15 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Handphone, Pengikis Etika dan Moral Kita

Handphone, Pengikis Etika dan Moral Kita

Oleh : Laston Lumbanraja
Teknologi selalu mem punyai dua sisi. Ya.. begitulah faktanya. Artinya kehadiran sebuah produk teknologi sejak jaman dahulu kala selalu mempunyai dua dampak terhadap kehidupan manusia.
Tentu saja ada dampak baik atau positif dan ada dampak buruk atau negatif. Dari segi ukuran ada dampak besar, ada pula hanya dampak kecil. Dari sudut waktu dapat pula diklasifikasikan dampak yang terjadi secara cepat, ada pula secara lambat. Tergantung produk teknologi mana yang sedang memasuki kehidupan masyarakat pada satu dekade waktu tertentu.
Handphone adalah satu produk teknologi modern yang memasuki kehidupan manusia di abad ke-20. Sebagai satu produk teknologi bidang informasi dan komunikasi yang sangat cepat, akurat dan efektif, pastilah Handphone menjadi barang penting bagi setiap orang di alam jagad raya ini. Bagaimana tidak, dengan menggenggam sebuah hanphone, kita bisa dengan mudah dan cepatnya melakukan komunikasi dengan orang lain. Baik melalui berbicara langsung atau melalui pesan singkat atau sms (short message service).
Salah satu contoh misalnya, orang Samosir yang dulunya bila ingin memberitahukan informasi kepada keluarga di perantauan, katakanlah Medan, hanya ada dua opsi yaitu mengirim surat melalui kantor pos atau harus datang sendiri ke tempat tujuan. Selain menyita waktu, juga menyita tenaga, pikiran dan terutama membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akan tetapi dengan kehadiran handphone, setiap orang dengan sangat mudah sekali menyampaikan dan menerima informasi kepada dan dari teman, keluarga, dosen, pendeta atau siapa saja.
Belum lagi, nampaknya dari waktu ke waktu produsen handphone selalu menghasilkan kreasi-kreasi yang menciptakan fasilitas-fasilitas baru dalam hanphone yang sangat memanjakan pemakainya. Katakanlah produk video call (3G) yang sangat memanjakan kita bisa sambil menelepon saling melihat paling tidak wajah penerima dan pemanggil. Belum lagi akhir-akhir ini Handphone telah dilengkapi fasilitas internet, java, dan berbagai produk teknologi lainnya. Sehingga sulit untuk menyangkal bahwa Handphone telah menjadi barang WAJIB bagi setiap orang di dunia ini.
Akan tetapi sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, rela atau tidak rela bahwa handphone telah membawa kehidupan kita pada sebuah perubahan sosial yang secara cepat dan berdampak besar sampai pada sendi-sendi kehidupan social masyarakat. Karena sebenarnya handphone telah secara jelas dan beringas mengikis bahkan menyandera nilai-nilai moral dan etika kita. Dan tanpa terkecuali kita telah tersandera pada ketergantungan yang keterlaluan terhadap sebuah handphone. Seorang anak remaja bilang: Saya suntuk benar kalau satu jam saja tanpa handphone. Dan kalau mau jujur, hampir semua kita akan mengalami hal yang sama, jika sebentar saja tanpa handphone, Benar atau sadar ndak kita sih??
Lebih dalam lagi, Hanphone telah mengikis nilai-nilai moralitas dan etika kita sebagai bagian dari masyarkat. Apalagi kita orang Indonesia yang masih di kenal dengan adat ketimuran dengan nilai-nilai moral dan sopan santun serta tutur kata yang sangat beradab.
Di gereja misalnya, kita sudah menyaksikan bagaimana handphone seolah punya magnet yang sangat besar sehingga susah melepaskan diri dari tangan dan jari kita meski saat ibadah kepada Tuhan sekalipun. Sehingga tidak heran, pada saat Pendeta mulai berkhotbah, jemaat dan pemuda khususnya seolah tanpa rasa segan dan takut lagi asik mengutak-atik hanphone. Atau pada saat menyanyi (juga memuji Tuhan) jemaat malah sesering mungkin lirik-lirik handphone sambil senyam-senyum entah apa kata handphonenya kepada pemilik yang telah disanderanya. Mungkin saja bukan hanya di gereja gejala ini terjadi, mungkin saja Masjid atau Wihara tak lepas dari tingkah manusia yang juga telah tersandera oleh handphone. Ternyata urusan manusia dengan Tuhannya juga telah turut dikangkangi oleh sebuah benda kecil bernama handphone.
Nilai-nilai moral dan etika dalam keluarga juga tak terhindar dari pengaruh negative si handphone ini. Bayangkan di depan mertua sendiri, seorang menantu bisa saja tanpa basa-basi menerima dan menelepon teman atau suaminya sambil ketawa-ketiwi bahkan suara nyaring tanpa menghiraukan kegusaran mertuanya yang merasa asing dengan kebiasaan modern generasi sekarang. Atau sampai tengah malam bertelepon dan bermesra ria dengan pacar, suami tanpa mempertimbangkan orang tua yang sudah mau muntah melihat tingkah dan pola bicara kita. Apalagi handphone tidak pernah toleransi dengan waktu. Sehingga seorang anak misalnya sudah terbiasa melakukan komunikasi telepon melalui hanphone selama ber jam-jam bahkan sampai larut malam bahkan subuh.
Bagaimana pula dengan dunia Sekolah
atau Pendidikan yang nota benenya di huni oleh anak-anak remaja dan mahasiswa yang mengklaim sebagai konsumen yang paling membutuhkan handphone?? Huwa..huwa..huwa jaman saya dulu, ketika seoran guru yang adalah pahlawan tanpa tanda jasa sedang menerangkan sebuah topik pelajaran, maka senyum sedikit saja, atau melirik sebentar saja, bisa-bisa si guru sudah mendampar kita. Atau sedikit ribut saja dengan teman sebangku, hamper pasti kita akan kena sanksi berdiri angkat satu kaki selama satu jam di depan teman-teman. Itulah sebagai bukti tingginya nilai-nilai disiplin dan moral kita terhadap guru kita, juga sebagai bukti saling menghormati dan menjaga ketertiban sesama siswa sekolah.
Lalu bagimana kini?? Ha. hahaha.. Lagi-lagi handphone telah menyandera kita, menyetir perilaku kita dan membawanya kemana dia suka. Masih adakah pelajar di kota kita yang tidak mengantongi sebuah handphone ketika berangkat ke sekolahan? Mungkin saja masih ada, tapi berapa orang? Masih adakah siswa atau mahasiswa yang merasa segan dan hormat kepada guru, atau ternyata sudah serasa tak ada lagi batas-batas sopan santun sehingga dengan santai dan mudahnya mengirim sms atau menelpon guru meski tak penting sekalipun? Lalu apa yang dilakukan seorang mahasiswa atau siswa terhadap handphone nya ketika seorang guru atau dosen sudah berkeringat memberikan pelajaran di ruangan?
Tragisnya lagi, sebuah hubungan yang tak sepantasnya antara seorang guru dan siswa sepertinya sudah jadi fenomena saat ini. Sudah biasa kita dengar seorang pengajar dan anak didik memiliki hubungan yang tak wajar, hanya bermula dari kebiasaan seorang siswa yang sering-sering menghubungi si pengajar melalui hand phone. Seorang pelajar seolah sudah tanpa batas leluasa dan tak mengenal waktu lagi berkomunikasi handphone dengan gurunya. Si pelajar punya motif perbaikan nilai, dan si guru pun lama-lama punya jurus untuk suatu motif. Kenapa bisa terjadi? Bang napi bilang, Kejahatan bisa terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi karena ada kesempatan. Hm.. hm.. Gara-gara handphone..
Itu hanyalah satu dari contoh yang tak terhitung lagi jumlah kasusnya. Yang jelas pengaruh negative hanphone telah menciptakan perubahan sosial yang sangat cepat dan berskala besar pada sendi-sendi kehidupan manusia terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Yang membuat saya sedih adalah, nampaknya dampak itu susah untuk dibendung. Masyarakat kita sudah keburu tersandera dengan fenomena ini sehingga sudah hampir menjadi lifestyle kita semua. Sehingga secara budaya dan etika local, penyakit ini nyaris tak tersembuhkan lagi. Seorang Pendeta mungkin hanya bisa sekedar menyarankan saja untuk mengurangi ketergantungan terhadap handphone pada saat ibadah. Demikian pun seorang guru mungkin hanya bisa sekedar menegor saja kepada seorang murid yang rajin mengutak-atik handphone saat sedang berjalan proses belajar mengajar. Sehingga kecil sekali kemungkinan untuk membendung penyakit ini.
Lalu kalau secara formal diciptakan aturan untuk membendung fenomena ini, mungkinkah??
Polantas Bisa Jadi Pionir
Yang jelas saya dan kita berharap selain hukum tak tertulis berupa anjuran, pendekatan adat dan budaya, kita berharap pemerintah memikirkan sebuah kebijakan arif dan bijaksana serta mencerminkan keadilan untuk mengatasi dan meminimalisir penyakit yang ditimbulkan oleh sebuah produk teknologi bernama handphone ini. Memang sulit mung kin, selain pemerintah bisa di anggap terlalu intervensi, membuat kerangka dan pola serta landasan hukum kebijakan pun tidak gampang di tengah-tengah bangsa yang masih kental euforia demokrasi dan reformasi.
Akan tetapi kemungkinan dan peluang tetap ada, mengingat dampak dan pengaruh handphone cukup besar mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat dan generasi muda kita. Dan saya menaruh harap kepada Polisi dalam hal ini Polisi Lalu Lintas sebagai pionir. Kenapa bisa jadi pionir? Karena sebenarnya dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2009 pasal 283 tentang Lalu Lintas di sebutkan:
"..Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana dimakud dengan pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 750.000.
Produk Undang-Undang inilah yang kita harapkan bisa dijadikan oleh Polisi untuk secara tegas dan jelas melarang setiap pengguna Kendaraan bermotor menggunakan handphone sambil berkendara. Karena bisa dikenakan pidana kurungan dan atau denda. Dan untuk lebih mempertajam tujuan dan makna pasal 283 ini, Pemerintah daerah diminta untuk mengeluarkan perda secepat mungkin.
Jika Pemda dan polisi mam pu dan berhasil menjalankan Pasal 283 ini, maka itu bisa melecutkan para pemimpin komunitas (mulai dari Pendeta, Guru, Ustad, Direktur) untuk mempengaruhi komunitasnya guna mengembalikan etika dan moral kita yang sempat tersandera oleh sebuah produk teknologi bernama handphone. Semoga saja, dan mari kita mulai dari diri kita sendiri. Mari pergunakan handphone seperlunya dan gunakan pada waktu, kondisi dan tempat yang sebenarnya sembari kita tunggu kabar dari Polisi lalu Lintas. ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial, politik dan ketatanegaraan Indonesia. Ketua Biro Pemuda GPI Kota Medan Sekitarnya
Opini Analisa Daily 16 Desember 2010