TIDAK dimasukkannya Kota Lama dalam Raperda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015 Kota Semarang makin membuat ngenes nasib kawasan itu. Betapa tidak, kawasan yang kaya akan bangunan bernilai sejarah tinggi itu yang selama ini merana berarti makin terabaikan.
Padahal jika dikelola dengan baik, kawasan itu punya potensi wisata yang layak jual. Banyak wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara, yang mengagumi eksotika wilayah itu. Salah satu ikonnya adalah Gereja Blenduk (Gereja Immanuel) yang menyimpan banyak histori dan pesona.
Kota Semarang relatif miskin objek wisata. Namun, kini bukan saatnya untuk merasa rendah diri karena kondisi itu. Justru sebaliknya, harus bangga karena memiliki potensi wisata yang jarang dimiliki oleh daerah lain di Indonesia. Yakni, Kota Lama yang pada masa Hindia Belanda disebut Outstadt. Luas kawasan ini sekitar 31 hektare.
Dilihat dari kondisi geografinya, kawasan ini terpisah dari daerah sekitarnya sehingga tampak seperti kota tersendiri. Pada zaman penjajahan, zonasinya untuk perkantoran pemerintahan kolonial sehingga mendapat julukan Little Netherland.
Kawasan itu merupakan saksi bisu sejarah Indonesia pada masa kolonial, lokasinya berdampingan dengan kawasan ekonomi. Di daerah itu sedikitnya ada 50 bangunan kuno yang masih berdiri kokoh dan lekat dengan sejarah kolonialisme. Dengan latar belakang sejarah dan banyaknya bangunan kuno maka kawasan tersebut sangat berpotensi dikembangkan untuk mendukung pariwisata, budaya, konservasi dan sebagainya.
Warisan tersebut patut dijaga dan dirawat. Jika tidak ada perhatian dan kesadaran untuk menjaga dan merawat sejarah dan budayanya, akan terjadi penurunan kuantitas dan kualitas pusaka sejarah dan budaya. Untuk itulah diperlukan penghargaan yang besar dari pemerintah dan masyarakat terhadap kawasan yang sarat dengan nilai sejarah itu.
Seyogianya kita perlu berkaca pada Jakarta, yang memiliki kawasan serupa dan dikenal dengan nama Kota Tua. Kawasan itu malah mendapat julukan Permata Asia dan di tempat tersebut sering digelar kegiatan seni dan budaya, sehingga makin melengkapi kesan eksotisnya. Berbagai acara yang diselenggarakan itu merupakan upaya memberdayakan kawasan yang terletak di Jakarta Barat, selain untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.
Kegiatan yang diselenggarakan misalnya Festival Tempo Doeloe, acara yang menyuguhkan nostalgia masa lalu Jakarta tahun 1950-1970. Kemudian pertunjukan wayang, pameran gambar-gambar kuno, pameran tembikar bertajuk “Karya Sang Maestro”, serta workshop merawat benda bersejarah.
Ikon Baru Belajar pula dari pengalaman, tahun 2007-2008 ada pembenahan di seputar Polder Tawang, Jalan Merak, dan depan Gereja Blenduk. Pembenahan waktu itu hanya terkonsentrasi pada penataan lingkungan jalan tanpa perbaikan saluran. Akibatnya, rob masih saja menggenangi wilayah itu sehingga beberapa bagian paving block ambles dan tak nyaman lagi dipandang atau dilewati kendaraan. Padahal kawasan yang dibenahi itu digadang-gadang menjadi city walk.
Gagalnya progam city walk yang dibangun Pemkot dengan tujuan awal untuk menghidupkan daerah tepi Polder Tawang dengan berbagai aktivitas masyarakat itu patut dijadikan pelajaran berharga. Di tempat itu sempat dikembangkan kios makanan dan ikan hias tapi tak berlangsung lama dan kini kiosnya telantar. Terlebih pada musim hujan, pemilik enggan membuka kiosnya karena sepi pengunjung.
Program pembangunan city walk sebenarnya sudah tepat, sekaligus rintisan revitalisasi kembali Kota Lama sebagai objek wisata heritage yang diharapkan bisa menjadi ikon baru. Tidak ada salahnya kini Pemkot lebih serius lagi membenahi Kota Lama, bekerja sama dengan berbagai pihak terkait. Konsekuensinya, Pemkot harus lebih serius memikirkan pengembangan kawasan itu, misalnya berupaya memasukkan Kota Lama dalam Raperda RPJMD.
Yang tidak kalah penting adalah menyamakan visi dan persepsi dengan pemilik bangunan-bangunan kuno itu. Jangan setengah hati menangani masalah ini. Terlebih sudah terbentuk Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) yang tugas utamanya menghidupkan kembali kawasan tersebut.
Bila semua pihak bersinergi maka tak ada hambatan untuk membuat wilayah itu menjadi lebih hidup. Jangan biarkan Kota Lama makin merana. (10)
— Tafrida Tsurayya, warga Kota Semarang
Padahal jika dikelola dengan baik, kawasan itu punya potensi wisata yang layak jual. Banyak wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara, yang mengagumi eksotika wilayah itu. Salah satu ikonnya adalah Gereja Blenduk (Gereja Immanuel) yang menyimpan banyak histori dan pesona.
Kota Semarang relatif miskin objek wisata. Namun, kini bukan saatnya untuk merasa rendah diri karena kondisi itu. Justru sebaliknya, harus bangga karena memiliki potensi wisata yang jarang dimiliki oleh daerah lain di Indonesia. Yakni, Kota Lama yang pada masa Hindia Belanda disebut Outstadt. Luas kawasan ini sekitar 31 hektare.
Dilihat dari kondisi geografinya, kawasan ini terpisah dari daerah sekitarnya sehingga tampak seperti kota tersendiri. Pada zaman penjajahan, zonasinya untuk perkantoran pemerintahan kolonial sehingga mendapat julukan Little Netherland.
Kawasan itu merupakan saksi bisu sejarah Indonesia pada masa kolonial, lokasinya berdampingan dengan kawasan ekonomi. Di daerah itu sedikitnya ada 50 bangunan kuno yang masih berdiri kokoh dan lekat dengan sejarah kolonialisme. Dengan latar belakang sejarah dan banyaknya bangunan kuno maka kawasan tersebut sangat berpotensi dikembangkan untuk mendukung pariwisata, budaya, konservasi dan sebagainya.
Warisan tersebut patut dijaga dan dirawat. Jika tidak ada perhatian dan kesadaran untuk menjaga dan merawat sejarah dan budayanya, akan terjadi penurunan kuantitas dan kualitas pusaka sejarah dan budaya. Untuk itulah diperlukan penghargaan yang besar dari pemerintah dan masyarakat terhadap kawasan yang sarat dengan nilai sejarah itu.
Seyogianya kita perlu berkaca pada Jakarta, yang memiliki kawasan serupa dan dikenal dengan nama Kota Tua. Kawasan itu malah mendapat julukan Permata Asia dan di tempat tersebut sering digelar kegiatan seni dan budaya, sehingga makin melengkapi kesan eksotisnya. Berbagai acara yang diselenggarakan itu merupakan upaya memberdayakan kawasan yang terletak di Jakarta Barat, selain untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.
Kegiatan yang diselenggarakan misalnya Festival Tempo Doeloe, acara yang menyuguhkan nostalgia masa lalu Jakarta tahun 1950-1970. Kemudian pertunjukan wayang, pameran gambar-gambar kuno, pameran tembikar bertajuk “Karya Sang Maestro”, serta workshop merawat benda bersejarah.
Ikon Baru Belajar pula dari pengalaman, tahun 2007-2008 ada pembenahan di seputar Polder Tawang, Jalan Merak, dan depan Gereja Blenduk. Pembenahan waktu itu hanya terkonsentrasi pada penataan lingkungan jalan tanpa perbaikan saluran. Akibatnya, rob masih saja menggenangi wilayah itu sehingga beberapa bagian paving block ambles dan tak nyaman lagi dipandang atau dilewati kendaraan. Padahal kawasan yang dibenahi itu digadang-gadang menjadi city walk.
Gagalnya progam city walk yang dibangun Pemkot dengan tujuan awal untuk menghidupkan daerah tepi Polder Tawang dengan berbagai aktivitas masyarakat itu patut dijadikan pelajaran berharga. Di tempat itu sempat dikembangkan kios makanan dan ikan hias tapi tak berlangsung lama dan kini kiosnya telantar. Terlebih pada musim hujan, pemilik enggan membuka kiosnya karena sepi pengunjung.
Program pembangunan city walk sebenarnya sudah tepat, sekaligus rintisan revitalisasi kembali Kota Lama sebagai objek wisata heritage yang diharapkan bisa menjadi ikon baru. Tidak ada salahnya kini Pemkot lebih serius lagi membenahi Kota Lama, bekerja sama dengan berbagai pihak terkait. Konsekuensinya, Pemkot harus lebih serius memikirkan pengembangan kawasan itu, misalnya berupaya memasukkan Kota Lama dalam Raperda RPJMD.
Yang tidak kalah penting adalah menyamakan visi dan persepsi dengan pemilik bangunan-bangunan kuno itu. Jangan setengah hati menangani masalah ini. Terlebih sudah terbentuk Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) yang tugas utamanya menghidupkan kembali kawasan tersebut.
Bila semua pihak bersinergi maka tak ada hambatan untuk membuat wilayah itu menjadi lebih hidup. Jangan biarkan Kota Lama makin merana. (10)
— Tafrida Tsurayya, warga Kota Semarang
Wacana Suara Merdeka 16 Desember 2010