Teknologi berdampak besar pada kesejahteraan. Tidak ada keraguan bahwa manajemen teknologi akan mengangkat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, baik di negara berkembang maupun negara maju (Li Hua & Khalil, 2006).
Apa yang dimaksud dengan manajemen teknologi? Manajemen teknologi adalah menggabungkan rekayasa, sains, dan manajemen berbagai disiplin untuk merencanakan, mengembangkan, dan mengimplementasikan kemampuan teknologi untuk mencapai tujuan strategis dan operasional organisasi (National Research Council, 1987). Penguasaan teknologi membutuhkan campur tangan pemerintah sebagai fasilitator.
Campur tangan pemerintah tidak hanya di riset dan pengembangan, tetapi juga menyiapkan sumber daya manusia dan masuknya investasi asing, baik langsung, joint venture, maupun kerja sama dengan perusahaan multinasional. Sebagai contoh, Jepang antara 1970-1975 mencoba mengejar ketinggalan dari Amerika Serikat (AS) dalam penguasaan teknologi IC (integrated circuit), MITI (Ministry of International Trade and Industry) dengan cara memberikan bantuan penelitian sebesar USD10 juta kepada industri elektronika untuk meningkatkan kemampuan nasionalnya (Narayanan, 2001).
Pengembangan industri Jepang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 setelah Perang Dunia II dibantu oleh tenaga kerja asing dan SDM yang telah kembali dari belajar di Barat (Sunami, APO 2007). Industri automotif dan peralatan listrik Jepang berkembang pesat setelah bekerja sama dengan AS dan Eropa. Demikian pula, industri elektronika Korea Selatan dan Taiwan berkembang pesat setelah tenaga kerjanya punya pengalaman kerja di perusahaan Jepang dan AS.
Sedangkan manajemen teknologi China mengalami beberapa fase berkelanjutan, yang dimulai pada 1978, ketika Deng Xiaoping mulai membuka diri dengan dunia luar dan memulai reformasi ekonomi pascarezim Mao Zedong. Riset dan pengembangan dilakukan oleh Chinese Academy of Sciences, lembaga penelitian maupun perguruan tinggi menuju tahap komersialisasi yang didukung kuat oleh pemerintah. Pemerintah China, BUMN, dan Universitas adalah pendorong utama transfer teknologi (Zhang, 2008).
Titik balik terpenting teknologi China adalah ketika Deng Xiaoping pada 1992 mengundang investor asing yang dimulai dari daerah provinsi bagian selatan yang mempunyai akses pelabuhan. Sejak saat itulah, secara dramatis investasi asing masuk ke China dengan membawa modal, keahlian, dan teknologi. Dengan penguasaan teknologi dan pembangunan yang pesat di dalam negeri, pada periode 2001-2007, ekonomi China mempunyai pertumbuhan rata-rata gross domestic product (GDP) sebesar 11,15% (ADB, 2010).
Pada periode yang sama, pertumbuhan GDP India rata-rata sebesar 6,76%, sedangkan Indonesia 4,51%. Pada 2009, China menempati ranking GDP nomor tiga dunia setelah AS dan Jepang (World Bank, 2009). Kini China sudah mengekspor teknologinya dari mulai mainan, automotif, alat berat, telekomunikasi, dan informasi, sampai pembangkit listrik yang telah diterapkan pada program percepatan tenaga listrik 10.000 MW oleh PLN. Perusahaan raksasa China yang sudah mendunia yakni Lenovo, Haier, Huawei, Baosteel, CNOOC, dan lainnya.
Pada 2010, 46 perusahaan China masuk dalam jajaran raksasa dunia versi majalah Fortune. Perusahaan-perusahaan itu mayoritas BUMN. Sementara India memasukkan delapan perusahaan, Malaysia satu perusahaan, Petronas, yang dulunya adalah murid Pertamina. Selain dukungan pemerintah dan melimpahnya SDA, penguasaan teknologi memerlukan strategic intent yaitu obsesi untuk unggul dan bertahan 10-20 tahun di percaturan global (Burgelman et.al, 2001).
Strategi manajemen teknologi tidak persis sama untuk masing-masing negara, tergantung kondisi politik, geografis, budaya, sumber daya alam (SDA), SDM, dan ekonomi negara saat itu. Bagaimana dengan Indonesia? Untuk Indonesia, mengejar teknologi tinggi dan semikonduktor adalah memang sulit, terutama ketika AS, Jepang, Eropa, Korea, Taiwan, dan China sudah lama memulai.
Belajar dari pengalaman di atas, penguasaan teknologi harus dilakukan dengan riset dan pengembangan, meningkatkan kemampuan dan keahlian SDM, dan mengundang investasi asing. Proses transfer teknologi tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak era Menristek BJ Habibie ketika ia mengirimkan mahasiswa dalam jumlah besar untuk sekolah ke negara-negara maju, kemudian membentuk BPPT, Puspitek, dan merehabilitasi lembaga penelitian lain yang didukung industri strategi seperti IPTN, Krakatau Steel, Barata, BBI, LEN, dan PINDAD.
Indonesia dan Sumber Daya Alam
Secara geografis, letak Indonesia sangat strategis, di antara dua benua dan dua samudera. Semua jalur pelayaran dan perdagangan dari timur dan barat akan melewati selat Malaka. Jumlah penduduknya mencapai 243 juta (Xist, 2010), terbesar keempat dunia setelah China, India, dan AS, merupakan pasar potensial untuk perdagangan domestik dan asing. Indonesia mempunyai SDA melimpah, yang apabila diolah maksimal akan menjadikannya menjadi salah satu negara besar dunia.
Indonesia termasuk dari tiga negara yang mempunyai hutan terluas di dunia dan menjadikannya mempunyai megabiodiversity (keanekaragaman hayati) yang sangat besar (Nationalgeographic, 2010). Karena minimnya infrastruktur, pada 1978, menjadikannya sebagai salah satu negara terbesar pengekspor kayu gelondongan (Zikri, 2009). Indonesia kini termasuk negara terbesar pengekspor kayu lapis, kertas, dan bubur kertas (pulp).
Di sektor kelautan, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih dari 17.000 pulau, mempunyai luas lautan sekitar 5,8 juta kilometer persegi, dan diperkirakan dapat memproduksi ikan dan produk perikanan sebesar 6,26 juta ton per tahun (Worldfishing, 2005). Sekalipun perikanan sangat besar akan tetapi industrinya tidak berkembang maksimal karena fasilitas dan infrastruktur yang masih buruk.
Di sektor pertanian dan perkebunan, Indonesia terletak di daerah tropis yang dilewati garis khatulistiwa, tanahnya sangat subur dan menghasilkan produk perkebunan yang melimpah. Pada 2009, Indonesia sebagai produsen CPO (crude palm oil) terbesar di dunia, menyalip Malaysia, dengan produksi lebih dari 20,9 juta ton. Sedangkan untuk karet, Indonesia adalah produsen nomor tiga dunia setelah Thailand dan Malaysia (Jakarta Post, 2009), dan diperkirakan pada 2020 akan menjadi produsen terbesar di dunia dengan produksi 4 juta ton per tahun.
Untuk komoditas kakao (biji cokelat), Indonesia adalah produsen nomor tiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana (BSN, 2010). Untuk kopi, Indonesia adalah produsen nomor empat dunia setelah Brasil, Kolombia, dan Vietnam (Coffeeasean, 2010) dan produsen teh nomor tujuh dunia (FAO, 2010). Di sektor energi, Indonesia adalah eksportir batu bara nomor dua dunia setelah Australia (IEA, 2010) dan eksportir LNG (liquefied natural gas) nomor tiga dunia setelah Qatar dan Malaysia (Xinhua, 2009).
Di samping migas, Indonesia juga mempunyai potensi tenaga air sebesar 75 gigawatt dan mini/micro hydro sebesar 459 MW. Untuk energi panas bumi (geothermal), Indonesia mempunyai sumber daya terbesar di dunia. Sebanyak 40% sumber daya panas bumi dunia terletak di Indonesia yaitu sebesar 27 gigawatt listrik (ESDM, 2007). Di sektor mineral, Indonesia dikaruniai kekayaan mineral yang besar seperti tembaga, emas, perak, timah, nikel, bauxite, dan mineral lainnya.
Potensi sumber daya dan cadangan mineral metalik tersebar di 437 lokasi di Indonesia bagian barat dan timur. Indonesia termasuk lima besar dunia sebagai produsen tembaga dan nikel dan untuk timah menempati posisi nomor dua dunia setelah China. Sedangkan untuk produsen emas termasuk 10 besar dunia (USGS, 2008). Namun, sekalipun mempunyai SDA yang melimpah ruah, dengan kondisi infrastruktur yang buruk di luar Pulau Jawa, kurang menarik untuk investor domestik maupun asing.
Kalau investasi infrastruktur dibebankan kepada investor, investasi akan terbebani dan menjadikannya tidak ekonomis dan tidak feasible. Kondisi infrastruktur di luar Pulau Jawa masih buruk, jalan antarprovinsi yang sempit dan berlubang, jumlah dan kapasitas pelabuhan yang masih minim, bandara udara belum tersebar luas, rasio jaringan telekomunikasi terhadap luas pulau yang kecil, kualitas rumah sakit dan sekolah yang marginal, jaringan transmisi listrik yang belum terinterkoneksi dan tersebar menambah daftar buruknya infrastruktur di luar Pulau Jawa.
Sistem kelistrikan saat ini yang telah terintegrasi hanya sistem kelistrikan se Jawa-Madura-Bali dengan jaringan transmisi 500 KV (ESDM-RUKN, 2008). Sistem kelistrikan Pulau Sumatera belum seluruhnya terinterkoneksi, sistem di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua belum terinterkoneksi dan masih banyak dipasok dengan sistem yang tersebar. Padahal transmisi energi listrik yang terintegrasi adalah urat nadi pembangunan dan urat nadi pertumbuhan ekonomi.
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut dengan jarak berjauhan adalah berbeda dengan negara lain sehingga kebijakan dan strategi pembangunan harus berbeda pula. Negara lain hanya mempunyai satu daratan, yang memudahkan untuk membangun infrastruktur seperti jalan, transmisi listrik, dan telekomunikasi yang terintegrasi antarprovinsi dalam satu daratan. Karena itu, untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di pulau-pulau diperlukan reformasi kebijakan dan birokrasi.
Agar Indonesia lebih menarik bagi investor, di samping reformasi kebijakan pembangunan infrastruktur, adalah reformasi bidang hukum yaitu memperbaiki tumpang tindih aturan hukum antara pusat dan daerah untuk memberikan kepastian hukum dan keamanan investasi. Berdasarkan Global Corruption Report 2009, tingkat korupsi Indonesia masih tergolong tinggi.
Peningkatan transparansi dan pemberantasan korupsi melalui penguatan peran KPK dan BPK akan menjadikan Indonesia lebih menarik dibanding negara lain bagi investor. Dengan SDA yang melimpah ruah, tersedianya infrastruktur yang baik, jaminan kepastian hukum, dan transparansi, akan menarik investasi domestik maupun asing untuk mengolah produk turunan yang sebelumnya diekspor setengah jadi maupun mentah. Belajar dari negara-negara lain, strategi pembangunan dan manajemen teknologi yang tepat akan menjadikan Indonesia menjadi negara besar.(*)
Mudi Kasmudi
Alumnus ITB dan UI,
Praktisi Energi dan Pertambangan
Apa yang dimaksud dengan manajemen teknologi? Manajemen teknologi adalah menggabungkan rekayasa, sains, dan manajemen berbagai disiplin untuk merencanakan, mengembangkan, dan mengimplementasikan kemampuan teknologi untuk mencapai tujuan strategis dan operasional organisasi (National Research Council, 1987). Penguasaan teknologi membutuhkan campur tangan pemerintah sebagai fasilitator.
Campur tangan pemerintah tidak hanya di riset dan pengembangan, tetapi juga menyiapkan sumber daya manusia dan masuknya investasi asing, baik langsung, joint venture, maupun kerja sama dengan perusahaan multinasional. Sebagai contoh, Jepang antara 1970-1975 mencoba mengejar ketinggalan dari Amerika Serikat (AS) dalam penguasaan teknologi IC (integrated circuit), MITI (Ministry of International Trade and Industry) dengan cara memberikan bantuan penelitian sebesar USD10 juta kepada industri elektronika untuk meningkatkan kemampuan nasionalnya (Narayanan, 2001).
Pengembangan industri Jepang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 setelah Perang Dunia II dibantu oleh tenaga kerja asing dan SDM yang telah kembali dari belajar di Barat (Sunami, APO 2007). Industri automotif dan peralatan listrik Jepang berkembang pesat setelah bekerja sama dengan AS dan Eropa. Demikian pula, industri elektronika Korea Selatan dan Taiwan berkembang pesat setelah tenaga kerjanya punya pengalaman kerja di perusahaan Jepang dan AS.
Sedangkan manajemen teknologi China mengalami beberapa fase berkelanjutan, yang dimulai pada 1978, ketika Deng Xiaoping mulai membuka diri dengan dunia luar dan memulai reformasi ekonomi pascarezim Mao Zedong. Riset dan pengembangan dilakukan oleh Chinese Academy of Sciences, lembaga penelitian maupun perguruan tinggi menuju tahap komersialisasi yang didukung kuat oleh pemerintah. Pemerintah China, BUMN, dan Universitas adalah pendorong utama transfer teknologi (Zhang, 2008).
Titik balik terpenting teknologi China adalah ketika Deng Xiaoping pada 1992 mengundang investor asing yang dimulai dari daerah provinsi bagian selatan yang mempunyai akses pelabuhan. Sejak saat itulah, secara dramatis investasi asing masuk ke China dengan membawa modal, keahlian, dan teknologi. Dengan penguasaan teknologi dan pembangunan yang pesat di dalam negeri, pada periode 2001-2007, ekonomi China mempunyai pertumbuhan rata-rata gross domestic product (GDP) sebesar 11,15% (ADB, 2010).
Pada periode yang sama, pertumbuhan GDP India rata-rata sebesar 6,76%, sedangkan Indonesia 4,51%. Pada 2009, China menempati ranking GDP nomor tiga dunia setelah AS dan Jepang (World Bank, 2009). Kini China sudah mengekspor teknologinya dari mulai mainan, automotif, alat berat, telekomunikasi, dan informasi, sampai pembangkit listrik yang telah diterapkan pada program percepatan tenaga listrik 10.000 MW oleh PLN. Perusahaan raksasa China yang sudah mendunia yakni Lenovo, Haier, Huawei, Baosteel, CNOOC, dan lainnya.
Pada 2010, 46 perusahaan China masuk dalam jajaran raksasa dunia versi majalah Fortune. Perusahaan-perusahaan itu mayoritas BUMN. Sementara India memasukkan delapan perusahaan, Malaysia satu perusahaan, Petronas, yang dulunya adalah murid Pertamina. Selain dukungan pemerintah dan melimpahnya SDA, penguasaan teknologi memerlukan strategic intent yaitu obsesi untuk unggul dan bertahan 10-20 tahun di percaturan global (Burgelman et.al, 2001).
Strategi manajemen teknologi tidak persis sama untuk masing-masing negara, tergantung kondisi politik, geografis, budaya, sumber daya alam (SDA), SDM, dan ekonomi negara saat itu. Bagaimana dengan Indonesia? Untuk Indonesia, mengejar teknologi tinggi dan semikonduktor adalah memang sulit, terutama ketika AS, Jepang, Eropa, Korea, Taiwan, dan China sudah lama memulai.
Belajar dari pengalaman di atas, penguasaan teknologi harus dilakukan dengan riset dan pengembangan, meningkatkan kemampuan dan keahlian SDM, dan mengundang investasi asing. Proses transfer teknologi tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak era Menristek BJ Habibie ketika ia mengirimkan mahasiswa dalam jumlah besar untuk sekolah ke negara-negara maju, kemudian membentuk BPPT, Puspitek, dan merehabilitasi lembaga penelitian lain yang didukung industri strategi seperti IPTN, Krakatau Steel, Barata, BBI, LEN, dan PINDAD.
Indonesia dan Sumber Daya Alam
Secara geografis, letak Indonesia sangat strategis, di antara dua benua dan dua samudera. Semua jalur pelayaran dan perdagangan dari timur dan barat akan melewati selat Malaka. Jumlah penduduknya mencapai 243 juta (Xist, 2010), terbesar keempat dunia setelah China, India, dan AS, merupakan pasar potensial untuk perdagangan domestik dan asing. Indonesia mempunyai SDA melimpah, yang apabila diolah maksimal akan menjadikannya menjadi salah satu negara besar dunia.
Indonesia termasuk dari tiga negara yang mempunyai hutan terluas di dunia dan menjadikannya mempunyai megabiodiversity (keanekaragaman hayati) yang sangat besar (Nationalgeographic, 2010). Karena minimnya infrastruktur, pada 1978, menjadikannya sebagai salah satu negara terbesar pengekspor kayu gelondongan (Zikri, 2009). Indonesia kini termasuk negara terbesar pengekspor kayu lapis, kertas, dan bubur kertas (pulp).
Di sektor kelautan, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih dari 17.000 pulau, mempunyai luas lautan sekitar 5,8 juta kilometer persegi, dan diperkirakan dapat memproduksi ikan dan produk perikanan sebesar 6,26 juta ton per tahun (Worldfishing, 2005). Sekalipun perikanan sangat besar akan tetapi industrinya tidak berkembang maksimal karena fasilitas dan infrastruktur yang masih buruk.
Di sektor pertanian dan perkebunan, Indonesia terletak di daerah tropis yang dilewati garis khatulistiwa, tanahnya sangat subur dan menghasilkan produk perkebunan yang melimpah. Pada 2009, Indonesia sebagai produsen CPO (crude palm oil) terbesar di dunia, menyalip Malaysia, dengan produksi lebih dari 20,9 juta ton. Sedangkan untuk karet, Indonesia adalah produsen nomor tiga dunia setelah Thailand dan Malaysia (Jakarta Post, 2009), dan diperkirakan pada 2020 akan menjadi produsen terbesar di dunia dengan produksi 4 juta ton per tahun.
Untuk komoditas kakao (biji cokelat), Indonesia adalah produsen nomor tiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana (BSN, 2010). Untuk kopi, Indonesia adalah produsen nomor empat dunia setelah Brasil, Kolombia, dan Vietnam (Coffeeasean, 2010) dan produsen teh nomor tujuh dunia (FAO, 2010). Di sektor energi, Indonesia adalah eksportir batu bara nomor dua dunia setelah Australia (IEA, 2010) dan eksportir LNG (liquefied natural gas) nomor tiga dunia setelah Qatar dan Malaysia (Xinhua, 2009).
Di samping migas, Indonesia juga mempunyai potensi tenaga air sebesar 75 gigawatt dan mini/micro hydro sebesar 459 MW. Untuk energi panas bumi (geothermal), Indonesia mempunyai sumber daya terbesar di dunia. Sebanyak 40% sumber daya panas bumi dunia terletak di Indonesia yaitu sebesar 27 gigawatt listrik (ESDM, 2007). Di sektor mineral, Indonesia dikaruniai kekayaan mineral yang besar seperti tembaga, emas, perak, timah, nikel, bauxite, dan mineral lainnya.
Potensi sumber daya dan cadangan mineral metalik tersebar di 437 lokasi di Indonesia bagian barat dan timur. Indonesia termasuk lima besar dunia sebagai produsen tembaga dan nikel dan untuk timah menempati posisi nomor dua dunia setelah China. Sedangkan untuk produsen emas termasuk 10 besar dunia (USGS, 2008). Namun, sekalipun mempunyai SDA yang melimpah ruah, dengan kondisi infrastruktur yang buruk di luar Pulau Jawa, kurang menarik untuk investor domestik maupun asing.
Kalau investasi infrastruktur dibebankan kepada investor, investasi akan terbebani dan menjadikannya tidak ekonomis dan tidak feasible. Kondisi infrastruktur di luar Pulau Jawa masih buruk, jalan antarprovinsi yang sempit dan berlubang, jumlah dan kapasitas pelabuhan yang masih minim, bandara udara belum tersebar luas, rasio jaringan telekomunikasi terhadap luas pulau yang kecil, kualitas rumah sakit dan sekolah yang marginal, jaringan transmisi listrik yang belum terinterkoneksi dan tersebar menambah daftar buruknya infrastruktur di luar Pulau Jawa.
Sistem kelistrikan saat ini yang telah terintegrasi hanya sistem kelistrikan se Jawa-Madura-Bali dengan jaringan transmisi 500 KV (ESDM-RUKN, 2008). Sistem kelistrikan Pulau Sumatera belum seluruhnya terinterkoneksi, sistem di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua belum terinterkoneksi dan masih banyak dipasok dengan sistem yang tersebar. Padahal transmisi energi listrik yang terintegrasi adalah urat nadi pembangunan dan urat nadi pertumbuhan ekonomi.
Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut dengan jarak berjauhan adalah berbeda dengan negara lain sehingga kebijakan dan strategi pembangunan harus berbeda pula. Negara lain hanya mempunyai satu daratan, yang memudahkan untuk membangun infrastruktur seperti jalan, transmisi listrik, dan telekomunikasi yang terintegrasi antarprovinsi dalam satu daratan. Karena itu, untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di pulau-pulau diperlukan reformasi kebijakan dan birokrasi.
Agar Indonesia lebih menarik bagi investor, di samping reformasi kebijakan pembangunan infrastruktur, adalah reformasi bidang hukum yaitu memperbaiki tumpang tindih aturan hukum antara pusat dan daerah untuk memberikan kepastian hukum dan keamanan investasi. Berdasarkan Global Corruption Report 2009, tingkat korupsi Indonesia masih tergolong tinggi.
Peningkatan transparansi dan pemberantasan korupsi melalui penguatan peran KPK dan BPK akan menjadikan Indonesia lebih menarik dibanding negara lain bagi investor. Dengan SDA yang melimpah ruah, tersedianya infrastruktur yang baik, jaminan kepastian hukum, dan transparansi, akan menarik investasi domestik maupun asing untuk mengolah produk turunan yang sebelumnya diekspor setengah jadi maupun mentah. Belajar dari negara-negara lain, strategi pembangunan dan manajemen teknologi yang tepat akan menjadikan Indonesia menjadi negara besar.(*)
Mudi Kasmudi
Alumnus ITB dan UI,
Praktisi Energi dan Pertambangan
Opini Okezone 15 Desember 2010