15 Desember 2010

» Home » Media Indonesia » Opini » Merajut kembali Iptek Indonesia

Merajut kembali Iptek Indonesia

Luasnya laut, daratan, dan kekayaan sumber daya Indonesia telah menjadi berkah khusus bagi Indonesia untuk menikmatinya. Dengan cara apa kita menikmatinya? Bagaimana cara mengangkatnya dari perut bumi, bagaimana mengonversinya menjadi sesuatu yang layak guna, layak pakai, dan layak konsumsi? Semua tentu memakai cara, memakai metode, memakai ilmu, memakai teknologi, memakai inovasi, yang dikenal dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Negeri ini berisi orang-orang hebat. Terbukti dari prestasi mereka dalam kancah internasional, melalui olimpiade matematika, kimia, fisika, dan biologi, yang selalu mendapat tempat terhormat. Lalu apa tindak lanjut dari semua itu untuk mendayagunakan putra-putri terbaik bangsa? Di tangan mereka bakal lahir inovasi-inovasi baru yang menjadi simbol eksisnya suatu bangsa.
Acara Kick Andy di Metro TV banyak mengekspos orang-orang hebat yang lahir di negeri ini. Bagaimana seorang Nelson Tansu menjadi profesor termuda di Amerika dengan kemampuan personal yang luar biasa, dan keahliannya diakui secara internasional. Bagaimana salah seorang putra terbaik bangsa juga kini tengah menduduki pucuk pimpinan HRD di PLN-nya Swedia. Iklim penelitian di sana sungguh kondusif, dana sangat layak (defenisi layak mengacu pada internasional), dana mengucur tepat waktu, prosedur administrasi mudah, dan budaya aparatur negaranya bersih. Sehingga proses pencairan dana riset tepat waktu dan tidak ada yang dicuri. Budaya yang entah kapan bisa ada di bumi ini.
Di era 1970-an dunia takjub akan dunia iptek lewat misi Apollo 13 ke Bulan. Tepatnya 11 April 1970, ketika Apollo 13 tengah meluncur tiba-tiba mengalami kendala teknis. Semua ini menyebabkan kondisi kritis bagi semua astronautnya, dan pilihannya adalah hidup atau mati. Namun, kemudian para insinyur di stasiun pengendali Houston tanpa lelah menghitung secara konvensional, mengalkulasi secara presisi agar modul dari Apollo bisa kembali ke Bumi dengan selamat. Kalkulasi di atas kertas ternyata mampu membimbing para astroauot untuk kembali dengan selamat ke Bumi. Sejarah iptek pun telah ditorehkan dalam penyelamatan 33 pekerja tambang di Cile. Dengan teknologi kapsul yang mampu menembus bawah Bumi, akhirnya 33 pekerja yang terjebak di areal penambangan selama berbulan-bulan bisa terselamatkan.
Dua peristiwa besar yang berbeda era tersebut menunjukkan bahwa dari masa ke masa capaian iptek yang ada di dunia begitu dinamis dan meningkat pesat. Ada konsistensi dalam menempatkan iptek sebagai soko guru perekonomian. Sebagai senjata dan sebagai wahana kemakmuran bagi bangsa yang melakukannya. Melihat hal tersebut, muncul suatu pertanyaan dalam benak kita bagaimana dengan bangsa kita?
Bila melirik ke fasilitas-fasilitas yang sudah diinisiasi di masa BJ Habibie sebagai menristek, kondisi saat ini sungguh mengenaskan. Tempat yang diisi putra-putra hebat bangsa ini dalam kondisi memprihatinkan. Apabila pemerintah konsisten dan berkomitmen untuk membawa bangsa Indonesia maju, tentu tidak akan ada laboratorium yang menganggur dan menjadi besi tua. Apalah susahnya mengalokasikan anggaran yang layak untuk perawatan fasilitas. Sangat tidak rugi bila pemerintah mengalokasikan anggaran yang sangat rasional untuk kemajuan iptek bangsa. Hal itu sangat wajar karena di lumbung inovasi akan melahirkan 'senjata' untuk kemajuan bangsa. Pemerintah harus sadar negara ini wajib mengalokasikan dana iptek besar, kontinu, dan progresif untuk investasi bangsa ini.
Anggaran iptek saat ini masih di bawah 1% dari APBN, dari sudut pandang apa pun tidak bisa bermakna banyak. Tidak perlu jauh-jauh, di lingkungan ASEAN saja anggaran iptek Indonesia paling kecil. Padahal potensi anak bangsanya luar biasa. Lalu apa peran pusat penentu kebijakan nasional melihat hal ini? Banyak sistem yang salah. Kementerian yang berposisi sebagai pembuat kebijakan malah sebagai pelaksana teknis juga. Bila melihat di negara-negara maju, kementerian tidak ada yang menjadi penerima dana dari aspek apa pun. Mereka hanya membuat kebijakan, dan eksekusinya diserahkan kepada pihak-pihak yang kompeten. Apakah melalui kontrak kepada laboratorium universitas dan pusat penelitian terbaik di negaranya, atau kepada konsultan yang memang andal ataupun kepada perusahaan-perusahan yang berkelas.
Sangat perlu pemerintah mengajak dewan meninjau ulang regulasi tentang iptek yang ada. Dengarkan, simak, pertimbangkan masukan-masukan dari putra-putra hebat kita, dan kemudian dilaksanakan. Kita tidak bisa hanya sekadar marah dengan melayangkan protes diplomatik kepada negara lain yang menyerobot batas wilayah. Saat ini kondisi alutsista kita tidak berfungsi optimal dan mumpuni, sehingga terbatas untuk mengawal sumber daya alam kita yang begitu luas. Putra-putri bangsa sesungguhnya sangat berpotensi dalam membuat alutsista terbaik juga. Hanya saja kesempatan itu belum sampai secara signifikan. Jangan sampai negara lain yang memberi kesempatan dengan godaan dana iptek yang besar.
Peta iptek Indonesia sampai 2025, 2050, dan 2100, bagaimana? Kita tidak ingin mewariskan kebangkrutan kepada anak cucu kita. Seharusnya semua proyek nasional harus dikerjakan putra-putri bangsa, bukan orang asing. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus bisa merajut iptek Indonesia kembali dengan perencanaan yang baik, tata kelola yang baik melalui beberapa tahapan.
Pemerintah harus bisa menghilangkan simpul-simpul penghambat iptek seperti pajak untuk dana riset. Melancarkan simpul aturan dan birokrasi yang menghambat. Pemerintah juga harus bisa menciptakan kultur sehat di dunia penelitian dengan cara menambah dana riset yang sesuai, layak, serta rasional. Dalam menyelesaikan persoalan iptek nasional ini, pemerintah dan wakil rakyat harus duduk bersama untuk menyamakan pemikiran dan visi, termasuk merevisi aturan yang berkontribusi menghambat gerak maju iptek Indonesia.
Tentu saja hal ini akan semakin sempurna bila media massa cetak dan elektronik ikut mengibarkan betapa pentingnya memajukan iptek berkarakter Indonesia.

Oleh M Evri, Perekayasa BPPT
Opini Media Indonesia 16 Desember 2010