15 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Habibie-Ainun ; Bagai Bunga Teratai

Habibie-Ainun ; Bagai Bunga Teratai

Bunga Teratai memiliki satu keunikan yaitu tumbuh indah di perairan yang kotor, berlumpur, dan kecoklatan. Namun, teratai memiliki bunga yang sangat indah dengan warna yang cemerlang. Bila putih, ia akan sangat kelihatan putih.
Ironis sekali dengan habitat bunga ini. Bunga ini sangat disukai oleh masyarakat di China. Sebab, bunga ini disebut-sebut sebagai tempat bersemedinya dewi.
Di Indonesia, kisah cinta Habibie dan Ainum pun tampak bagai bunga Teratai yang hidup di tengah perairan kotor. Sebab, kisah cinta yang begitu indah ini muncul di Indonesia yang sudah ternoda makna cintanya. Artis yang bolak balik diberitakan kawin cerai. Sinetron yang menonjolkan arti cinta yang tak jelas dan apa adanya. Lagu-lagu yang mencerminkan arti cinta yang asal adanya. Contohnya, lagu Melinda berjudul "Cinta Satu Malam". Bayangkan, kisah di suatu malam sepasang manusia bergulat di ranjang sudah dapat disebut cinta.
Kata cinta sekarang seperti sudah tak ada harganya. Setiap orang dapat mengaku cinta, cinta, dan cinta. Tentunya makna cinta disini sangat berbeda dengan makna yang ditorehkan Kang Alif dalam bukunya "Bahasa Menunjukkan Bangsa".
Kata Cinta merupakan padanan kasih yang disadap dari bahasa Spanyol yang berarti tali pita. Konon, di Indonesia Timur, orang yang bertunangan dahulu harus mengucapkan kasih-sayangnya di bawah tali pita (cinta) tersebut (Munsyi, A.D, 2005).
Jadi, dalam kata cinta, terkandung suatu komitmen yang teramat dalam. Suatu komitmen yang ditujukan pada keseriusan sepasang manusia untuk melangkah pada kehidupan yang di mana harus dijalani bersama.
Kata cinta merupakan suatu pertanda langkah kaki yang siap melangkah ke dalam kehidupan baru. Mengucap cinta berarti mengucapkan komitmen yang harus ditanggung seumur hidup bersama pasangannya. Tentunya sangat berbeda bukan dengan makna cinta masyarakat sekarang—yang umumnya banyak dipengaruhi oleh perfilman dan aktornya.
Dalam kondisi seperti inilah, Habibie dan Ainum muncul sebagai cerminan kata cinta yang masih murni. Selama 48 tahun 10 hari, mereka hidup dibalik janji pernikahan. Habibie dan Ainun menikah sejak 12 Mei 1962. Setelah menikah, Ainun menemani suaminya melanjutkan program Doktor di Jerman.
Di Jerman, negeri orang yang asing, saya rasa, Ainun sering kesepian. Dia harus sabar menanti Habibie berbagai perhatian antara dirinya dengan program doktornya yang pasti sangat sibuk. Penghasilan pun saya rasa tidak terlalu besar, mungkin sisa beasiswa Habibie. Namun, Ainun tetap sabar sebagai seorang istri. Demikian pula, saya percaya, Habibie tetap hadir sebagai suami yang tetap setia mendampingi sang istri dalam kegalauannya.
Di Jerman, Habibie dan Ainun menorehkan bukti cintanya lewat dua orang anak. Ainun pernah bekerja tapi berhenti demi cintanya pada suami, anak, dan rumah.
Tahun 1974, Presiden Soeharto memanggil pulang Habibie. Ainun pun turut bersama suaminya. Kesibukan pun berubah. Kini, Habibie seorang Menteri Riset dan Teknologi. Berarti, Ainun adalah Ibu Menteri Riset dan Teknologi.
Beberapa tahun kemudian, Indonesia kalut. Krisis moneter menghadang. Habibie pun mulai mendapat banyak kritikan. Sidang MPR menolak pertanggungjawabannya pada 14 Oktober 1999. Ia pun disalahkan atas berpisahnya Timor-timur dari NKRI. Ainun pun, saya rasa, menemani dalam pikiran Habibie yang bak kapal karam.
Ainun pun terdengar sering sakit semenjak itu. Dia sering bolak balik ke Jerman demi kesembuhan penyakitnya, Jantung. Pada hari Sabtu, 22 Mei, Ainun pun menghadap Sang Khalik, penciptanya. Habibie seorang diri tanpa raga istrinya. Roh dan kenangan tetap hidup di hati.
BJ Habibie pun terdampar dalam duka di gua sunyi. Dalam kesunyian, beliau melegendakan kisah cintanya lewat Buku Habibie-Ainun. Buku yang diharapkan dapat menjadi teladan dan inspirasi. Habibie bahkan tetap mengasihi sang Istri walau telah tiada.
Luar biasa, kisah cinta dan kesetiaan antar keduanya muncul di tengah kondisi bangsa yang sudah menyalahgunakan arti cinta. Sekertaris Jendral ASEAN Surin Pitsuwan pernah menyamakan Habibie-Ainun sebagai Romeo dan Juliet (Kompas, 2/12).
Namun, saya pikir, kisah Habibie-Ainun melebih karya Shakespeare itu. Mengapa? Kisah Habibie telah terukir oleh waktu yang lebih panjang. Perjalanan dan badai rintangan pun lebih banyak. Romeo dan Juliet, menurut saya, bisa jadi hanya emosi anak muda. Apakah Romeo dan Juliet akan mampu menetaskan kisah cinta lagi apabila berjalan 48 tahun? Salut buat Habibie-Ainun.
Karena itu, Indonesia pun harus berbangga. Kisah cinta nan indah ini terjadi dalam kehidupan seorang mantan Presiden RI. Suatu teladan tak ternilai buat seluruh anak Indonesia bahkan dunia. Indonesia perlu melahirkan seorang Shakespeare lagi buat melegendakan kisah cinta nyata ini untuk menginspirasi dunia. Terpenting, penghayatan cinta di Indonesia pun harus merunut pada Habibie-Ainun. Akankah tumbuh "bunga teratai" lain untuk memperindah Indonesia?***
Penulis adalah peminat Kisah Habibie Ainun
Opini Analisa Daily 15 Desember 2010