal munculnya Ratu Adil di Jawa. Sering pemimpin pemberontakan dipandang sebagai wujud Ratu Adil yang akan membawa keadilan dan kedamaian di Jawa. Harapan akan Ratu Adil dicampur sedikit di sana-sini dengan harapan akan kedatangan Imam Mahdi dalam bingkai visi teologi Islam.
Menyadari adanya agrarian unrest, pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan baru berupa reformasi agraria (agrarian reform). Pemerintah mencoba membatasi luasnya pemilikan tanah oleh tuan tanah. Tentu ada banyak pihak yang merasa amat dirugikan oleh kebijakan ini. Dalam pelaksanaan kebijakan baru, peran aparat pemerintahan sampai ke tingkat desa amat penting. Itu sebabnya, mereka tidak disukai rakyat.
Kehilangan orientasi
Rakyat kehilangan orientasi kepemimpinan. Semula rakyat berorientasi pada priyayi, kini berbalik menjadi antipriyayi karena mereka tidak lagi menjadi sosok pemimpin sejati tetapi menjadi alat pemerintah kolonial. Rakyat pun mencari sosok pemimpin baru. Secara tradisional mereka memiliki pemimpin baru dalam bidang rohani yaitu haji.
Haji menjadi model pemimpin alternatif dalam bidang keagamaan. Para haji yang juga pemilik tanah atau tuan tanah di beberapa tempat juga merasa dirugikan oleh kebijakan agrarian reform. Tentu mereka protes. Untuk itu, mereka membutuhkan pengikut. Di pihak lain, rakyat membutuhkan sosok pemimpin alternatif di luar priyayi. Ini kombinasi yang baik, blessing in disguise sekaligus bagi kedua pihak. Untuk memperkuat rasa saling membutuhkan itulah, dipakai perekat atau kohesi ideologi religius, yaitu gagasan Imam Mahdi.
Dalam arti tertentu, hari-hari ini, di Jogja juga sedang terjadi unrest. Bukan agrarian unrest seperti digagas Sartono, melainkan unrest lain. Saya sebut keresahan sosio-politis (socio political unrest). Itu semua berangkat dari diskusi mengenai status keistimewaan DIY. Saya bukan orang Jogja, melainkan perantau.
Ketika merantau ke Jawa, saya datang pertama kali ke Jogja sehingga kota ini seperti kampung sendiri bagi saya. Status keistimewaan DIY adalah fakta sejarah yang sudah lama ada dan diakui. Akan tetapi akhir-akhir ini seperti diguncang lagi, entah dengan motivasi apa, dan untuk tujuan apa. Saya tidak berspekulasi tentang motivasi dan tujuan seperti itu.
Di sini, saya hanya ingin mengatakan bahwa diskursus keistimewaan sekarang memunculkan socio political unrest di Jogja yang ikut memanaskan Jakarta dan bangsa secara keseluruhan. Mungkin keyakinan adagium politis yang mengatakan ”gempa” Jogja akan mengguncang Indonesia ada benarnya.
Saya takut, sebagaimana agrarian unrest di Banten pada akhir abad 19 bermuara pada pemberontakan, jangan-jangan socio political unrest di Jogja juga akan berakhir pada mimpi buruk seperti itu. Kita tentu berharap tidak. Mari bersama-sama mencegahnya, terutama mereka yang memulainya dan mempunyai political vested interest (kepentingan politik) untuk memulai dan mengomporinya. Mari kita padamkan unrest ini sebelum menjadi revolt.(JIBI/Harian Jogja) -
Oleh : Fransiskus Borgias M Dosen Fakultas Filsafat Unpar Bandung, mahasiswa doktoral ICRS
Opini Solo Pos 16 Desember 2010