Paulus Mujiran
Aktivis LSM, tinggal di Semarang
Penangkapan tersangka teroris Abu Tholut di Bae, Kudus Jawa Tengah yang diduga terlibat perampokan Bank CIMB Niaga Medan disambut dingin masyarakat. Padahal, penangkapan Abu Tholut melengkapi penggerebekan paket bom di Jakarta, disusul kemudian di Tegal, Jawa Tengah. Penghargaan layak diberikan kepada Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri yang melaksanakan tugas amat penting memberangus gembong teroris kelas wahid yang menjadi buronan polisi. Konon menurut sumber-sumber kepolisian para tersangka teror tengah menyiapkan aksi untuk hari natal dan tahun baru mendatang.
Tentu saja publik pantas bangga atas keberhasilan Densus 88 Antiteror 88 Mabes Polri. Entah ada kaitan atau tidak yang jelas baru saja publik dikejutkan dengan ledakan bom di depan gereja di Sukoharjo Jawa Tengah. Dengan tertangkapnya Abu Tholut kian membuktikan bahwa jaringan kini sudah semakin luas dan tidak pernah mati. Aksi terorisme tampaknya belum akan punah. Situasi ini mencemaskan karena sebagian yang belum tertangkap memiliki keterampilan merekrut pemuda baik sebagai pengantin bom maupun sebagai ahli-ahli perakitan bom.
Tentu saja penangkapan Abu Tholut di Kudus pantas diapresiasi karena tidak terjadi baku tembak yang menewaskan tersangka. Dalam teori dikatakan lebih baik seorang teroris mati daripada ditangkap hidup karena harus berhadapan dengan pengadilan manusia yang tidak mereka percayai. Ditangkap dalam keadaan hidup dan kemudian diadili serta membongkar satu per satu jaringannya termasuk menunjukkan kawan-kawannya yang belum tertangkap dalam ideologi terorisme disebut pengkhianat.
Dan itu tampaknya yang tidak disukai para tersangka teroris sehingga jika ketangkap lebih baik melawan petugas agar ditembak mati. Andai tersedia pilihan bagi para teroris lain antara ditembak mati atau menyerah hidup tentu mereka lebih memilih ditembak mati. Penangkapan Abu Tholut dalam keadaan hidup memberikan harapan akan membantu Densus 88 untuk mengungkap jaringan lainnya.
Meski begitu sejumlah tanda tanya besar masih menggelayut mampukah jaringan pelaku teror yang sudah menyebar ini diberantas sampai tuntas? Apalagi seperti kata pepatah ideologi terorisme tidak pernah mati. Ibaratnya hilang satu akan tumbuh seribu dan bahkan pikiran itu sudah meracuni sebagian anak-anak remaja dan pemuda. Melihat pola aksi yang kian meluas harus ditumbuhkan kewaspadaan di kalangan masyarakat terhadap aksi-aksi teroris.
Yang tidak kalah penting untuk diwaspadai adalah metamorfosis teror Indonesia yang diawali dengan retaliasi (pembalasan). Aksi retaliasi ini merupakan balas dendam sekaligus pembuktian bahwa jejaring tetap bisa bertahan. Pengalaman Kolombia dalam penumpasan gembong-gembong teror menunjukkan aksi retaliasi ini biasanya tidak berwujud suatu serangan teror dalam skala besar tetapi lebih ditujukan kepada individu-individu yang dianggap paling bertanggung jawab. Dan itu kini yang terjadi di Indonesia. Mereka tidak hanya menyerang fasilitas umum yang banyak dikunjungi turis asing tetapi juga fasilitas ekonomi seperti bank.
Bukan tidak mungkin dari dua tersisa yang sampai kini belum tertangkap melanjutkan tandem kepemimpinan dengan cara menjadikan Indonesia sebagai front kedua perlawanan Al Qaeda. Jika front kedua ini terbentuk Indonesia akan melihat eskalasi ancaman teror ke tingkat yang lebih tinggi. Dan perubahan ini secara signifikan akan mengubah sasaran teror yang menurut Andi Wijayanto 58 persen fasilitas bisnis. Dengan begitu kelak akan terdapat ancaman serius di bidang ekonomi.
Dengan demikian harus ada strategi kontrateror tidak hanya memperkuat Densus 88 tetapi juga meniadakan faktor penyebab seperti kemiskinan dan penanganan para mantan napi terorisme. Pemenjaraan, hukuman mati, dan penghukuman terbukti kurang berhasil menimbulkan efek jera. Sebagian besar pelaku teroris baik yang tertangkap dan belum tertangkap di antaranya adalah para residivis terorisme yang pernah mendekam di penjara.
Deradikalisasi tidak boleh menyisakan masalah dengan bangkitnya para residivis teroris yang pernah dipenjara ke dalam aksi-aksi baru. Dengan pengalaman yang mereka miliki tentu mereka lebih mudah mengorganisir kelompoknya. Apalagi pembinaan dan pemantauan pasca dalam penjara tidak berlanjut. Rupanya ideologi teror yang mereka miliki tidak pernah pudar dan tidak akan pudar hanya dengan pemenjaraan.
Namun begitu kita yakin Densus 88 tidak akan gentar menghadapi situasi sulit sebagaimana mereka telah teruji selama ini dalam pemberangusan gerakan teror meski harus disertai dengan deradikalisasi. Dan rupanya Densus 88 semakin tertantang untuk menjadi primadona penanganan teror di masyarakat. Hal ini terbukti dengan membuncahnya kepercayaan publik kepada Densus 88 yang saat ini mencapai puncaknya.
Opini Lampung Post 16 Desember 2010